Sepatu pun Mampu Bercerita: Children of Heaven
Membaca menjadi kebiasaan banyak orang, begitu pula menonton film...
Maka muncullah komunitas pembaca buku, dan juga penonton film dengan berbagai genre...
Di era digital, komunikasi di antara mereka menjadi lebih intens, saling menginformasikan apa-apa yang dibaca dan dilihat...
Maka tidak ada yang terlewat untuk dibaca dan dilihat, minimal mereka mengetahui adanya buku dan film yang diinformasikan...
Buku, dan khususnya film-film yang diinformasikan adalah film jenis independen...
Film independen itu biasanya film yang tidak umum, dan kurang laku di pasaran... Produksinya cuma mengandalkan cerita, tidak ada adegan action, sebagaimana tuntutan pada film-film Hollywood...
Diproduksinya film jenis itu tidak mengejar komersial, dan memang jauh dari nilai komersial. Balik modal saja sudah untung dan luar biasa buat sang produser...
Begitu pula buku-buku yang diterbitkan dengan mengabaikan aspek komersial, bagi si penerbit bisa habis seribu copy sudah memuaskan...
Buku dan juga film-film independen, hadir menenuhi dahaga komunitas tertentu...
***
Di tahun '98-an, saya mengajak anak sulung saya yang belum genap tujuh tahun untuk menonton film genre "anak-anak", yang terbilang cukup 'berat' untuk ukurannya...
Film dengan latar belakang anak-anak, tapi juga penting untuk orangtua; bisa sebagai media mengajarkan anak-anak untuk hidup sederhana dan selalu prihatin melihat lingkungan sekitar...
Alur cerita film ini sebenarnya amat sederhana. Berkisah satu keluarga kecil: ayah, ibu, dan sepasang anak lelaki dan perempuan.
Kisah film ini dibangun oleh cerita "Sepasang Sepatu". Inilah film produksi Iran yang ditulis dan disutradarai oleh Majid Majdi.
Berkisah tentang kesederhanaan hidup sebuah keluarga, yang bahkan tergolong miskin di lingkungannya, tapi sang Ayah mengajarkan hidup jujur. Tidak dengan kata-kata tapi dengan perbuatan...
Sang Ayah yang pengangguran, dan sang Ibu yang mengidap penyakit kanker, menjadikan keluarga ini makin terpuruk...
Sang anak, Ali dan Zahra, adalah anak yang hidup dengan serba kekurangan, tapi tumbuh sebagai anak yang kuat, dan mandiri mengatur kehidupannya yang serba kekurangan...
Adalah Ali, yang diminta oleh sang Ibu untuk menjahitkan sepatu adiknya yang berwarna pink di tukang sol sepatu. Karena keteledorannya, sepatu itu hilang di pasar saat dia membeli sayuran titipan sang Ibu.
Ali dan Zahra tidak berani menyampaikan tentang sepatu yang hilang itu kepada ayah dan ibunya. Mereka bersepakat untuk memakai sepasang sepatu itu bergantian. Itu dimungkinkan, karena sang adik, Zahra, masuk sekolah pagi hari, sedang sang kakak, Ali, masuk siang hari...
Tiap pagi Zahra memakai sepatu itu terlebih dahulu, dan setelah balik dari sekolah, maka giliran Ali memakainya, dan langsung berlari kencang menuju sekolah agar tidak terlambat sampai di sekolah. Dan sering kali ia terlambat, dan karenanya mendapatkan hukuman.
Orangtuanya mengajarkan apa arti prihatin dengan sesungguhnya...
Ada adegan menarik, saat akan ada upacara keagamaan di masjid setempat, sang Ayah mendapat tugas untuk melembutkan gula batu...
Gula batu itu ditumbuk-tumbuknya dengan pukul besi, sambil ia cerita hal-hal keseharian. Sampailah pada adegan, sang anak meminta sedikit gula yang ditumbuknya untuk pemanis teh seduhannya...
Oh jangan, gula batu ini bukan milik Ayah. Ini milik masjid. Ayah tidak mungkin memberikan yang bukan hak Ayah pada keluarga, meski cuma sedikit...
Sang anak pun meminum teh yang diseduhnya dengan rasa pahit sambil matanya melihat tumpukan gula batu hasil tumbukan sang Ayah... Mengharukan.
Saat hari kemerdekaan, diadakanlah lomba lari cepat antar anak-anak. Ada beberapa hadiah, diantaranya adalah hadiah sepasang sepatu untuk juara tiga...
Ali mengincar juara tiga, bukan juara pertama. Dengan mendapat hadiah sepatu, pikirnya, maka satu hal kesulitan hidup dapat terpecahkan...
Ali berlari kencang, meninggalkan yang lainnya jauh di belakang. Dan ternyata Ali menjadi juara pertama. Saat hadiah diberikan, Ali tampak muram, karena hadiah yang didapatnya bukanlah sepatu yang diidamkan.
Banyak adegan mengharukan di film ini, tapi tidak murahan...
Children of Heaven, nama film itu, mendapatkan nominasi Academy Award untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik pada tahun 1998.
Inilah film yang mengajarkan tidak cuma kesyukuran hidup, tapi juga memunculkan rasa kesetiakawanan sosial pada sesama...
Anak sulung saya, tentu tidak terlalu faham makna yang terkandung dalam film itu. Tapi saya, mencoba menerangkan sedikit-sedikit adegan pada film itu, khususnya makna ke sekolah yang harus berlari-lari kencang...*
Ady Amar, pemerhati sosial dan keagamaan, tinggal di Surabaya
Advertisement