Seniman Teater Bisa Berpenghasilan Lebih Baik. Ikuti Langkah-Langkah Ini!
Teater bisa dikatakan sebagai induknya seni peran. Kesenian yang diwujudkan secara kolektif berbentuk pementasan berikut akting yang memukau di atas panggung. Banyak di antara artis film yang memulai karir dengan belajar dalam seni teater. Tentu ini bermakna positif, karena teater dianggap sebagai wadah pertama penggodokan talenta seorang aktor dalam seni peran.
Sayanganya, di satu sisi, teater hanya dijadikan batu loncatan untuk melangkah ke dunia perfilman atau sinema televisi (sinetron). Teater dianggap kurang menjanjikan sebagai profesi. Penghasilan aktor film dan sinetron jauh lebih tinggi dibandingkan pemain teater. Banyak sanggar teater yang melakukan latihan berbulan-bulan, namun hanya pentas beberapa malam, sehingga dana yang dihasilkan tidak menutupi biaya produksinya. Berbeda dengan sinteron yang tayang setiap hari atau striping, bahkan ada sponsor yang mendukung. Apalagi media penyiaran televisi dianggap paling efektif untuk promosi.
Berangkat dari keprihatinan ini, Egy Massadiah aktivis teater yang juga anggota Teater Mandiri berpendapat bahwa teater bisa dijadikan lahan penghasilan, dan orang yang terlibat didalamnya mendapat kesejahteraan. Idenya sederhana saja, yakni menghidupkan teater melalui manajemen pentas striping layaknya sinetron yang tayang setiap hari.
Sebagai pengusaha dan berpengalaman menjadi eksekutif produser film “Soekarno, Ketika Bung di Ende” (2013) Egy mempunyai hitung-hitungan yang bagus dalam menjadikan teater sebagai sebuah industri seni.
“Jadi gini untuk mewujudkan teater striping ini mari kita mulai dengan produksinya. Biasanya memproduksi suatu pertunjukan teater itu butuh waktu latihan 2 sampai 3 bulan. Mungkin selama latihan proses produksi bisa menghabiskan dana sekitar Rp 50 juta. Setelah itu diadakan pementasan dua hari, tiga hari, uang hasil (berjualan) karcis paling banyak juga Rp 10 juta, dapat sponsor Rp 10 juta. Biaya 50 penghasilan 20 berarti masih minus 30,” ungkap Egy saat ditemui di Kafe Betawi Mall Pasific Place kawasan SCBD Jakarta Selatan, Kamis (27/7/2017).
Menurut produser film layar lebar “Lari dari Blora” ini, sudah saatnya teater Indonesia memasuki era industri, dengan tidak mengurangi kualitas artistik pertunjukan.
“Nah untuk itu mari kita mulai dengan striping, artinya satu produksi pertunjukan teater kalau perlu untuk seribu kali pentas. Caranya, pertama harus mencari naskah yang pendek dan dikenal, pemainnya 3-4 orang saja. Contohnya naskah berjudul Pinangan Karya Anton Chekov, bisa diadaptasi menjadi muatan lokal. Juga naskah “Mentang-Mentang dari New York”. Atau naskah lokal yang sudah terkenal seperti "bawang putih dan bawang merah", atau naskah lokal daerah. Pemain 3-4 orang, setting tidak banyak,” ungkapnya mejelaskan dengan intonasi penuh semangat.
Ia melanjutkan, sebuah produksi teater harus dipasarkan secara profesional dan menarik. Seperti halnya dalam industri properti, sudah memasarkan unit rumah atau apartemen, meskipun bangunannya belum selesai.
“Jadi dalam produksi melibatkan satu sutradara, satu kru, dan sisanya pemain. Musik dan lainnya bisa dikerjakan secara kolektif. Mereka latihan, dan harus ada tim marketing. Tim marketing ini keliling ke sekolah-sekolah yang ada di kabupaten/kota, jadi pertama yang dilakukan adalah membuat list jumlah sekolah yang ada di tiap wilayah tersebut. Anggap ada 500 sekolah, datangin setiap hari 5 sekolah. Bikin jadwal, sekolah A pentas di pagi hari, sekolah B di siang hari dan seterusnya. Dalam satu hari dua kali pentas," tuturnya.
(Gambar: Egy Massadiah berbincang dengan Shirley Malinton, Pelaksana Tugas Konjen RI di Houston, AS 14 Juli 2017)
Egy menjelaskan durasi pementasan teater adalah sekitar 1 jam, lalu diadakan diskusi satu jam berikutnya. Pementasan striping dilakukan setiap hari Senin-Jumat, dua kali sehari, yaitu pada pagi dan siang hari, hinga sekolah di dalam list tersebut mendapat giliran menonton pementasan. Berarti dalam seminggu ada 10 kali pementasan, jika dalam sebulan ada 4 minggu maka akan dilakukan pertunjukan sebanyak 40 kali dalam 1 bulan.
“Asumsikan masing-masing sekolah memberikan dana transportasi senilai Rp 2 juta, berarti dalam sebulan bisa mengumpulkan Rp 80 juta. Cost produksi hanya satu kali, ditambah biaya-biaya lain seperti transportasi dan konsumsi. Pada bulan pertama perolehan Rp 80 juta dikurangi biaya produksi Rp 50 juta, ada hasil Rp 30 juta. Tapi di bulan berikutnya penghasilan akan lebih banyak, karena tidak perlu lagi biaya produksi, hanya transport dan konsumsi saja,” imbuhnya.
Egy yakin bahwa pola teater striping Ini bisa diduplikasi ke semua sekolah di kabupaten/kota seluruh Indonesia. Apalagi menurutnya sekolah hanya perlu mengeluarkan anggaran Rp 2 juta saja. Kalau ada sekolah yang kasih lebih, ya lebih bagus.
“Kalau yang nonton 500 siswa, maka tiap siswa hanya membayar Rp 4 ribu. Bisa diambil dari iuran para orang tua siswa, atau jika sekolah memiliki anggaran bisa digunakan, misalnya dana dari ekstrakurikuler, Ini sangat murah, tidak memberatkan. Dengan adanya pentas teater di sekolah para siswa memperoleh ilmu pertunjukan, hiburan, pesan-pesan moral, tanpa harus keluar dari lingkungan pendidikan.”
Selain itu, Egy mengatakan, di satu sisi orang-orang di dunia teater harus merubah cara berpikirnya.
“Anak-anak teater harus belajar menghadapi orang di luar pementasan, tidak boleh pergi ketemu kepala sekolah belum mandi, pakai sandal jepit, pakai celana robek, dan harus punya perencanaan yang matang,” ungkapnya.
Kepedulian Egy begitu tinggi pada seniman teater. Beberapa kali ia berhasil membawa rombongan teater ke luar negeri dan tampil di kota-kota di Eropa seperti ke Bratislava. Cita-citanya adalah seniman teater dapat hidup sejahtera dengan terus berkarya.
“Kita tidak akan lagi mendengar keluhan anak-anak teater “beli pulsa aja susah”. Jadi mereka bisa setara dengan anak-anak sinema yang bekerja di film. Mendapat honor yang layak. Jadi sekali lagi teater ini bisa menjadi profesi yang menjanjikan asal dikerjakan dengan serius seperti pola industri. Kalau dibilang susah ya tetap harus dilakukan,” pungkas Egy.
Sebagai informasi buah pemikiran Egy sedang diaplikasikan di Pekalongan. Pementasan teater striping masuk dalam Program bertajuk Acting Goes to School yang diselenggarakan oleh Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) dan Pemkot Pekalongan. Sekitar tujuh ribu siswa SMA dan SMK menyaksikan pentas yang telah digelar 24 Juli hingga 28 Juli 2017 nanti. Uji coba konsep ini sukses menarik animo penonton yang terdiri dari para siswa dan guru-guru sekolah.
Advertisement