Pra-Wedding Di Sudut-Sudut Sumba
Saya ke Sumba lagi. Tidur di padang savana lagi. Lagi-lagi ke Sumba.
Minggu lalu adalah ‘minggu loncat-loncat’ bagi saya. Dari Surabaya ke Bali. Dari Bali ke Sumba. Dari Sumba ke Kupang. Dari Kupang ke Lombok. Dari Lombok menyeberang ke Sumbawa. Dari Sumbawa Besar menyeberang ke Tambora. Dari Tambora ke Bima. Dari Bima ke Jakarta. Dalam lima hari. Yang memakan energi.
Dalam pesawat menuju Sumba saya bersebelahan dengan notaris muda. Asal Jakarta. Saya tawarkan agar teman wanitanya menduduki kursi saya. Agar tidak terpisah dengan si cantik itu.
”Gak usah pak Dahlan. Saya senang di sebelah bapak,” katanya.
Si cantik itu ternyata calon istrinya. Belum pernah ke Sumba. Tapi foto-foto pra-weddingnya akan dibuat di Sumba.
Saya bangga dalam hati. Sumba sudah jadi pilihan untuk foto pra-wedding. Hidup Sumba tercinta!
Pra-wedding begitu pentingnya sekarang ini. Sampai harus mencari lokasi yang ‘tidak biasa’.
Notaris itu akan lima hari di Sumba. Bersama tim fotografer, manajemen event, penata mode dan juru rias.Inilah lokasi yang dipilih: Pantai Tarimbang, Bukit Tenau, Bukit Warinding, Landeha, Savana Kambera, pohon gede Laipori, Walakiri dan Bukit Bersaudara.
Wow! Semua itu di Sumba Timur. Tidak memasukkan Nihi Sumba.
Foto pra-wedding di Sumba ternyata memang lagi ‘in’. ”Sepanjang minggu selalu ada yang ke sini. Pilih waktu senja. Saat laut lagi surut,” ujar penjual kelapa muda di pantai Laipori.
Saya terpaksa mampir ke pantai ini. Ingin tahu daya tariknya. Sambil minum air kelapa. Sambil makan ampyang: kue gula kelapa yang ditaburi kacang.
Pantai itu surutnya jauh. Dasar lautnya yang luas ditinggalkan airnya. Tapi masih ada genangan-genangan di sana-sini. Di sela-sela batu koral.
Calon pengantin bisa berpose di pinggir genangan itu. Menimbulkan bayangan yang memantul di air. Di sela-sela karang.
Sebagai wartawan saya paham keperluan fotografer pra-wedding seperti itu. Tapi sebagai yang orang yang pernah kawin, saya iri: kok di zaman saya dulu tidak ada pra-wedding ya?
Coba ada, saya akan ajak calon istri saya melakukan foto pra-wedding di pematang sawah. Dengan latar belakang anak yang naik kerbau. Masa kecil saya sering di atas kerbau seperti itu. Kerbaunya tetangga.
Atau saya ajak pra-wedding di pinggir sungai. Di bawah rindangnya bambrongan bambu berduri. Dengan latar belakang anak-anak memandikan sapi. Saya sering memandikan kambing-gibas saat teman-teman kecil saya memandikan sapi.
Tapi saya tidak menyesali diri. Jangankan foto pra-wedding, foto perkawinan pun tidak punya. Padahal saya sudah wartawan di tahun 1975 itu.
Hari itu saya tidak mengundang teman-teman wartawan. Perkawinan saya sederhana sekali. Dari pihak saya hanya dihadiri kakak kandung dan suaminya. Perkawinan di perantauan: Samarinda. Jauh dari keluarga. Yang tidak mungkin punya biaya naik pesawat udara.
Saya berkain sarung yang sehari-hari saya pakai sembahyang. Pakai jas pinjaman dari teman sesama perantau. Tanpa dasi. Istri saya pakai baju khas daerah yang sederhana.
Satu jam sebelum perkawinan saya masih bekerja: di percetakan koran lokal Samarinda. Menyusun huruf-huruf timah bertinta. Menjadi sebuah rangkaian berita. Yang siap dicetak untuk pembaca.
Lalu cuci tangan. Membersihkan sisa belepotan tinta. Lalu pakai sarung. Pakai baju. Pakai jas. Pakai kopiah. Naik sepeda 10 menit. Sampailah di tempat perkawinan. Di rumah nenek calon istri. Di Jalan Imam Bonjol, Sungai Pinang, Samarinda.
Keluarga istri sudah berkumpul. Penghulu sudah tiba. Perkawinan langsung dimulai.
Saya kagum dengan istri saya. Kok mau acara kawinan seperti itu. Dan abadi sampai kini: 43 tahun.
Kapan-kapan saya akan ajak istri ke Sumba. Melihat calon pengantin melakukan foto pra-wedding di sana. Biar ngiler dia.(dahlan iskan)
Advertisement