Pos-Islamisme Kyai dan Nalar Keummatan di Pilgub Jawa Timur
Bagi sebagian kalangan, Post-Islamisme (setelah Islamisme) dimaknai sebagai kehadiran gerakan intelektual atau politik Islam di ruang publik. Post-Islamisme, sependek yang saya tahu, memiliki dua konotasi; pertama, kelompok intelektual/politik/gerakan Islam, yang tetap pada konsesi keIslaman konservatif mereka. Kedua, kelompok yang mengubah sudut pandangnya lebih progresif. Artinya, kelompok ini tidak 'mengedepankan' ego Islamisme (paham keislaman) sebagai satu-satunya nilai, prosedur etik, dan nalar yang harus dipakai untuk membumikan Islam di dalam kehidupan nyata.
Masih dalam bingkai teori, kata Post-Islamisme diungkapkan oleh Asep Bayat sebagai tidak sekedar kondisi untuk menunjukkan sikap keislaman, melainkan juga projek politik, intelektual, dan sosial, agar nilai-nilai keislaman bisa mewarnai kehidupan di masyarakat. Dia mencontohkan bagaimana kehadiran Islam di Mesir yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada. Dia mengidentifikasi bagaimana kelompok-kelompok Islam disana melakukan perubahan dan pembaharuan pemikiran demi Islam yang bisa diterima di segala zaman. Menurutnya, ada sisi dimana Islam mengikat penuh perilaku masyarakat. Adapula sisi dimana nilai-nilai subtantif Islam disandingkan pada rumusan kehidupan yang dinamis.
Terlepas dari apa yang diungkapkan di atas, tulisan ini akan mengangkat topik yang lebih sederhana. Apakah para kyai (pemegang otoritas keislamanan, khususnya di Jawa) juga melakukan hal serupa? Apakah para kyai mengubah sikap-sikap Islamisme mereka, ke arah Post-Islamisme? Selanjutnya, apakah dari sisi politik, para kyai juga mengubah carapandang poltiknya? Lebih-lebih yang terjadi hari ini di Jawa Timur?.
Jawaban untuk pertanyaan pertama, saya kira, kyai - dalam makna sempit - adalah sosok yang paling konsisten dalam corak keislamannya. Mereka 'tidak pernah' merubah apa yang sudah diyakini sebagai sebuah subtansi keislaman Indonesia. Para kyai, khususnya di Jawa, berpegang teguh melalui bahasa 'Air putih itu lebih baik dibandingkan minuman yang lainnya' karena air putih bisa diminum siapapun, tanpa pengecualian.
Kata-kata ini bermakna, Islam Indonesia yang tercermin secara subtantif di dalam Pancasila sudah tidak bisa diganti oleh ideologi apapun, termasuk Islam. Sebab, pemaksaan untuk mengganti Pancasila dengan Islam, akan menjadikan sebagian masyarakat Indonesia terancam, terpinggirkan secara sosial, dan dikanalisasi secara politik. Islam bisa digdaya, namun agama lainnya belum tentu bisa aman. Demikian sebaliknya, di sebagian daerah, agama Islam akan terancam oleh agama dominan di sekitarnya.
Persoalan kedua, saya kira, kyai juga tergolong ‘tidak plin-plan’ dalam memberikan dukungan politik. Ijtihad politik kyai ada pada kata – dalam bahasa Hefner dan Quraish Shihab – “Politik Multikulturalisme dan Hikmah”. Politik multi-kulturalisme adalah politik identitas tertinggi dan menjadi wujud otentik masyarakat Indonesia. Politik identitas yang disematkan pada bahasa ‘semua orang memilik hak memilih dan dipilih’.
Sedangkan politik hikmah adalah model politik profetik. Politik yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW. Politik rahmatan lil ‘alamin. Politik yang ditunjukkan Nabi melalui Piagam Madinah. Politik, yang dalam bingkai sosiologis, menerima siapapun dalam kepentingan apapun. Para kyai tidak pernah membedakan antara yang kaya dan miskin. Pribumi atau pendatang. Islam atau agama lain yang berebda. Para kyai menganggapnya sama rata dalam bingkai kemanusiaan.
Pertanyaan terakhir, dan mungkin akan sangat sensitive untuk dinilai koefisensi dan konsistensi sikap kyai. Terlebih, di Jawa Timur lahirlah Nahdlatul Ulama’ (organisasinya para kyai-pesantren). Lahirlah naskah khittah (kembali ke tujuan lahir) Nahdlatul Ulama’ pada tahun 1984 di Situbondo. Lahirlah narasi resolusi Jihad untuk menjaga keutuhan NKRI, dan nilai-nilai lainnya yang jauh dari nuansa politik praktis. Betapapun itu, penulis tetap mengatakan bahwa para kyai tetap pada nilai konsisten dalam keislaman mereka.
Para kyai punya aturan terbarukan di dalam politik praktis, yakni; kesepakatan bersama (ijma’) untuk saling menjaga marwah satu dengan yang lainnya. Bukan bermakna ijma’ mendukung satu calon dan ‘mendemistifikasi’ (menjelekkan) calon yang lain. Hingga hari ini, fenomena Pilgub Jawa TImur jauh dari pembusukan calon dan para tokoh yang mendukungnya. Masih ada nilai etik yang sangat dijaga dalam kontestasi di Jawa Timur. Jauh berbeda dengan di Jakarta Tahun lalu. Ada banyak ‘persaingan’ di luar kontestasi Pilkada, yang kemudian merusak nama baik ulama’. ‘
ala kulli hal wallahu a’lam bi al shawab
Advertisement