Pancasila dulu, kini dan yang akan datang
Menurut Ernest Renan bangsa itu dibentuk karena referendum atau kesepakatan. Kesepakatan ini muncul karena masyarakat memiliki kesamaan rasa, nasib, dan sepenangungnan yang menjadikan mereka menjadi “satu”. Renan percaya bila kondisi kebangsaan itu terbangun dari berbagai unsur kelompok sosial yang mencari identitas kolektif. Lebih lanjut renan menisbihkan peran kesukuan atau etnis dalam penyatuan sebagai bangsa. Dia mencontohkan kasus revolusi perancis yang mempu keluar dari belengu kefeodalan dan sekat kesukuan untuk mencul dalam pangung nasionalisme yang diterjemahkan oleh Napoleon Bornaparte.
Andai saja Ernest Renan hidup pada jaman “Now” dan menerapkan konsepsi teori “kebangsaaan”nya maka dia pasti akan menjadikan Indonesia sebagai contoh. Konsepsi dari keragaman etnis dan lokasi geografis yang tercecer dari sabang sampai merauke tidak menjadikan hambatan untuk menjadikannya bangsa. Apa dan apa yang menjadikan ikatan berbagai kemajemukan itu menjadi satu ikatan? Renan menyebutkan “ adanya satu spiritual principle menjadikan satu komunitas memiliki ikatan yang saling menguatkan. Apakah spriritual principle yang dimiliki Indonesia?
Keragaman etnis, perbedaan adat istiadat, kebhinekaan beritual di"godog" secara seksama oleh para pendiri bangsa ini ketika mereka berdiskusi dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Berbagai konsep dan pemikiran dimunculkan pada waktu itu, sampai pada satu titik munculah PANCASILA. Dari sini bisa dipahami Pancasila memiliki latar belakang sejarah tersendiri, tarik menarik, tawar menawar—antara pendiri yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, dan agama—sehingga mereka dan kelompoknya mau dan dapat hidup rukun dan bersama-sama menjadi suatu negara sampai saat ini.
Kebesaran hati perwakilan kelompok Muslim yang merelakan tujuh kata dalam sila pertama adalah kado terbesar yang diberikan kepada Indonesia dan menjadikan bukti kerahmatan lilalaminnya pemahanan pemimpin umat pada waktu itu. Namun demikian dengan adanya Pancasila apakah selesai tiada konflik dan pertentangan setelahnya? Tidak!. Perjalanan sejarah menunjukkan banyak penafsiran dari Pancasila, ada yang memeras Pancasila hanya menjadi “persatuan Indonesia” ada juga yang menafsirkan Pancasila dalam butir butir yang begitu detailnya seolah olah mengalahkan konsepsi keagamaan saat itu. Ada juga ada yang melihat Pancasila sebagai Thogut yang harus diluruskan dan hanya bisa diperbaikin dengan tegaknnya kekhalifahan. Namun itu semua adalah versi masing masing dalam melihat konteks “spiritual principle” yang diutarakan oleh Ernest Renan.
Pada jaman milenial ini, pemahaman Pancasila mungkin bisa diawali dengan melihat Pancasila sebagai rumah bersama, yang didalamnya ada pelangi yang indah, namun munculnya pelangi tidak lepas dari mendung dan gerimis yang diikuti oleh cahaya matahari yang mendera.
Pemahaman Pancasila sebagai rumah pelangi memang tidak hanya menghasilkan kekaguman, namun juga didalamnya ada teriakan teriakan seperti “geludug” yangmemunculkan gerimis. Namun kegaduan demi kegaduan “geludug” itu akan luluh ketika ada cahaya matahari yang memancarkan cahayanya yang terpendar seolah melingkari ufuk. Pertanyaannya muncul cahaya matahari model apa yang kiranya bisa menghasilkan keindah dan kesejukan itu? Sebuah cahaya yang memancar tanpa harus menghanguskan dirinya dan sekitarnya, namun memberikan penerangan kepada khalayak yang melihatnya. Dimana konsep yang memancar itu tidak dikembangakan oleh Blok Barat dan Blok Timur. Kapankah cahaya itu akan menerangi bumi Nusantara ini? Wallahua’lam bishowab
Advertisement