Mengunjungi Pesantren Pertama di Amerika
Disway tidak mampir ke New York. Itu bukan meniru judul novel Ayu Utami: “Laela Tidak Mampir New York”. Tapi saya benar-benar tidak sempat mampir.
Saya hanya lewat high way di sebelahnya. Hanya lihat New York dari balik kaca mobil. Gedung-gedungnya. Cahayanya. Siluetnya.
Hari itu agak ‘kesusu’. Begitu rapat di MIT selesai, saya langsung cabut. Meski sudah sore. Tidak jadi menginap satu malam lagi di Boston.
Saya sudah berjanji melihat lokasi pesantrennya Ustadz Shamsi Ali. Imam masjid New York asal Sulsel itu.
Beliau baru membeli lahan luas sekali: 7.4 hektar. Di negara bagian Connecticut. Pertengahan antara Boston ke New York.
Saya juga sudah terikat janji lainnya: besoknya sudah harus di Elizabeth City. Di pantai timur North Carolina.
Setelah dua jam meninggalkan Boston tibalah di lokasi itu: pesantren Imam Shamsi Ali itu. Pas saatnya buka puasa. Pukul 20:18. Waktu Amerika belahan Timur.
Tapi saya keliling dulu lokasi. Agar tidak keburu gelap.
Lokasi yang indah. Konturnya bergunduk. Pohon-pohonnya banyak sekali. Besar-besar. Hijau rindang.
Kawasan itu memang indah. Sejak setengah jam sebelum tiba di lokasi sudah begitu. Sejak masuk jalan yang mengecil. Dua arah. Naik turun. Berkelok-kelok. Kanan kirinya hutan. Atau seperti hutan. Teduh. Damai. Indah. Di kala senja pula. Lalu masuklah kota kecil. Kecil sekali.
Menyenangkan. Tidak hiruk pikuk.
Setelah itu masuk kompleks perumahan. Tapi rumahnya jarang-jarang. Halamannya luas-luas. Depan dan samping. Jauh dari jalan pula. Penuh pohon rindang. Tanahnya sedikit berbukit.
Di kawasan seperti itulah lokasi tanah calon pesantren ini. Di lokasi itu ada enam atau tujuh bangunan. Bangunan lama. Berjauhan. Bangunan kayu. Ala Amerika.
Memang bangunan-bangunan itu sudah kelihatan kusam. Tampak lama tidak ditempati. Dua di antaranya kini sedang direnovasi.
Di bangunan yang lagi direnovasi itulah saya buka puasa. Bersama Mas Suratno Igirisa. Pengurus pesantren ini. Juga pengurus masjid di New York yang diketuai Imam Shamsi Ali.
Mestinya Mas Ratno berbuka di rumahnya di New York. Kali ini menunggu kedatangan saya. Yang agak telat. Kami pun makan bersama. Seadanya. Di meja darurat. Bersama dua tukang lainnya.
Mas Ratno menyediakan burger. Yang dibeli dari restoran cepat saji. Saya membawa kotak mie renyah dari restoran Vietnam di Boston. Sambil ngobrol.
Renovasi ini lagi dikebut. Tanggal 9 Juni nanti Imam Shamsi Ali ke sini. Ada acara berbuka persama. Dengan masyarakat sekitar. Tanpa memandang agamanya. Salah satu menu yang disiapkan: sate. Dalam acara seperti itu yang diundang biasanya juga membawa makanan.
Saya tahu Imam Shamsi Ali lagi sibuk. Terutama di bulan puasa seperti ini. Saya minta agar beliau jangan memaksakan diri ke lokasi. Untuk menemui saya. Yang jaraknya dua jam dari New York.
Mas Ratno ternyata hanya Jawa dari nama depannya saja. Ia asli Gorontalo. Terlihat dari nama belakangnya.
Sudah lebih 30 tahun di New York. Sudah warga negara Amerika. Bahkan anak laki-lakinya jadi tentara Amerika. Dulunya mas Ratno pelaut. Nyangkut di Amerika. Dapat istri asal Sunda. Dari Bandung. Ketemunya di New York.
Menurut Mas Ratno, bangunan paling depan itu akan dirobohkan. Untuk dijadikan masjid. Tapi masih menunggu terkumpulnya dana. Merobohkannya saja mahal. Apalagi membangunnya.
Di belakang sana ada lapangan basket. Juga kolam renang. Luas dan indah.
Lokasi ini dulunya sekolah berkebutuhan khusus. Tutup. Dibeli oleh satu yayasan Islam: Darul Uloom. Tutup pula.
Hampir saja dijual ke Pemda setempat. Tapi Pemda berharap dibeli oleh lembaga Islam lagi. Masuklah Imam Shamsi Ali.
Saya kagum dengan kegigihan beliau. Juga dengan baiknya penerimaan masyarakat Amerika pada beliau.
Melihat lokasinya, madrasah ini akan sangat membanggakan. Kalau dananya ada.
Bisa untuk perkemahan di hari libur. Cocok banget.
Selesai berbuka saya tancap gas. Tidak tergiur mampir New York. Toh baru dua tahun lalu ke situ. Sempat ngajak Ustadz Yusuf Mansyur nonton teater di Broadway. Judul pentasnya: “The Book of Mormon”. Ustadz senang sekali. Akhirnya bisa nonton teater di Broadway.
Begitulah. Pukul 12 malam gak kuat lagi. Capek. Dan ngantuk. Lalu-lintas sekitar New York lebih padat. Beberapa ruas berupa jalan tol. Bayar.
Menyerah. Bermalam di New Brunswick. Sudah jauh dari New York.
Paginya saya melewati Pennsylvania, Delaware dan Virginia. Mampir sebentar di Universitas William and Mary di Williamburg Virginia.
Bermalam lagi di Elizabeth City. Tidak ada masjid. Yang terdekat 300 km.
Besoknya diteruskan lagi ke St Louis di Missouri. Melewati Charlotte di North Carolina, Knoxville dan Nashville di Tennessee, Kentucky, Illinoi dan tiba di St Louis. Total tambah 2,500 km lagi.
Setiap ke St Louis saya selalu ingat Winnetou. Dan Old Shatterhand. Mereka pernah bertemu di sini.
Dalam cerita. Old Shatterhand juga dapat senjatanya di sini. Dalam cerita. Dari pembuat senjata terbaik saat itu. Menjadi senjata legendanya sepanjang masa.
Karl May, penulis buku-buku legendaris itu, belum pernah ke St Louis. Bahkan belum pernah ke Amerika.(dis)
Advertisement