Kisah Sebiji Apel dan Imam Abu Hanifah...
Seorang lelaki jejaka tengah mengambil wudhu di tepian sungai. Dilihatnya mengapung sebuah apel merah ke arahnya. Diambilnya apel itu, dan digigitnya. Saat gigi menancap pada buah apel itu, lelaki itu tersadar bahwa ia tidak boleh makan buah apel yang bukan miliknya...
Lelaki itu kebingungan, bagaimana aku bisa meminta maaf pada si pemilik apel itu, tanyanya dalam hati. Maka, lelaki itu menyusuri tepian sungai hingga cukup jauh, dan sampailah ia menemukan pohon apel yang menjuntai ke sungai. Pastilah buah apel itu jatuh dari pohon itu... Lelaki itu bernama Tsabit...
Di sebuah pekarangan kebun apel itu, Tsabit menemukan seorang lelaki yang tengah asyik memperhatikan pohon-pohon apelnya.
"Assalamu'alaikum," sapa Tsabit pada lelaki itu. Lalu tanyanya kemudian, "Apa Tuan pemilik pohon apel itu?" "Ya, kenapa?" Lalu Tsabit menceritakan kejadian yang dialaminya, dan ia ingin meminta maaf... "Aku akan mengganti kelancanganku menggigit apel itu, dengan apa saja yang aku sanggup melakukannya."
Mendengar permintaan Tsabit itu, pemilik kebun yang bernama Shalih itu, berniat menguji Tsabit. "Tidak, aku tidak akan memaafkanmu kecuali dengan satu permintaan, bekerjalah engkau di kebunku hingga tiga tahun." Tanpa menawar pun Tsabit menerima permintaan tuan Shalih, mengganti buah apel sebiji dengan bekerja tiga tahun.
Tanpa mengeluh Tsabit melakukan pekerjaannya dengan ikhlas. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun... Sampailah waktu tiga tahun itu berakhir.
Saat akan berpamitan pada tuan Shalih, karena ia sudah merampungkan pekerjaannya, tuan Shalih mengatakan, "Sekalipun engkau telah bekerja genap tiga tahun, aku masih menganggapmu berutang padaku. Dan hanya ada satu cara untuk melunasinya.
Aku memiliki anak gadis bernama 'Abidah al-Azhar. Ia buta, tuli dan lumpuh. Jika engkau bersedia menikahi putriku itu, seluruh kebun apel ini menjadi milikmu. Aku percayakan anak gadisku padamu. Aku takut jika meninggal nanti, siapa yang akan merawat anak gadisku yang malang itu."
Lagi-lagi Tsabit dihadapkan pada persoalan ingin terbebas dari "dosa" pada sebiji buah apel itu. Tanpa berpikir lagi, Tsabit menjawab, "Baiklah, aku sanggup menikahinya."
Legalah hati tuan Shalih mendengar jawaban Tsabit itu. Pikirnya, bagaimana ia tidak akan tenang menyerahkan anak gadis dan kebun apelnya itu pada pemuda yang mengerti dan takut memakan sesuatu yang bukan miliknya. Dan tiga tahun kebersamaan dengan Tsabit, ia melihat ketakwaan dalam kesehariannya.
Sampailah pada waktu pernikahan itu dilangsungkan. Dan saat Tsabit masuk ke kamar pengantin, yang dilihatnya adalah perempuan yang cantik dan sempurna. Terkejutlah Tsabit, dan ia berlari meninggalkan kamar menemui sang mertua, "Pernikahan ini tidak sah, tuan mengatakan bahwa putrimu itu buta, padahal matanya indah sekali. Juga tuan katakan lumpuh, padahal berdirinya tegak bak cemara."
Sang mertua, tuan Shalih, menanggapi, "Aku kemarin berbicara kepadamu dengan bahasa kiasan. Ketika aku mengatakan ia buta, maksudku adalah ia buta pada hal-hal yang haram. Ketika aku mengatakan ia tuli, maksudku adalah tuli pada kata-kata kotor dan pembicaraan tidak baik. Dan ketika aku mengatakan ia lumpuh, maksudku adalah ia tak menyentuh hal-hal yang haram dan tak pergi ke tempat-tempat yang dilarang Allah SWT. Ia kini sudah menjadi istrimu yang sah. Ia sangat tepat untukmu."
Pembaca yang budiman... Siapa sebenarnya Tsabit dan 'Abidah, suami-istri, yang berbahagia itu? Merekalah sepasang suami-istri yang melahirkan tokoh besar di bidang Fiqih, yang di kemudian hari kita kenal dengan nama Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi. Yang semasa kanak-kanak setiap tiga hari mengkhatamkan al-Qur'an...
Sang ibu, 'Abidah, berseloroh, "Anakku, jika saja ayahmu tempo hari tidak memakan buah apel itu, mungkin engkau bisa mengkhatamkan al-Qur'an tiap-tiap hari." ... Subhanallah...*
Ady Amar, pemerhati sosial dan keagamaan, tinggal di Surabaya
Advertisement