Khilafiyyah Furu'iyyah
Perdebatan di antara ummat Islam, bahkan sampai pada tahap bentrok, adalah pada masalah-masalah yang sebenarnya tidak prinsip. Dan, itu bisa jadi banyak faktor yang melatarbelakanginya, satu diantaranya adalah ashobiyah, berlebih-lebihan menganggap kelompok/mazhab yg dianutnya yang paling benar. Karenanya, harus dibela 'mati-matian'.
Sehingga unsur persatuan/ukhuwah di antara ummat tidak menjadi yang utama. Padahal para Imam Mazhab telah mencontohkan hal-hal kedewasaan melihat perbedaan.
Imam Ahmad bin Hanbal ra, 'pendiri' mazhab Hambali, yg dikenal sebagai mazhab paling puritan, telah memberikan contoh-contoh tentang 'toleransi' antarmazhab.
Suatu ketika, beliau mendatangi majelis Imam Syafi'i, bersama beberapa muridnya, untuk sekadar silaturahim, sekaligus membahas berbagai persoalan keagamaan. Saat sholat shubuh berjamaah, sang tuan rumah, imam Syafi'i, meminta imam Ahmad utk menjadi imam sholat. Saat rakaat kedua, tanpa dinyana, beliau menggunakan qunut. Satu tradisi yang tidak dikenal dalam mazhab Hambali. Qunut adalah tradisi yg 'dibangun' imam Syafi'i, dilakukan setiap sholat shubuh.
Saat perjalanan pulang dari majelis imam Syafi'i, murid-murid yang menyertai imam Ahmad, bertanya pada sang guru, "Apakah mulai saat ini dan seterusnya kita memakai qunut setiap sholat shubuh, imam?" "Oh tidak," jawab imam Ahmad. Lalu lanjutnya, "Menghormati majelis imam Syafi'i jauh lebih utama daripada harus mempertahankan pendapatku."
Itulah akhlak Sunnah, yang cenderung tidak ingin tampil menonjol di tengah-tengah pendapat yang sudah jadi kebiasaan keseharian ummat. Tidak 'mengundang' asal beda, namun miskin manhaj dakwah.
Adalah Imam Ahmad pula yg meriwayatkan hadits tentang sholat sunnah qobliyah maghrib, dan menyatakan keshahihannya. Tetapi, tidak seorang pun murid-muridnya yang pernah menyaksikan beliau melakukan sholat qobliyah maghrib. Kenapa demikian?
Saat itu di Baghdad, penduduknya sudah 'terlanjur' memakai pendapat Imam Abu Hanifah, yang berpendapat tidak disunnahkannya qobliyah maghrib itu. "Jika aku memakai sunnah qobliyah maghrib, tidak mustahil akan menimbulkan kebingungan atau bahkan keributan di antara ummat. Aku tidak menginginkan itu."
Prof. Buya Hamka, ulama terkemuka dan ketua umum MUI pertama, sering mencontohkan 'adegan' demikian, yaitu 'menekan ego' untuk kemaslahatan yang lebih besar. Ada perbuatan 'ekstremnya', saat mengundang ulama Betawi yang kesohor, KH Abdullah Syafi'i, untuk khutbah Jum'at di masjid Agung Al-Azhar. Buya Hamka meminta pada muadzin untuk adzan dua kali, khas di masjid-masjid yang dikelola oleh saudara Nahdliyyin, dan itu untuk sekadar menghormati Sang Tamu.
Inilah akhlak yang semestinya dimiliki pelaku dakwah, mencari keharmonisan di tengah-tengah ummat. Dan itu jauh lebih penting dari pada sekadar tampak 'gagah' dengan pendapat yg furu', tapi mengorbankan ukhuwah di kalangan ummat, yang bernilai wajib...
Wallahu A'lam...
Ady Amar, pemerhati sosial dan keagamaan, tinggal di Surabaya
Advertisement