Dilema Antara Ditinggal Rabi Atau Ditinggal Mati
Hidup memang tak butuh alasan untuk mengambil segala sesuatu yang kita miliki, baik sementara maupun selamanya. Ada yang kehidupan berpacarannya aman-aman saja, namu di akhir sajak, si calon laki-laki pergi kehadapan Yang Maha Kuasa. Sebagai perempuan yang mencintainya pasti akan ada pemikiran untuk menyusul sang kekasih itu, ditambah lagi teman-temannyapun akan mengejek si perempuan malang itu. Hal tersebut akan menjadi salah satu pendukung untuk mengakhiri hidup dan dapat bertemu lagi kekasihnya. Sebut saja perempuan ini DM.
Adapula kehidupan berpacaran yang penuh konflik dan akhirnya harus kandas di tengah jalan, lalu si laki-laki menikah dengan pacar barunya, sedangkan si perempuan (mantan) masih mencintainya move on dong, sebut saja perempuan ini DR.
Sebenarnya jika harus memilih, lebih baik tak kehilangan, oh tak semudah itu markonah. Perjalanan masih jauh, landai, terjal, semua harus dilewati. Tapi apa daya ketika berada di titik terendah semua menjadi gelap dan terasa tak ada keadilan baginya. perempuan ataupun laki-laki harus bisa mengatasi rasa sakitnya. Yang dialami DM ataupun DR, sungguh kehilangan orang yang disayang itu sakitnya lahir batin (kayak lebaran aja).
Jika dibandingkan lebih baik menjadi DM atau DR?
Yang dialami DM sih, sangat disayangkan. Pacaran bertahun-tahun, maksud hati ingin berumah tangga, menjadi istri yang sholehah. Setiap sholat akan ada imam di depannya, semua masakan akan tercipta dari tangan DM, pokoknya bahagia banget jika diimajinasikan. Tapi hal itu kandas ketika harus menyadari kenyataan, jika orang yang dicintainya pergi untuk selama-lamanya tanpa pesan. Dunia sepertinya tak mendukung hubungannya, dunia sungguh tak adil bagi DM. Dia harus kehilangan mungkin cinta pertamanya dan terpaksa akan ada cinta lagi karena calonnya meninggal. Yang harus DM lakukan hanyalah menerima atau melupakan, lupakan kalau calonnya mencintai DM hingga akhir hayatnya atau menerima kematiannya dan yang di inginkan calon DM hanya ingin si DM melanjutkan hidup dan bahagia.
Susah kan ya? Iya susah, belum lagi move on yang dilakukan DM harus butuh waktu yang cukup lama nih. Ketika si Dm ingin membuka hati kepada yang lain, di lubuk hati lebih atau kurangnya si DM mengatakan "padahal dia tak pernah mengkhianatiku hingga akhir hayatnya, tapi apa yang aku lakukan sekarang" kecewanya
Tolong dong mahasiswa psikologi tangani teman saya DM gak tega jadinya.
Berbeda dengan DR, dia adalah perempuan seperti yang saya ceritakan di atas. DR masih bisa melihat mantan kekasihnya bahagia dengan yang lain. Bisa melumpuhkan rindu dengan melihat dia, iya dia dengan kekasih barunya. DR sudah berpacaran bertahun-tahun tapi endingnya sama-sama menyakitkan dengan si DM yaitu kehilangan dan bedanya hanya hidup dan mati, putus dan lanjut, tidak dan masih.
Aduh, menyakitkan memang mendengar cerita DR tapi setidaknya DR tau kalau mantan kekasihnya sudah tak mencintainya lagi dan lebih memilih orang lain, yaiyalah gaes, orang ditinggal rabi hadeeeh.
Bagaimanapun kita tak mau berada di posisi mereka berdua, kita ingin menikah dengan orang yang kita cintai lalu memiliki belasan anak. Jika semuanya laki-laki alhamdulillah bisa membuat club sepak bola, yang lumayan bonusnya 2M, belum dari pemerintah kota loh ya.
Tidak ada setiap kehilangan, seseorang bisa baik-baik saja. Sebagai teman yang tidak baik kita harus lebih mendengarkan mereka-mereka, dan jangan pernah membandingkan dengan derita kita. Tidak bunuh diri merupakan prestasi bagi mereka yang sedang putus asa. Tolong dicata ya markonah, dari sumatri.
Advertisement