Darimana Selera Musik Kita Berasal ?
Sering kita bertanya-tanya dalam diri kita sendiri, mengapa saya menyukai musik rock, pop, dangdut, keroncong, jazz, dan genre-genre lainnya? darimana datangnya selera musik ini?
Ada dua filsuf yang menjelaskan hal ini, dan keduanya secara substansial sangat berbeda. Yang pertama adalah Immanuel Kant, menyatakan bahwa selera seni termasuk musik adalah 'murni' keindahan yang bersifat apriori (tanpa kepentingan, tanpa konsep, tanpa tujuan dan niscaya). Yang kedua adalah Pierre Bourdieu, lebih melihat selera seni termasuk musik - sebagai putusan estetis - merupakan produk dari adanya perbedaan kelas ketimbang pengakuan atas standar kualitas.
Pada suatu waktu, Bourdieu memberikan berbagai macam foto kepada orang-orang dari tiga kalangan: bawah, menengah, dan atas. Dari sekian banyak foto itu, masing-masing responden diminta untuk memilih, mana foto yang paling indah, dan mana foto yang paling buruk? Rupanya, ada kecenderungan bahwa orang dari kelas sosial sama, akan memilih foto yang sama. Selera yang sama. Di luar kontrol individu.
Bourdieu menyebutkan bahwa ada tiga hal yang menentukan selera kita: Habitus, Modal, dan Arena Sosial. Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia.
Habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia.
Sebagai contoh yang saya alami sendiri, sejak masih anak-anak setiap hari paman saya di tahun 1970an akhir sering mendengarkan musik-musik rock seperti Deep Purple, Led Zeppelin, God Bless, SAS, dan lain-lain. Hal itu berlangsung sangat lama sampai saya masuk SMA. Dari situlah selera saya terhadap musik rock terbentuk.
Sedangkan Modal menurut Bourdieu adalah sesuatu yang kita miliki, bisa modal ekonomis ( uang ), modal simbolik ( citra diri, prestige, penghargaan dari orang lain ), modal budaya ( pendidikan, latar belakang keluarga, lingkungan ), modal sosial ( jaringan pertemanan ). Dalam hal ini ketika saya mulai mendengarkan musik rock, di lingkungan sekitar kebanyakan juga menyukai musik rock, sehingga membuat saya berteman akrab dengan mereka yang menyukai genre musik yang sama yaitu musik rock. Sedangkan Arena sosial adalah tempat di mana kita berada, dalam struktur sosial atau masyarakat.
Hal yang menarik lainnya adalah darimana datangnya pengkategorian selera musik tinggi dan selera musik rendah? Darimana datangnya stigmatisasi ini? Kenapa sekelompok orang yang menyukai musik tertentu dikatakan mempunyai selera musik yang tinggi? dan ada juga yang mengolok-olok penyuka jenis musik tertentu sebagai selera yang rendah?
Menurut Bourdieu, inilah apa yang dinamakan separasi dan pembedaan (distinction) simbolik, yang dilakukan oleh klas Dominan. Klas yang mempunyai semua modal di atas dan ingin memonopoli apresiasi seni termasuk musik.
Selera estetis sesunggunya tidak semurni sebagaimana yang diandaikan Kant. Karena, selera adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial dalam ruang sejarah yang konkret. Apa yang pantas dibaca, dilihat, diapresiasi bukan merujuk pada rasionalitas selera (selera) murni, dalam arti tanpa kepentingan, kosong konsep, dan tanpa tujuan, melainkan merupakan hasil tegangan dan perjuangan di dalam relasi seni dan strategi kekuasaan dalam rangka memonopoli apresiasi seni.
Menurut Bourdieu dalam arena sosial ada klas dominan, klas borjuasi kecil dan klas popular (jelata), nah klas dominan inilah yang menghadirkan pengkategorian terhadap selera musik, tinggi dan rendah. Selera tinggi adalah sesuai selera musik yang disukainya. Padahal semua musik itu tidak ada kelas-kelasnya, musik bisa dinikmati siapapun sesuai habitus yang dimilikinya. pengkategorian inilah yang menurut Bourdieu mempunyai akibat terjadinya kuasa simbolik dan kekerasan simbolik terhadap klas popular. Kuasa simbolik adalah kuasa untuk mengubah dan menciptakan realitas, yakni mengubah dan menciptakannya sebagai sesuatu yang diakui, dikenali, dan juga sah, mekanisme kuasa simbolik ini melalui "doksa".
Kuasa simbolik membuat orang melihat dan percaya, memperkuat atau mengubah cara pandang. Mekanismenya melalui apa yang disebut doksa yakni seperangkat kepercayaan fundamental yg bahkan dirasa tidak perlu dieksplisitkan, seakan suatu dogma, cara kerja doksa melalui bahasa. Doksa sering digunakan klas dominan untuk membuat seolah-olah pandangan klas dominan tersebut adalah pandangan seluruh masyarakat, sehingga masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis.
Doksa biasanya bersifat sloganistik, populer, dan mudah dicerna oleh masyarakat, karena cara kerjanya melalui bahasa,maka menurut Bourdieu di dalam bahasa tersembunyi dominasi simbolik serta struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Dari kuasa simbolik yang mekanismenya melalui doksa ini, bisa terjadi kekerasan simbolik, dari klas dominan dan klas borjuasi kecil pada klas popular, kekerasan simbolik ini tak terlihat beda dengan kekerasan fisik. Ketika seseorang secara psikologis merasa rendah diri karena selera musiknya dianggap rendah, dan berusaha meniru untuk menyukai selera musik yang dianggap tinggi, padahal dia tak bisa menikmatinya, maka sesungguhnya dia sudah mengalami kekerasan simbolik.
Maka, nikmatilah musik itu sesuai dengan kesukaanmu, Rock, blues, klasik, jazz, dangdut, keroncong, pop, dangdut koplo, campur sari, gamelan, dan masih banyak lagi, nikmatilah tanpa berfikir tentang selera tinggi atau rendah. bergembiralah ….rayakan hidup dengan musik.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra
Advertisement