AM Fatwa dalam Sisi yang Lain ...
Andi Mappatehang Fatwa, yang senantiasa disingkat AM Fatwa, atau teman akrabnya yang biasa memanggilnya dengan Pak AM atau Pak Fatwa.
Mengenal beliau di sekitar tahun 1985-86, saat beliau “bermukim” di LP Cipinang, dalam kasus yang dituduhkan rezim Orba padanya dengan tuduhan Subversif. Diganjar dengan hukuman 18 tahun penjara dari tuntutan Jaksa seumur hidup.
Adalah “Lembaran Putih” dalam kasus Tanjung Priok, dimana menurut laporan yang dibuatnya ada korban massa yang dibantai pihak keamanan berpuluh orang. Tapi Pangab dan Kepala Kopkamtib saat itu, Benny Moerdani, mengatakan korban hanya 9 orang.
Pak AM adalah pribadi yang aktif dalam kegiatan-kegiatan keislaman. Saat Pelajar dia aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII), dan semasa Mahasiswa aktif di HMI. Lalu KAHMI, ICMI, dan Muhammadiyah.
Awalnya saya menjenguk seorang aktivis da’wah dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Bang Husein Umar, yang disekap di LP Cipinang Jakarta kala itu. Sekalianlah saya ingin mengenal Pak AM yang juga ditahan di sana. Setiap ke Jakarta saya sempat-sempatkan menengok beliau berdua. Bahkan setelah Bang Husein Umar sudah bebas, saya pun tidak luntur menengok Pak AM di LP Cipinang.
Selepas bebas dari LP Cipinang beliau menerbitkan bukunya, Catatan dari Cipinang, dan saya termasuk yang dihadiahi buku itu, dimana pada halaman depannya ada “catatan tangan” darinya: Buat Sahabat yang Hadir Saat Dibutuhkan, dan dibubuhi tanda tangannya.
Saya tidak mendengar bahwa beliau tengah dirawat di rumah sakit. Tiba-tiba pada Kamis (14 Desember 2017) pagi saya mendengar berita kepulangannya ke haribaan Allah SWT. Berita yang sungguh mengagetkan, dan merupakan berita duka bagi ummat yang kehilangan tokoh pergerakan yang konsis dan memilih hidup sederhana. Beliau wafat dalam usia 78 tahun.
Nyantri pada Ustad Umar Hubeis AM Fatwa saat kuliah di IAIN Jakarta pada Fakultas Da’wah (1963), dia beroleh Ikatan Dinas dari ALRI [sekarang TNI-AL].
Maka dia ditempatkan di Komando Kawasan Timur AL, di Surabaya. Dia bertugas di Surabaya sejak tahun 1964-69, dan terakhir menjabat sebagai Wakil Kepala Dinas Rohani Islam Komando Wilayah Timur KKO AL.
Di sinilah dia bertemu dengan seorang Ulama kharismatis yang dipunyai Al-Irsyad, Ustad Umar Hubeis, murid dari pendiri Al-Irsyad, Syekh Ahmad Surkati.
Hampir tiap pekan AM Fatwa muda nyantri pada Ustad Umar. Di sinilah beliau persis tahu tentang Al-Irsyad dengan segala pernak-perniknya. Dan menganggap diri sebagai bagian dari Al- Irsyad, sebagaimana seniornya di Bimbingan Mental AL di Surabaya, Dr. Tarmizi Taher, yang kemudian menjadi Menteri Agama RI, juga nyantri pada Ustad Umar Hubeis.
Pengagum Syekh Surkati
Perjumpaan dengan Pak AM di Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyyah ke-38, tahun 2007, di Cibubur Jakarta, amat berkesan.
Pak AM yang tampil di Pembukaan Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyyah saat itu sebagai Wakil Ketua MPR RI (2004-2009) memaparkan sejarah Al-Irsyad Al-Islamiyyah dan pendirinya, Syekh Ahmad Surkati, dengan amat runtut serta begitu baiknya. Bahkan beberapa hal yang sebelumnya luput dari pengetahuan kami, menjadi masukan berharga.
Beliau tampak sebagai pengagum Syekh Ahmad Surkati, yang diceritakannya dengan penuh kebanggaan. Dan merasa heran, kenapa para pengurus Al-Irsyad tidak mengajukannya sebagai Pahlawan Nasional.
Menurutnya, Syekh Ahmad Surkati adalah pahlawan pendidikan dan juga pergerakan menjelang Indonesia merdeka, yang jasanya tidak bisa diukur. “Negara ini wajib memberikan tanda jasa kepada Syekh Ahmad Surkati, tapi tentu itu perlu diperjuangkan. Dan mumpung saya masih duduk di MPR, akan membantu dengan segenap tenaga untuk menjadikannya Pahlawan Nasional,” tandasnya.
“Di negeri ini, menurutnya, segala sesuatu itu perlu diikhtiarkan. Jika tidak, maka yang seharusnya pantas mendapat gelar akan terabaikan. Dan sebaliknya, yang muncul adalah pahlawan-pahlawan tingkat lokal, yang karena keluarga dan pemerintah daerahnya gigih ‘menasionalkannya’, jadilah dia pahlawan nasional,” pungkasnya.
Saya sebenarnya sudah berangan-angan akan menemui Pak AM dalam beberapa saat mendatang, untuk maksud meminta kesediaan beliau menuliskan tentang Syekh Ahmad Surkati.
Artikel beliau nantinya akan menjadi salah satu tulisan yang menyertai tokoh sejarahwan serta tokoh nasional lainnya yang akan mengiringi terbitnya buku Memoar Surkati. Penulisan buku itu merupakan bagian dari ikhtiar menjadikan Syekh Ahmad Surkati sebagai Pahlawan Nasional.
Tapi takdir berkata lain, Pak AM sudah dipanggil-Nya.
Pak AM adalah pribadi yang hangat, akrab kepada orang yang dikenalnya, sederhana, meski kesempatan memperoleh harta begitu mudahnya dengan jabatan politik yang disandangnya yang begitu beragam, yang tentu sama-sama kita ketahui.
Negeri ini kehilangan putra terbaik yang sulit dicari padanannya ... Selamat jalan Pak AM ...*
Ady AmarPemerhati Sosial dan Keagamaan
Advertisement