Sinagoge Surabaya Berubah Jadi Hotel Berlantai 17
Surabaya pernah menjadi kota sangat menyenangkan bagi kaum imigran Yahudi saat jaman kolonial Belanda. Mereka hidup makmur dan aman dengan beragam profesi. Ada tentara, pegawai pemerintahan Belanda sampai saudagar. Komunitas Yahudi di kota Pahlawan konon menembus angka 500 orang. Mereka pun mendirikan peribadatan Sinagoge. Yang paling terkenal Sinagoge di Jalan Kayoon 4—6 Surabaya. Sayangnya rumah peribadatan pemeluk Yudaisme itu lenyap. Kini disulap menjadi gedung pencakar langit.
Ngopibareng.id menelusuri bekas Sinagoge di Jalan Kayoon . Tak sulit menemukan lokasi Jalan Kayoon 4- 6 Surabaya. Letaknya di ujung Jalan Kayoon, mendekati pertigaan Jalan Pemuda. Tapi, jejak Sinagoge nyaris tak tersisa. Sebagai gantinya di lahan kurang lebih seluas 70 x 70 meter itu berubah menjadi bangunan hotel.
Seperti dikutip dari CNN Indonesia, beberapa peneliti Southest Asian Studies memperkirakan sebanyak 500 keturunan Yahudi pernah menetap di Surabaya. Jumlah terus menurun seiring penindasan Jepang yang disponsori Jerman, di bawah Partai Nazi. Kisah kehidupan komunitas ditulis kembali keturunan Yahudi yang lahir di Surabaya tahun 1946. Yakni, Eli Dwek. Eli menuliskan kronik kehidupan keluarganya di Indonesia dalam karya berjudul The Demise of the Jewish Community in Surabaya.
Ayah Eli, Gabriel Dwek, seorang Yahudi Shephardi berlatar belakang Suriah dan Yunani, memutuskan tidak meneruskan pendidikannya di Yeshiva atau lembaga pendidikan kitab Taurat saat usianya 20-an tahun. Gabriel, dekade 1920-an, lebih memilih menemani saudara perempuannya, Rachel Dwek, berlayar dari Palestina ke Surabaya. Rachel baru menerima pinangan saudagar Yahudi bermukim di Surabaya, Moshe Bar.
Eli berkata, pada abad ke-19, Surabaya jadi tempat ideal bagi imigran Yahudi. Tidak seperti di daerah koloni Inggris, komunitas Yahudi bisa hidup normal di Surabaya berada di bawah kekuasaan Belanda. "Kami mendapatkan segala hak istimewa di tanah kolonial, seperti berkendaraan dengan mobil, menunggang kuda di pedesaan hingga memiliki banyak pekerja rumah tangga," tulis Eli.
"Selama bertahun-tahun, orangtua saya dan kolega menikmati benar menjadi komunitas Yahudi di Surabaya," katanya. Selepas rangkaian penangkapan dan pemenjaraan pada masa pendudukan Jepang, kehidupan keluarga Dwek kembali normal. Eli masuk sekolah yang kini SD 1 Kristen Petra. Di sekolah itu Eli satu-satunya keturunan Yahudi. Di sana, ia mempelajari alkitab dan membaca perjanjian lama dan baru versi Kristen Protestan.
Ketika itu, keluarga Dwek menetap di Jalan Kapuas. Di rumah itu, orangtuanya mempekerjakan tukang masak, tukang kebun, dua pekerja rumah tangga dan pengemudi. "Kami sangat menikmati hidup. Saya mengayuh sepeda ke sekolah dan bermain dengan tetangga. Di akhir pekan kami berlibur ke Tretes sebagai tamu Charlie Mussry, si pemilik vila," ucap Eli.
Tahun 1949, komunitas Yahudi Surabaya membeli rumah di Jalan Kayoon. Lalu menjadikan rumah itu sinagoge, pusat kegiatan keagamaan mereka sebagai pemeluk Yudaisme. Pada masa itu, komunitas Yahudi tidak memiliki rabi atau pemuka agama yang dapat memimpin peribadatan. Gabriel yang memiliki garis keturunan rabi pun mengambil tugas itu. Belakangan, kata Eli, Gabriel pergi ke Singapura dan mengajak seorang rabi berlatar belakang Baghdadi bernama Ezra Meir ikut ke Surabaya.
Kehidupan komunitas itu pun, menurut Eli, terasa lengkap. Mereka dapat menikmati makanan kosher atau halal versi Yahudi pada perayaan tertentu seperti saat paskah, hari suci (yom kippur) dan tahun baru versi penanggalan Yahudi. Pangan kosher merupakan kendala bagi pemeluk Yudasime di Indonesia pada era kekinian. Elisheva Wiriaatmadja mengaku komunitas Yahudi yang bernaung di bawah Yayasan Eits Chaim Indonesia harus mengimpor makanan dan minuman kosher dari Singapura. "Untuk menjalankan ritual, kami butuh anggur yang kosher. Kami harus beli di Singapura dan itu mahal," ujarnya saat ditemui Juni lalu.
Secara pribadi pun, Elisheva harus mengubah gaya hidupnya karena ketiadaan bahan pangan kosher. "Di Indonesia belum ada makanan kosher, secara part time saya harus vegetarian," tuturnya.
Tingalkan Indonesia
Kenyamanan komunitas Yahudi di Surabaya, menurut Eli, berakhir ketika Israel dengan, Inggris dan Perancis menyerang Mesir tahun 1956. Perebutan Terusan Suez yang sebagai Perang Sinai itu membuat kehidupan komunitas imigran Yahudi itu terusik. "Ayah saya harus menutup toko selama Perang Sinai untuk keselamatan pribadinya dan ketakutan atas vandalisme," katanya.
Keberadaan komunitas Yahudi di Indonesia mendekati titik akhir ketika Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan nasionalisasi aset asing dan mencanangkan Trikora pengambilalihan Irian Jaya. "Di sekolahku, sebagian besar guru dan murid telah meninggalkan Indonesia. Itu memaksa kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan menggabungkan sejumlah kelas dalam satu ruang," katanya.
Di sisi lain, sekelompok orang diistilahkan Eli dengan kata preman, memeras komunitas Yahudi yang rentan. Komunitas Yahudi dalam kondisi berbahaya, tidak aman. Agustus 1958, keluarga Dwek meninggalkan Indonesia menuju Israel dalam gelombang kepulangan dan pengungsian warga non-Indonesia keluar negeri. Sementara itu, sebagian lain dari komunitas Yahudi memilih berimigrasi ke Los Angeles, Amerika Serikat.
Di Israel, Gabriel kembali membuka toko optik. Tahun 1973, Eli bertemu dengan Florence Judah, putri seorang bekas komunitas Yahudi di Surabaya. Dua tahun kemudian mereka menikah di Los Angeles, dalam perayaan dan reuni dengan kerabat mereka yang lari dari Surabaya dua puluh tahun sebelumnya.
Berbeda sebagian besar komunitas Yahudi memilih meninggalkan Indonesia, keluarga Charles Mussry memilih tetap tinggal di Surabaya. Charles meninggal dan dimakamkan di kompleks pemakaman Kembang Kuning. Pada batu nisannya yang beraksara Ibrani, tertulis Charles lahir pada 9 Oktober 1919 dan wafat pada usia 52 tahun. Ia meninggal 23 Agustus 1971.
Charles Mussry seorang pengusaha tajir. Charles Mussry putra dari pasangan Jacob Mussry, lelaki Yahudi asal Mesir, dan Toba Solomon Kattan. Keduanya bertemu dan menikah di Aceh.
Rumahnya di Jalan Simpang, bersebalahan dengan RS Simpang yang kini berdiri pusat perbelanjaan Delta Plaza atau Surabaya Plaza. Nama Jalan Simpang pun kini menjadi Jalan Pemuda. Mussry seorang pengusaha bengkel terkenal yang laris. Mobilnya juga banyak. Umumnya bermerk . Ada Ford, Chevrolet sampai Mercedes.
Mussry menikahi seorang gadis Madiun nan jelita. Namanya, Djojoek. Dari hasil pernikahanya Mussry-Djojoek dikarunia tiga orang anak. Soal keberadaan anak anak Mussry tidak banyak yang tahu. Karena berbicara Yahudi di Indonesia sangat sensitif. Sebagaian besar khususnya kaum muslim beranggapan Yahudi adalah bedebah karena sampai kini menjajah dan merampas tanah hak orang Palestina.
Sementara kepada Jeffery Hadler, peneliti Studi Asia Tenggara dari Universitas Berkeley, Amerika Serikat, putra Charles, David Mussry, menyebut keluarganya mendapatkan identitas sebagai warga negara Indonesia di akhir dekade 1950-an. Hadler dalam penelitiannya yang berjudul Translations of Antisemitsm: Jews, The Chinese and Violence in Colonial and Post-Colonial Indonesia menulis, David menuliskan Hebrani dalam kolom agama pada kartu tanda penduduknya.
"Pada masa perpanjangan kartu itu pada tahun 1998, ia dipaksa memilih satu dari lima agama resmi pemerintah untuk mengisi kolom agama," tulis Hadler. David saat itu memilih Hindu. Dalam kumpulan arsip berkas perkara perdata Mahkamah Agung, terselip nama David. Dalam dokumen itu, David disebut sebagai ketua Perkumpulan Israelitische Gemeente Soerabaja alias Jemaat Israel di Surabaya.
Perkumpulan itu didirikan Izak Ellias Binome Ehrenoreis Rechte Grunfeld dan Emma Mizrahie pada 31 Juli 1923 di Surabaya. Perkumpulan itu sempat mendirikan satu sinagoge di Jalan Bubutan Surabaya. Dokumen MA itu menyebut, karena jumlah umat semakin banyak, perkumpulan akhirnya membeli sebidang tanah milik Nyonya Ada Henriette Burch Kruseman, di Jalan Kayoon 4—6 Surabaya, tempat di mana sinagoge Beit Hashem pernah berdiri.
Melalui serangkaian peristiwa hukum, hak milik atas tanah dan bangunan rumah ibadah itu berpindah tangan. Tahun 2013, sinagoge yang berstatus sebagai bangunan warisan cagar budaya itu diratakan dengan tanah. Kini, di lokasi sinagoge berdiri Hotel Grand Dafam yang berlantai 17.
Populerkan Makam Belanda, Ereveld Surabaya Lebih Terbuka
Setelah berjalan-jalan menyusuri jejak tempat peribadatan orang Yahudi, kini penulis mencoba untuk melihat dan menelusuri jejak orang-orang Belanda di Surabaya. Penulis berkunjung ke makam orang-orang belanda di Kembang Kuning. Saat memencet bel pada pintu masuk ereveld atau makam kehormatan Belanda di Kembang Kuning, Sabtu pagi, 7 April 2018, penulis ragu apakah diijinkan masuk. Apalagi, untuk liputan. Tapi, kabarnya pengelola ereveld kini lebih terbuka.
Sebab, tempat pembaringan 5000 jasad korban perang antara tahun 1941 sampai 1950 itu dikenal sangat tertutup. Maklum, ereveld bukan makam biasa. Tapi, kumpulan korban kamp penahanan selama Perang Dunia II di Jatim, jasad tentara Angkatan Darat Kerajaan Belanda, Orang-orang Indonesia yang tergabung dalam Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda umumnya dari Ambon, Manado, Madura dan Jawa. Juga ada Marinir dan Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Selama ini hanya keluarga dan ahli waris korban saja yang setiap saat bisa menziarahi ereveld. Sedangkan masyarakat umum harus mengantongi ijin dari Konsulat Belanda di Surabaya jika ingin masuk kawasan ereveld. Setelah dua kali bel dipencet, muncul seorang mengenakan safari coklat muda naik motor menuju pintu gerbang. "Ada keperluan apa Pak?" tanya pegawai tadi.
"Mau ketemu pengawas makam Ibu Audriana," kata penulis.
"Mari masuk. Dinaiki saja sepedanya Pak," tambahnya. Penulis pagi itu nggowes sambil liputan. Jalan utama makam berupa paving selebar sekitar 6 meter sangat bersih dan nyaman. Sepanjang mata memandang ereveld yang luasnya mencapai 4,5 hektar itu layaknya hamparan permadani nan hijau. Di atas hijaunya rerumputan tersembul ribuan tanda makam putih berjejer rapi.
Benar benar rapi, teratur dan enak dipandang karena bersih. Ada beberapa pot bunga di tempatkan di berbagai sudut areal makam kian menambah cantiknya pemandangan. Ada pohon dan tumbuhan tapi khusus di areal makam dipilih yang pendek agar tidak menutupi tanda makam. Tapi, pingir areal makam dan tanah lapangan banyak tumbuhan besar, berusia puluahn bahkan mungin ratusantahun. Ada beringin, ketapang, terbesi dan cemara. Jadi, areal makam cukup rindang.
Areal makam di bagi dalam beberapa fak atau blok dihubungkan dengan jalan paving. Lebarnya bervariasi. Tampak para pekerja dari kejauhan merapikan rumput dengan alat pemotong mesin. Suaranya meraung raung. Memekakkan telinga. "Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu," ujar Audriana S Loluputy ramah di ruang tamu yang didesain layaknya pendopo .
Perempuan berdarah Ambon itu menjabat sebagai opzicher, supervisi atau pengawas makam Kehormatan Belanda Kembang Kuning sejak 2015 lalu. Setelah tahu Ngopibereng.Id akan menulis sejarah ereveld, Audri kian antusias. "Pengelola ereveld sekarang lebih terbuka. Kami ingin merubah paradigma soal ereveld bahwa selama ini dikenal sebagai makam Belanda. Makam Kristen. Padahal, yang beristirahat di sini multi ras, multi agama. Ada pemeluk Islam, Kristen, Buddha bahkan Yahudi," kata ibu satu anak itu.
"Terbanyak Kristen, Islam, Buddha. Yahudi hanya lima. Sedangkan kebangsaan atau suku ada Belanda, Eropa, Asia, China, Jawa, Ambon, Madura, Manado dan lainnya," tambahnya.
Ereveld Kembang Kuning lanjut Audri, tak hanya dihuni prajurit militer Belanda. Baik dari AD, AL, Marinir. Tapi, juga banyak warga sipil orang Indonesia yang bergabung KNIL, masyarakat sipil korban penahanan saat perang dunia II sampai anak anak korban perang juga ada," kata Audri.
Karena beberapa tahun belakangan, setiap ada peringatan di ereveld, pihaknya mengundang pers dan kelompok pemerhati sejarah di Surabaya. Tujuannya, agar masyarakat lebih tahu bahwa Makam Kehormatan Belanda Kembang Kuning tak hanya diisi dari orang Belanda tapi juga bangsa da suku lainya. Tidak hanya Kristen tapi, juga ada muslim, Buddha dan Yahudi.
Meski terbuka karena ini lokasi makam lanjut Audri, pengunjung tetap diharapkan berperilaku hormat. Misalnya, tidak menggunakan spot yang ada untuk selfie berlebihan. Apalagi dengan baground nama- nama mereka yang disemayamkan di sini. "Saat ini rata rata visitor sekitar 150 sebulan," kata Audri.
Sampai sekarang lanjut Audri, makam Kehormatan Belanda Kembang Kuning masih menerima korban yang 'layak' dimakamkan di ereveld. Tentunya, setelah diteliti terkait layak tidaknya. Yang menentukan kriteria layak tidaknya orang dimakamkan di ereveld adalah kantor pusat di Belanda. "Kami hanya bertugas mencari makam atau jenasah berdasarkan laporan masuk. Lalu melaporkan data dan ciri cirinya ke Belanda. Baru setelah itu diputuskan. Yang jelas mereka yang mati antara tahun 1941-1950," katanya.
Penulis yang asli arek Pakis, tetangga komplek Makam Kehormatan Belanda Kembang Kuning, masih ingat benar saat kecil bahwa kuburan Londo sebutan warga bagi Makam Kehormatan Belanda sekitar makam memang terbuka untuk umum. Bahkan jalanutama makam yang tembus perkampungan sebelahnya Pakis Gunung I biasa dipakai jalan warga menuju Kembang Kuning atau perkampungan Pakis Sidokumpul.
Seingat penulis ada pengusaha minyak tanah di Pakis Gunung I. Kalau kulakan minyak mobil Pertamina masuknya lewat jalan kuburan Londo tadi untuk mengirim minyak tanah atau lengo gas. Tapi, sekitar tahun 1974 jalan makam ditutup untuk umum. Termasuk warga kampung yang dulu bisa melintas sejak itu dilarang.
Agar tertata rapi dan memudahkan perawatan, areal makam di bagi dalam beberapa fak atau blok. Ada sedikitnya 12 blok. Khusus areal makam dari militer Kerajaan Belanda ditempatkan belakang Monumen Karel Doorman. Untuk perawatan makam, pihak ereveld memperkerjakan 13 orang. Masing masing ada pembagian tugas. Misalnya, satu orang punya kewajiban membersihkan dua blok makam. Karena memotong rumput tidak setiap hari, para pekerja juga merawat tanaman, membersihkan taman, kolam, mengganti cat patok makam yang mulai kusam dan seterusnya. "Jadi, bekerja terus bergilir. Mana hari itu perlu dibersihkan masing masing pegawai sudah ada jadwal kerjanya," ungkapnya.
Lokasi makam pun dikelompokan dalam agamanya. Begitu juga tanda patok makam yang Kristen laki laki dan perempuan ada sedikit beda. Kalau makam pemeluk Kristen laki laki hanya tanda salip polos. Sedangkan makam Kristen perempuan tanda salip dengan lengkungan mirip bunga di pojok tanda salip. Kalau Buddha tanda maka mirip huruf n kecil. Sedangkan untuk muslim seperti tanda patok sepertinya tanda patokan di makam Islam. Sedangkan Yahudi tanda makam seperti huruf I diatasnya ada bintang lima. "Kalau Hindu tidak ada," aku Audri.
Dulu, lanjut Audri, ada 22 ereveld di Indonesia. Bahkan sebagaian tersebar berada di luar Pulau Jawa. Tapi, sejak tahun 1960 makam-makam di luar Pulau Jawa dipindah ke Pulau Jawa. Termasuk ereveld Kembang Kuning memakamkan kembali sisa jenasah pindahan dari Tarakan, Kalimantan Utara (1964), Kupang NTT (1966) Ambon (1967), Balikpapan (1967), Makassar (1968) dan New Guinea (1974).
Selain Kembang Kuning, ada enam ereveld lagi seluruh Pulau Jawa. Ereveld Ancol dan Ereveld Menteng Pulo (Jakarta), Ereveld Leuwigajah (Cimahi). Ini ereveld terbesar. Ada 5200 makam. Ada Ereveld Pandu (Bandung), Ereveld Candi dan Kalibanteng (Semarang). Tujuh ereveld yang ada di Indonesia diurus yayasan pemakaman korban perang bernama Oorlogs Graven Stichting (OGS) yang berpusat di Belanda. Sedangkan di Indonesia kantor OGC berada di Jakarta. Tepatnya, di Jalan Panglima Polim, Kebayoran Baru, Jakara Selatan.
Menurut situs resmi OGS, yayasan ini merawat makam dari 50 ribu orang, tersebar di Eropa, Asia Tenggara, Indonesia, bahkan di Irak. Dari 50 ribu itu, sebanyak 24 ribu orang di antaranya dimakamkan di Indonesia. Besarnya jumlah makam orang Belanda dan simpatisanya di Indonesia cukup wajar. Itu karena Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun, atau 3,5 abad. Perawatan makam oleh OGS ditopang berbagai sumbangan dan bantuan Kerajaan Belanda..
Tapi, ikon ereveld Kembang Kuning adalah monumen Karel Dorman karya arsitek W.J.G Zeedijk yang diresmikan 7 Mei 1954. Lokasi monumen di tengah tengah makam biasa menjadi tempat upacara setiap 27 Februari. Dan, hari Pahlawan Belanda setiap tanggal 4 Mei. Ya, hari itu, 27 Februari 1942 dikenang sebagai pertempuran Laut Jawa terbesar dalam PD II antara sekutu yang dikomandani Karel Doorman berhadapan prajurit kekaisaran Jepang di sekitar Pulau Bawean.
Sekutu gagal menghadang Jepang menguasai Pulau Jawa. Korban di pihak sekutu sangat besar. Tiga kapal Belanda karam dihantam terpedo Jepang, ribuan pelaut mati bersama kapal mereka yang tenggelam termasuk Karel Doorman yang memilih terkubur bersama kapal yang dikomandaninya yakni, kapal penjelajah De Ruyter. Ribuan tentara sekutu ditawan. Juga beberapa kapal Inggris, Amerika, Australia yang ikut menghadang Jepang yang datang dari Makassar ikut tenggelam. (baca juga edisi 5, kekalahan sekutu)
"Makamnya boleh difoto tapi tolong jangan ditujukkan namanya. Itu sangat sensitif bagi keluarganya. Yang di depan itu makam anak anak," tunjuk Audri.
Ceritanya lanjut Audri, saat itu anak anak Belanda akan mengungsi naik truk tertutup. Saat melewati jembatan yang sekarang di daerah sekitar pertokoan Grand City, ada pejuang melempar granat ke arah truk. Mereka mengira truk berisi prajurit Belanda kerena itu memang truk militer.
Monumen Karel Doorman bercat krem dengan desain layaknya anjungan kapal. Bangunan itu untuk mengenang Laksamana Muda Karel Willem Frederik Marie Doorman. Perancangnya adalah W. J. G. Zeedijk, diresmikan pada 7 Mei 1954. Pas di tengah monumen ada gambar wajah Karel Doorman. Ada kata kata mutiara legendaris Karel Doorman yang diabadikan bersama patung wajahnya. "Ik val aan, volgt mij! (Saya sedang menyerang ikuti saya)!" kata Doorman.
Di atas wajah Doorman ada lambang jangkar, simbol angkatan laut. Persis di depan monumen Karel Doorman ada tombe semacam tugu peringatan yang bentuknya mirip peti mati. Tertulis "De Onbekende Zeeman" artinya untuk Para Pelaut Tak Dikenal. Itu sebagai bentuk penghormatan kepada pelaut yang gugur dalam mempertahankan Pulau Jawa dari invasi militer Jepang 1942.
Mereka dalam keabadianya di dasar laut bersama tenggelamnya kapal mereka yang diterpedo Jepang. Sementara lempengan sisi kanan dari gambar Karel Dorman menjelmakan kapal penjelajah De Ruyter dengan teks "In eerbied opgedragen aan alle mannen der Koninklijke Marine die niet uit de strijd terug keerden. Slag in de java zee 27 Februari 1942. Harer Majesteit kruiser De Ruyter" didedikasikan untuk semua orang dari Angkatan Laut Kerajaan yang tidak kembali dari pertempuran. Pertempuran Laut Jawa 27 Februari 1942. Kapal Penjelajah De Ruyter tenggelam bersama sang komandan Karel Doorman.
Sedangkan lempengan sisi kiri menggambarkan Kapal "De Zeven Provincien", yang dikomandoi Michiels Adriaanszoon de Ruyter (1607-76) dalam Perang Empat Hari antara Inggris dan Belanda pada abad ke-17. Lempengan ini bagaikan nyala gelora dalam monumen ini lantaran petikan kata-kata de Ruyter tentang kepatuhan, semangat bertempur, dan pengorbanan.
Sementara di bagian belakang monumen Karel Doorman dihiasi 15 lembar plat perunggu bertuliskan nama dari 915 prajurit Angkatan Laut yang gugur pada saat pertempuran Laut Jawa 27 Februari 1942. Mereka ini tidak punya makan karena jasad mereka terkubur bersama tenggelamnya kjala mereka yang di torpedo prajurit kekaisaran Jepang dekat pulau Bawean. Nama nama mereka dapat dilihat di buku peringatan (gerdenkboek) milik yayasan makam Kehoramatan belanda (buku no 38 dan 39). Tambah Audri, di areal amakam kehormatan Belanda Kembang Kuning masih ada beberapa tugu atau monumen kecil lainnya. Intinya, untuk mengenang jasa meraka yang gugur dalam perang laut Jawa. Atau Slag in de Javazee, 27 Februari 1942. (Bahari/bersambung)
Advertisement