Zaken Kabinet vis a vis Kabinet Ucapan Terima Kasih
Oleh: Yusuf Amrozi
Dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Beberapa jam setelah dilantik, Presiden Prabowo Subianto langsung mengumumkan nama nama yang menjadi menteri dan wakil menteri yang menjadi kabinetnya dan diberi nama Kabinet Merah Putih untuk membersamai beliau bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam masa jabatannya.
Dari sisi jumlah dan latar belakang nama-nama tersebut sangat banyak dan beragam, baik dari orang-orang yang menjadi bagian dalam mensukseskan pasangan Prabowo-Gibran menjadi Presiden-Wakil Presiden, hingga orang yang menjadi lawan politik saat kontenstasi pilpres kemarin. Saking banyaknya, sampai-sampai media BBC menulis sebagai kabinet terbanyak sejak tahun 1960an.
Menanggapi hal ini saya “curhat” tentang fenomena tersebut dengan seorang kawan jurnalis. Beliau menanggapinya dengan santai bahwa dalam politik jangan terlalu diseriusi. Hal yang mungkin serius dari politik itu justru Kepentingan itu sendiri. Lainnya hanya kemasan saja.
Sekeras apapun pertarungannya, andai bisa selesai dengan satu kata: Akomodasi, hal itu akan selesai dengan sendirinya. Apapun ideologi dan latar belakang, jika kepentingan bisa dikomunikasikan maka akan bisa ketemu. Maka dalam konteks ini kita kemudian mengenal suatu teori yang disebut dengan teori akomodasi kepentingan.
Teori Akomodasi Kepentingan
Teori akomodasi kepentingan merupakan konsep yang menjelaskan bagaimana berbagai kelompok atau individu dalam konteks politik dengan kepentingan yang berbeda dapat mencapai kesepakatan atau kompromi untuk mengurangi konflik kepentingan itu sendiri serta untuk mencapai tujuan bersama, utamanya dalam hal “power sharing”. Dalam konteks politik tersebut, tentu akomodasi kepentingan sering kali melibatkan negosiasi, mediasi, dan pembagian kekuasaan untuk memastikan bahwa semua pihak merasa dapat benefit sesuai dengan usaha dan komunikasi politik yang dilakukan.
Namun disisi yang lain dalam dinamika politik, sebut saja beberapa contoh kasus di sejumlah negara di eropa atau di barat, mereka umumnya menganut sistem yang secara diametrikal berhadap-hadapan. Bagi mereka yang sekarang menjadi pemenang pada kontestasi pemilihan eksekutif di suatu negara, mereka akan fokus pada pemenuhan visi dan janji saat kampanye dengan mengajak tim yang sevisi yang menjadi bagian dari tim pemenang untuk mengisi kabinet di pemerintahan. Yang kalah akan menjadi oposisi. Hal ini berbeda di negara kita, khususnya beberapa periode kepemimpinan nasional belakangan ini. Semangat untuk memperkuat kekuatan politik tersebut tercermin pada pola merangkul sebanyak mungkin kekuatan politik baik dari kalangan partai politik hingga kelompok kepentingan yang punya basis massa dan pengaruh strategis.
‘Kabinet Terimakasih’ vs Zaken Kabinet
Maka dalam konteks ini saya memilih diksi “Kabinet Terimakasih”. Suatu terminologi untuk memberi ungkapan terimakasih pada para kelompok pendukung, maupun kelompok yang mau bergabung pada koalisi besar ini. Dengan demikian hal tersebut berbeda dengan istilah yang mungkin telah kita kenal sebelumnya dengan Zaken Kabinet atau “kabinet Profesional”, yang mana kabinet pemerintahan tersebut diisi dengan orang-orang yang dipilih berdasarkan keahlian dan kompetensi mereka pada bidang tertentu, bukan semata-mata karena afiliasi politik.
Istilah Zaken ini pada awalnya berasal dari bahasa Belanda yang berarti ‘urusan’ atau ‘masalah’ yang artinya para manteri tersebut memiliki kompetensi untuk menangani urusan yang menjadi amanah di kementeriannya.
Timbul pertanyaan mengapa terkadang seorang kepala negara yang baru dilantik walau mengklaim bahwa pada pemerintahannya akan membentuk Zaken Kabinet, tetapi pada prakteknya terjebak pada koalisi politik yang menomorduakan profesionalitas? Maka kembali pada ungkapan rekan jurnalis yang saya singgung diatas bahwa politik adalah bagaimana mengakomodir segala kepentingan yang ada.
Lalu jika demikian, mengapa tradisi oposisi tidak begitu subur bertumbuh kembang? Mengingat keberadaan oposisi sangat penting untuk menjadi kendali agar tidak terjadi single majority yang tanpa batas.
Problem minimnya kekuatan oposisi
Ketidakhadiran oposisi yang kuat di suatu negara saya melihatnya barangkali disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya: kultur politik, minimnya budaya kritis, serta sistem tatakelola demokrasi. Pertama, dalam hal kultur politik, budaya politik yang menekankan persatuan dan stabilitas memungkinkan mengurangi bahkan melemahkan pentingnya peran oposisi di segala lini baik di parlemen maupun luar parlemen. Dengan demikian sebisa mungkin pemilik kekuasaan saat itu ingin merangkul semua kalangan yang kemudian meniadakan kelompok opisisi.
Kedua, Minimnya budaya kritis. Dalam hal ini, kita seringkali mendapatkan pembiasaan tentang berfikir positifistik yang kemudian menafikkan paradigma kritis. Kritis seolah olah tabu, padahal hal ini merupakan elemen penting untuk dapat menilai atau mengukur apakah pada posisi saat ini telah mengalami fase ketercapaian dari suatu visi yang diinginkan. Celakanya kritik terhadap pemerintah, bahkan kritik sosial dapat dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan, dan karenanya kritikus seringkali mendapat stigma minor dalam relasi sosial.
Ketiga, Sistem tatakelola demokrasi. Kekhawatiran saat tidak mendapat ‘jatah’ menteri atau diluar pemerintahan, maka potensi untuk mendapatkan tambahan sumberdaya akan semakin berkurang yang karenanya akan menjadi kecemasan para pemimpin partai politik, dalam mengorkestrasi sumberdaya partai atau kelompok politiknya. Oleh sebab itu maka bagunan sistem tatakelola demokrasi untuk kiranya mendapat akses dan jaminan dari negara, agar kualitas suprastruktur maupun tatakelola demokrasi dapat berjalan secara sehat sekalipun ia menjadi oposisi.
Peran oposisi yang optimal justru akan berpotensi untuk mendapat simpati dari warganegara manakala ia konsisten dengan perjuangan yang telah ditempuh. Keberadaan oposisi yang kuat sangat penting untuk terbentuknya tatakelola demokrasi yang berkualitas. Dengan demikian oposisi berperan sebagai penyeimbang kekuasaan, memantau kebijakan pemerintah, dan memastikan bahwa berbagai pandangan dan keinginan yang beragam di masyarakat diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan pemerintah.
Quo Vadis Kabinet Prabowo-Gibran
Maka kembali melihat komposisi kabinet yang pelangi dan sangat beragam tersebut boleh dibilang Pak Prabowo sebetulnya ingin menunjukkan profesionalitas para anggota kabinetnya dengan adanya sejumlah nama dari kalangan profesional. Tetapi juga tidak sedikit dari barisan pendukungnya serta dari kelompok politik yang awalnya bersebrangan dengan beliau. Oleh sebab itu saya melihat kedepan ingin mewujudkan stabilitas dalam proses pembangunan dengan mengakomodir segala kelompok kepentingan yang ada.
Namun demikian, PR yang akan dihadapi oleh pemerintahan Prabowo-Gibran memang cukup complicated. Sejumlah agenda kedepan yang harusnya menjadi fokus pada pemerintahan ini saya melihatnya pada pemberantasan korupsi. Di era demokrasi liberal saat ini yang mana ongkos politik mahal, maka potensi korupsi untuk mengembalikan modal politik tempo hari sangat besar baik di level nasional hingga daerah. Disisi yang lain tantangan ekonomi juga tidak kalah berat. Tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat, seperti penurunan daya beli masyarakat memerlukan kolaborasi dari segenap elemen bangsa terutama dari pemerintah untuk hadir memberi intervensi. Oleh sebab itu pembangunan tidak hanya pada aspek insfratruktur fisik, tetapi juga kompetensi sumberdaya manusianya.
Selain itu dalam konteks global, tantangan geopolitik global seperti ketegangan di Timur Tengah masih belum ada tanda-tanda berakhir. Demikian juga ketidakpastian ekonomi dunia akan mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional di era teknologi informasi yang demikian cepat ini. Oleh sebab itu rakyat akan menunggu gebrakan presiden dan wakil presiden yang baru beserta anggota kabinetnya terutama untuk seratus hari pertama, untuk membuktikan apakah dengan komposisi kabinet yang baru tersebut mampu terbentuk kabinet yang profesional ataukah hanya semacam kabinet ucapan terimakasih.
* Dr. Yusuf Amrozi adalah Dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Advertisement