Zakat-Infak-Sedekah Perkuat Negara, Ini Penjelasan Gubernur BI
Jakarta: Permasalahan kesenjangan ekonomi di Indonesia, mengundang keprihatinan banyak pihak. Ada ikhtiar Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menjadikan ekonomi syariah mampu menjawab tantangan permasalah tersebut.
Zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf) dari sektor keuangan sosial syariah dapat menghapus kesenjangan sosial dimaksud. Apabila ziswaf dioptimalkan maka dapat berfungsi sebagai mesin penggerak baru bagi pembangunan bangsa ini.
"Ziswaf jika dikelola dengan tepat akan dapat berperan aktif dalam mewujudkan distribusi pendapatan dan distribusi kesempatan, serta pemberdayaan masyarakat secara inklusif," ujar Agus DW Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia.
Ziswaf sebagai bentuk partisipasi aktif sosial masyarakat berpotensi mendukung berbagai program investasi nasional yang terkait dengan kepentingan publik, seperti pembangunan infrastruktur, rumah sakit, maupun fasilitas publik lainnya. Selain ziswaf, Indonesia juga memiliki begitu banyak pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya yang apabila dioptimalkan dapat berperan sebagai para pelaku, pendidik, dan penggiat ekonomi syariah yang handal.
Menurut dia, lembaga-lembaga pendidikan Islam ini tidak hanya memiliki potensi sumber daya insani yang besar. "Namun juga memiliki kemampuan distribusi yang luas dengan melibatkan perekonomian masyarakat disekitarnya hingga ke unit ekonomi yang terkecil," jelas Agus, dalam rilisnya pada ngopibareng.id, Selasa (25/7/2017).
Menurut Agus Martowardojo, ekonomi dan keuangan syariah harus terus ditumbuhkan karena memuat prinsip-prinsip ekonomi inklusif yang mengedepankan keadilan, kebersamaan dan keseimbangan manfaat ekonomi, sehingga dapat membantu menurunkan tingkat ketimpangan kesejahteraan.
Masih besarnya tingkat ketimpangan merupakan “pekerjaan rumah” penting bagi Indonesia saat ini, karena indikator ekonomi lainnya seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah sudah membaik, kata Agus di depan KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Tingkat ketimpangan antara masyarakat kaya, menengah, dan miskin harus diturunkan, mengingat hal itu merupakan syarat pertumbuhan ekonomi berkualitas dan inklusif.
“Meskipun (ekonomi) banyak prestasi, namun belum diikuti dengan distribusi hasil pembangunan ekonomi yang baik,” ujarnya.
Ia dalam diskusi panel Peran Ekonomi Syariah dalam Arus Baru Ekonomi Indonesia di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin (24/7/2017). Kegiatan tersebut atas kerjasama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dihadiri Ketua Umum MUI Pusat KH Ma’ruf Amin.
Salah satu ukuran ketimpangan ekonomi adalah rasio gini. Pada akhir 2016, rasio gini Indonesia masih tinggi yakni di level 0,394. “Bank Dunia pada 2016 juga mencermati bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang harus memperhatikan masalah kesenjangan secara lebih baik lagi,” ujar dia.
Salah satu solusi untuk menurunkan ketimpangan adalah sistem ekonomi dan keuangan yang inklusif. Ekonomi keuangan syariah yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam seluruh kegiatan perekonomian dapat mendorong prinsip ekonomi dan keuangan inklusif tersebut.
“Kami meyakini sistem ekonomi yang berlandaskan nilai syariah yang menjunjung tinggi keadilan, kebersamaan, dan keseimbangan daalam pengelolaan sumber daya alam merupakan salah satu jawaban tepat,” ujar dia.
Tiga Pilar Keuangan Syariah
Dari hasil diskusi BI dan MUI, ujar Agus, terdapat tiga pilar ekonomi keuangan syariah yang harus ditumbuhkan.
Pilar Pertama, pilar pemberdayaan ekonomi syariah yang menitikberatkan pengembangan sektor usaha syariah.
Pilar Kedua, pendalaman pasar keuangan syariah. Pilar kedua ini mendorong peningkatan manajemen likuiditas serta pembiayaan syariah.
Pilar ketiga, yakni penguatan riset, asesmen, dan edukasi termasuk sosialisasi dan komunikasi.
Saat ini, kata Agus, pangsa pasar keuangan syariah baru sebesar 5,17 persen dari total pasar keuangan di Indonesia. (adi)
Advertisement