Yunahar: Al-Quran dan As-Sunnah sebagai Tolok Ukur Wasathiyah
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yunahar Ilyas menganjurkan untuk menempatkan Al-Quran dan As Sunnah, sebagai pedoman hidup ber-Islam. Kedua pedoman itu menjadi tolok ukur sikap tawassuth (moderat) atau wasathiyah. Khususnya, dalam menilai sebuah gerakan atau pandangan hidup entitas yang radikal ke kanan dan ektrem liberal ke kiri.
Pemilihan istilah wasathiyah merujuk surat Al Baqarah ayat 143, wasatho’ dalam surat tersebut juga bisa diartikan sebagai tawassuth (moderat), ta’adul (adil) dan tawazun (seimbang).
Dalam memahami wasathiyah, Yunahar Ilyas mengajak untuk memahami terlebih dahulu apa yang disebut tidak wasathiyah, yaitu al ghuluw. Menurutnya pemahaman tersebut penting, karena jangan sampai mengaku sebagai wasathiyah tapi tidak mengetahui yang lainnya.
Meminjam istilah Yusuf al Qardhawi dalam karyanya Ash Shahwah Al Islamiyyah bainal Juhud wa At Tatharruf. Mengistilahkan kelompok yang ekstrem ke kanan sebagai tatharruf yang dalam konteks Indonesia lebih cenderung orang menyebutnya sebagai radikal, dan Rasulullah saw menyebut kelompok ini sebagai al Ghuluw. Sementara, bagi yang cenderung ke kiri disebut sebagai itrafatau sering disebut sebagai kelompok liberal.
Entitas radikal secara sederhana bisa dicirikan sebagai kelompk yang memiliki sikap fanatisme terhadap hal-hal tertentu. Seperti menganggap Isa anak Maryam sebagai anak Tuhan, sikap ini tentu menyalahi pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Sikap berlebihan juga tidak boleh diterapkan dalam aqidah, ibadah dan dakwah. Kemudian untuk liberal, secara sederhana memiliki ciri pemahaman serba diperbolehkan, semua berbasis pada sikap individualistik.
Dalam pengunaan, tawazun (equilibrium) juga bisa diimplementasikan ketika menjalankan kehidupan sehari-hari. Misalnya seorang yang bekerja lalu mendapatkan upah, dari upah yang didapatkan tersebut digunakan untuk kebutuhan hidupnya dan juga bisa dipakai sebagai nafkah kepada istrinya, serta berinfak atau bersedekah. Dua aspek, duniawiyah dan ukhrawiyah diseimbangkan. Sehingga manusia selain mengetam hasil usahanya di dunia, juga mengetam pahala di akhirat kelak.
Termasuk sikap ta’adul juga bisa diimplementasikan kepada diri pribadi dan masyarakat. Dalam persoalan pribadi, ta’adul diterapkan untuk hati dan pikiran. Sehingga kerangka penilian manusia terhadap dunia dan alam sekitar sudah bisa adil sejak dalam pikiran. Sementara dalam sosial masyarakat, sikap tersebut menjadi pembagi atau positioning dalam menentukan tindakan yang diberlakukan terhadap keluarga dan masyarakat secara umum.
Sehingga dari penerapan sikap-sikap yang merupakan refleksi dari al Qur’an tidak mencenderungkan penilian atas dasar kerangka berfikir subyektif, kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok. Wakil Ketua Umum MUI 2015-2020 ini mengatakan, penilain yang sering ‘salah-kaprah’ terhadap kelompok yang dianggap radikal tidak kembali terulang. Karena tidak bisa shalat lima waktu di masjid dijadikan sebagai ciri terhadap kelompok radikal/ekstrimis.
Menurutnya, jika entitas yang terlalu jauh ke kanan dan melakukan penilaian terhadap entitas yang ditengah akan dianggapnya ke kiri. Begitu juga sebaliknya, entitas yang terlalu ke kiri akan menilai entitas yang di tenggah sebagai entitas yang cenderung ke kanan. Maka, solusi akomodatif dari kedua kutub tersebut adalah menerapkan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai tolok ukur dalam memberikan penilian.