Disebut KJRI Hongkong Bersalah, Jurnalis Migran Post Melawan
Deportasi Pemerintah Hongkong terhadap Yuli Riswati, seorang buruh migran yang juga jurnalis dinilai janggal. Disebut janggal karena perempuan yang telah bekerja di Hong Kong selama sepuluh tahun itu, dipulangkan ke Indonesia secara mendadak dan tidak melalui proses yang adil. Itu terjadi pada Senin 2 Desember 2019 lalu.
Yuli bercerita, jika deportasi yang dialaminya itu karena Pemerintah Hongkong menganggap Yuli memiliki kasus yang spesial. Selain menjadi buruh migran Yuli diketahui juga menjadi jurnalis di Migran Post dan media berbahasa Indonesia di Hongkong. Yuli juga aktif menulis tentang demonstrasi di Hongkong. Bahkan tulisannya sempat viral di negara tersebut.
“Kata petugas imigrasi kepada majikan saya di Hong Kong, kasus saya spesial, akhirnya dideportasi,” kata Yuli Riswati saat jumpa pers di LBH Surabaya, Jumat 6 Desember 2019.
Awal mulanya, Yuli dinilai melanggar administrasi keimigrasian karena terlambat memperpanjang paspor yang habis 24 Juli 2019. Dia baru memperpanjang paspornya pada 27 Juli 2019. Dengan alasan itu, ia ditangkap otoritas keimigrasian Hong Kong pada 23 September 2019 dengan tuduhan pelanggaran izin tinggal “overstay”. Namun, Yuli akhirnya dapat keluar pukul 12 malam, hari itu juga dengan membayar jaminan 500 HKD.
“Saya tidak terkena pelanggaran pidana, hanya administrasi, kalau yang dipenjara karena pidana mereka yang tidak punya visa dan ilegal working. Sementara saya punya kontrak kerja dan majikan sah,” kata Yuli.
Mengenai over stay, Yuli mengatakan bila hanya masalah administrasi, dirinya tidak harus dideportasi oleh pemerintah Hong Kong. Bahkan, Yuli telah menjalani persidangan sebanyak dua kali terkait pelanggaran administrasi. Hasilnya, Yuli dinyatakan bersalah karena izin tinggal dan dijatuhi hukuman wajib berkelakukan baik dan tidak melanggar hukum selama 12 bulan.
Menurut pengacara Yuli saat itu, Roger Lam, seharusnya Yuli dapat keluar karena masih memiliki kontrak kerja dan majikan sah secara hukum.
“Bahkan majikan saya meminta agar kembali pekerja. Namun malah ditahan di kantor CIC (Castle Peak Bay Imigration Center) bukan penjara di Hongkong, belum ada kasus seperti saya,” jelasnya.
Yuli akhirnya menjalani masa penahanan di Kantor Imigrasi Hongkong sejak 5 November hingga 2 Desember 2019. Sebelum akhirnya dideportasi tanpa membawa identitas dan dokumen penting lainnya.
“Sekali lagi, saya clear, tidak ada pelanggaran hukum. Saya kaget pihak KJRI Hongkong dan Kemenlu bilang saya pidana satu tahun, kenyataannya tidak seperti itu,” tegasnya.
Menurut dia, perwakilan Indonesia baik KJRI Hongkong dan Kemenlu tidak menghubungi atau memberikan bantuan hingga deportasi dilakukan. “Tidak ada bantuan, ketemu pun tidak,” lanjutnya
Mengenai keterangan dari pihak KJRI Hongkong dan Kemenlu yang menyatakan dirinya melanggar hukum, Yuli enggan berkomentar lebih jauh mengenai keterangan tersebut.
“Tanya mereka (KJRI Hongkong dan Kemenlu) saja,” pungkasnya.
Advertisement