Yuli Riswati, Buruh Migran Dideportasi dari Hong Kong
Pemerintah Hong Kong mendepotasi Yuli Riswati, buruh migran yang melakukan praktik jurnalisme warga di negeri bekas koloni Inggris itu. Sebelum dideportasi, pemerintah Hong Kong melalui imigrasi menjebloskan Yuli ke tahanan Pusat Imigrasi Castle Peak By selama 28 hari.
Penahanan yang kemudian berujung deportasi ini diduga dilakukan pemerintah Hong Kong. Karena, Yuli telah melakukan aktivitas jurnalistik yang dinilai menyalahi izin tinggal di negeri tersebut.
Memang, “Perempuan yang sudah 10 tahun menjadi buruh migran di Hong Kong itu memang rutin melakukan reportase, baik tulisan maupun foto langsung dari titik demonstrasi.” Demikian penjelasan Miftah Faridl, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Selasa 3 Desember 2019.
Meski begitu, bagi Faridl, informasi-informasi yang disampaikan Yuli sangat bermanfaat bagi semua orang yang ingin mendapatkan informasi terkeit apa yang sebenarnya terjadi di Hong Kong.
“Yuli menyajikan informasi dari narasumber yang ada di lokasi ketimbang hanya informasi dan peringatan normatif yang diberikan perwakilan Indonesia dalam hal ini KJRI Hong Kong,” tuturnya.
Aktivitas jurnalisme warga yang dilakukan Yuli dianggap berbahaya oleh otoritas Hong Kong. Yuli menyajikan semua informasi yang didapatnya melalui media alternatif bernama Migran Pos yang digagasnya bersama sejumlah pekerja migran.
“Yang dialami Yuli menjadi bukti semakin buruknya kebebasan berekspresi di era demokrasi. Sebelum membuat media sendiri, Yuli tercatat sebagai kontributor Suara, media lokal berbahasa Indonesia di Hong Kong,” tutur Faridl.
Yuli Riswati ditangkap pada 23 September 2019. Dia lantas banding dan pada 4 November, pengadilan pun menyatakan Yuli tidak bersalah karena minimnya bukti yang diajukan kepolisian. Namun pihak berwenang di Hong Kong mencari celah agar bisa menghentikan aktivitas Yuli. Yuli pun dituduh melewati masa izin tinggal.
Menurut Yuli, masalah izin tinggal sebenarnya bersifat adiminstratif dan bisa diselesaikan dengan pengajuan izin. Apalagi, majikannya juga melakukan pembelaan. Namun, pihak berwenang malah menjebloskannya ke tahanan.
“Saya diperlakukan seperti kriminal. Mereka melanggar aturan yang mereka buat sendiri,” ujar Yuli.
Yuli mengaku diperlakukan tidak manusiawi. Tahanan imigrasi, menurutnya, lebih buruk dari tahanan atau penjara kriminal.
“Pertama, case saya bukan sebuah case yang biasa. Saya ditahan dengan alasan yang sebenarnya tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di Hong Kong. Kedua, dalam penahanan saya ada banyak kejanggalan dan saya juga menemukan teman-teman saya sesama, kami bukan kriminal tetapi diperlakukan lebih dari orang-orang yang ada di penjara,” tutur Yuli Riswati.
Sebelumnya, polisi Hong Kong juga menembak mata jurnalis Indonesia, Veby Mega Indah. Vebu dilaporkan buta setelah terkena peluru karet dari polisi Hong Kong. Veby ditembak saat meliput demonstrasi yang mengguncang sejak Juni. Peluru itu menembus ketika kacamata pelindung dalam bentrokan pada 29 September 2019.
AJI Surabaya ikut menjemput Yuli saat tiba di Bandara Internasional Juanda di Sidoarjo pada 2 Desember 2019. Saat ini,Yuli Riswati berada di lokasi aman dan masih dalam proses pemulihan kesehatan.
Advertisement