Yudi Latif: Muhammadiyah, Bentuk Terbaik Politik Identitas
Intelektual Yudi Latief mengatakan, ruang publik saat ini diwarnai dengan tarik-menarik yang memunculkan ekslusivitas antarkubu. Jika boleh dikatakan, menurutnya, saat ini di Indonesia terdapat dua kubuh yaitu Islam dan Nasionalis.
Menurut Guru Besar Universitas Padjajaran ini, saat ini dianatara sesama anak bangsa terjadi saling memojokkan pada satu identitas. Padahal, faktanya manusia itu dalah agen dari banyak identitas.
“Menjadi masalah ketika kita itu memilih satu identitas, dan identitas itu dimampatkan, dipolitisasi seolah-olah itulah satu-satunya identitas diri kita. Di situlah politik identitas menjadi masalah,” kata Yudi Latif, dalam keterangan Kamis 21 Januari 2021.
Dalam webinar bedah buku yang berjudul Sukarno dan Islam “Dialog Pemikiran Modernisme Islam di Indonesia” yang diadakan Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Yudi Latief menyebut manusia tidak bisa lepas dari identitas.
Karena pada dasarnya manusia tidak bisa melampaui politik identitas. Terkait dengan politik identitas, Yudi Letief membaginya menjadi tiga bentuk yaitu good, bad, dan ugly. Menurutnya, Muhammadiyah masuk dalam bentuk politik identitas yang good.
Alumni Sosiologi Politik dan Komunikasi dari Australian National University ini beralasan, karena meskipun memiliki identitas Muhammadiyah, namun Muhammadiyah tetap terbuka dengan kemungkinan dialog antar kultural.
“Itu politik identitas yang sehat, tidak apa-apa. Karena setiap orang tidak mampu melampaui identitas,” imbuhnya.
Membincang Presiden Pertama Republik Indonesia, Sukarno, menurut Yudi Latief Muhammadiyah berperan besar dalam diri Sukarno saat berkenalan dengan Islam.
Sukarno adalah sosok yang bisa dijadikan prototipe dalam belajar identitas, di mana dia mengakui sebagai politisi ia adalah seorang nasionali, secara ideologis ia sebagai sosialis, dan secara keyakinan/kepercayaan ia adalah seorang theis.
“Artinya ia mengakui multipel identity. Selama ini kita sering memotret manusia dari satu identitas saja, dengan cara itu kita tidak bisa melihat kemungkinan kita ini bisa mencari titik temu dengan yang lain,” urainya
Melihat manusia dengan kaca mata multipel identity ini dibutuhkan oleh manusia untuk bisa saling bertemu ditengah belantara perbedaan. Figur Sukarno tersebut yang kemudian mampu menjembatani berbagai perbedaan kubuh di Indonesia.
“Hal yang sama terjadi pada diri Agus Salim, karena memang orang yang memiliki multipel afiliation bisa menjadi jembatan ketika terjadi konflik-konflik yang mengeras,” imbuhnya
Menurutnya, orang dengan sikap dan tipikal tersebut dibutuhkan dan berguna ketika ruang publik mampet oleh tengkar-tengkar dua kubuh yang sangat ekstrem.