Yoes 'Menyalakan' Pesan Relief Candi
Budi Irawanto
Penulis adalah Ketua Program Studi S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
-----
Sebuah relief candi tampak mengalirkan air dari rongganya. Dalam rongga itu pula kita menyaksikan planet berwarna merah di ufuk yang penuh gemintang. Relief itu diapit oleh sepasang burung berbulu blirik yang bertengger di tangkai pohon teratai.
Di atas relief candi itu tampak tiga planet berwarna ungu yang permukaannya mirip bulan mengambang di angkasa raya. Air mengucur dari angkasa. Di bawah relief itu, tampak pohon teratai yang tangkai dan bunganya menjulur ke atas tumbuh di atas permukaan air.
Sementara itu, di bagian pojok kiri bawah kita temukan gambar ikan yang terkesan ditempel pada bidang lukisan. Perupa yang menciptakan karya ini, Yoes Wibowo, memberinya judul, Candrasengkala.
Yoes Wibowo, perupa kelahiran Sidoarjo, memamerkan enam belas karya lukis cat air yang mengolah relief candi itu dalam pameran di Jiwa Gallery, kawasan Banguntapan Bantul, Yogyakarta, bertajuk “Nyala Api.” Judul itu agaknya diilhami pesan luhur pada relief candi yang bersifat abadi sebagaimana nyala api.
Kita tahu, relief, baik berbentuk cerita atau hiasan, merupakan pahatan pada dinding, pagar, pintu gerbang serta nyaris di seluruh bagian candi. Selain memperindah bangunan, relief sarat makna simbolik seperti nilai-nilai tentang hidup dan kepahlawanan. Pameran ini digelar dari 9 Juni hingga 2 Juli 2023.
Segera bisa kita saksikan karakter dari relief candi Hindu Budha di Jawa memenuhi bidang lukisan Yoes. Tak aneh tajuk lukisannya pun mengambil nama-nama karakter dalam relief candi seperti Garudeya, Gayatri, Sudamala Durga, Cakrangga Durbudi Kacapa dan seterusnya.
Karakter-karakter dari relief candi itu menempati bidang tengah lukisan. Di sekitar karakter itu bisa ditemukan bunga, burung, ikan dan di atasnya terlihat awan berarak atau planet yang melayang atau mengambang.
Sekilas lukisan Yoes terkesan mengikuti langgam surealisme yang membaurkan mimpi, fantasi dan realitas. Pada saat yang sama, lukisan Yoes juga berwatak dekoratif karena mengadaptasi motif hiasan pada relief candi.
Ada tiga seri lukisan Garudeya dengan nuansa warna berbeda (abu-abu, coklat, merah) yang menyodorkan sebuah kekisahan. Berasal dari kisah Samuderamantana, sosok mitologis Garudeya digambarkan memiliki kepala, sayap, ekor dan paruh mirip burung elang, namun dengan tubuh, tangan, dan kaki layaknya manusia.
Dari ketiga lukisan itu, kita bisa menemukan kisah Garudeya membebaskan ibunya (Winata) dari perbudakan Kardu setelah ia mendapatkan air amerta dari Dewa Wisnu.
Sebagai imbalannya, Garudeya menjadi kendaraan Dewa Wisnu sebagaimana bisa kita saksikan pada lukisan Garudeya #3. Lukisan Garudeya mengusung pesan proses pembebasan dari perbudakan. Ini agaknya menjadi dasar memilih burung garuda sebagai lambang negara kita.
Di luar karakter berwujud manusia atau dewa yang mendominasi lukisan Yoes, dalam lukisan bertajuk Cakrangga Durbudi Kacapa bisa ditemukan kura-kura dan angsa. Seperti relief di Candi Jago, angsa itu (Cakrangga) menggigit ranting di mana di ujung kiri dan kanannya dua kura-kura (Durbudi dan Kanapa) ikut menggigitnya karena mereka ingin terbang.
Ini motif yang hampir bisa ditemukan dalam relief kebanyakan candi Hindu-Budha di Jawa. Dalam lukisan ini, Yoes tak lagi mereproduksi image dalam bentuk relief candi dengan tekstur batuannya melainkan melukis angsa dan kura-kura yang realis atau natural. Agaknya lukisan ini hendak menggemakan kembali pesan tentang keteguhan hati dalam mewujudkan impian tanpa mempedulikan celaan orang lain.
Begitu pula, lukisan bertajuk Kalpawreksa yang merupakan nama lain ‘Kalpataru’ atau pohon kehidupan. Di bawah pohon inilah Siddharta Gautama atau Sang Budha menemukan pencerahannya. Relief Kalpawreksa yang berasal dari Candi Gunung Gangsir (Pasuruan) ini menyiratkan pesan untuk merawat lingkungan dengan tak membabat pohon sembarangan.
Pohon adalah sumber kehidupan yang mesti dijaga agar kita tak binasa. Dalam lukisannya, Yoes mempertahankan motif Kalpawreksa namun dengan memberinya warna biru.
Pohon itu seperti ditaruh di dalam vas yang dikelilingi burung dan awan berarak di atasnya, sementara di bawahnya ada kolam dengan bunga teratai. Di latar belakang Kalpawreksa kita temukan aneka bunga dan dedaunan yang membentuk konfigurasi tak beraturan yang mengingatkan kita pada hutan tropis dengan segenap kekayaan hayatinya.
Lukisan bertajuk Tat Twam Asi hanya menujukkan patung tanpa kepala. Kendati kepala dalam lukisan itu tidak mengesankan dipenggal, toh ia mengingatkan kita pada patung Gayatri di Candi Boyolangu, Tulungagung.
Hal menarik lainnya dari lukisan ini adalah judul lukisan ini tak merujuk pada nama sosok, melainkan sebuah petuah. Dalam filsafat Hindu, “Tat Twam Asi” bermakna “Ia adalah kamu” yakni menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Begitu pula, menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri. Boleh jadi ini pesan agar tak memutilasi benda warisan budaya bangsa hanya demi memburu rupiah.
Sementara itu, ditilik dari teknik melukisnya, Yoes yang aktif dalam Komunitas Lukis Cat Air Indonesia, mengaku sengaja memilih teknik melukis cat air yang tak biasa. Akibatnya, jika ditatap dari jarak tertentu, karya Yoes bak dilukis dengan menggunakan material akrilik atau cat minyak dengan teknik opaque. Ini karena sepintas kita tak menemukan teknik transparan yang lazim kita temukan dalam lukisan cat air.
Memang ia masih menyediakan sedikit ruang di bidang lukisannya yang menunjukkan jejak ia melukis dengan cat air, namun teknik cat minyak atau akrilik tampak dominan. Barangkali pengecualian bisa kita temukan pada lukisan bertajuk Manjusri yang menggunakan teknik transparan ala cat air. Juga, dalam lukisan bertajuk Sudamala Durga yang ia torehkan gambar-gambar kecil dengan warna putih.
Menatap karya yang dipamerkan ini, kita segera menangkap ketlatenan Yoes dalam menggarap lukisannya. Detail daun, bunga, binatang, dan tekstur relief candi tampak digarap dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Yoes menyatakan, “Saya mesti menunggu dulu bagian tertentu dari lukisan saya mengering sebelum menimpalinya dengan warna tertentu. Sembari menunggu bagian tertentu itu mengering, saya mengerjakan bagian lainnya yang telah mengering serta siap dilapisi warna yang berbeda. Karena itu, saya memiliki dua palet dengan komposisi warna yang berbeda.” Tak mengherankan untuk menyelesaikan lukisannya Yoes menghabiskan waktu rata-rata sekitar tiga minggu.
Demi menemukan citraan visual bagi lukisannya, Yoes mengunjungi dan memotret relief sejumlah candi yang tersebar di wilayah Jawa Timur, seperti Candi Jago dan Kidal (Malang), Candi Gununggangsir (Pasuruan), Candi Gempur (Kediri), Candi Boyolangu (Tulungagung) dan seterusnya. Meski begitu, Yoes tak hanya menyalin citraan visual dari relief candi itu ke dalam lukisannya.
Alih-alih, ia membubuhkan warna dan menambahkan objek-objek yang tak ditemukan dalam relief aslinya. Tak hanya bersifat ornamental, objek-objek itu menguatkan karakter dan menebalkan pesan dari relief candi yang direpresentasikan dalam lukisannya.
Penting dicatat, cara memajang lukisan cat air Yoes dalam pameran ini bisa dibilang tidak biasa. Kendati semua lukisan cat air itu telah dilapisi zat fiksatif untuk melindungi permukaannya, lukisan itu tak dipajang dalam bingkai kaca. Ini memang ikut memberi kesan cara memajang lukisan cat minyak atau akrilik saat dilihat dari kejauhan.
Mengingat Yoes menggunakan medium kertas dengan ukuran terbatas, maka kita tak menemukan lukisan dengan ukuran besar lebih dari satu meter, melainkan dengan lebar sekitar 40-60 sentimeter. Padahal barangkali menarik melukis relief candi itu dalam bentuk kertas yang dibeber, sehingga memunculkan rangkaian narasi.
Demikianlah, dari pameran ini agaknya para pengunjung bisa menemukan citraan baru relief candi yang lebih segar serta berwarna-warni. Selain itu, jika pengunjung cermat, maka ia bisa membaca pesan-pesan tersembunyi di balik relief candi. Sebagaimana judul salah satu lukisan Yoes yakni Tat Twam Asi (ia adalah kamu). Pesan itu abadi bak nyala api nan tak kunjung padam.