Telegram Kapolri, YLBHI: Polri Bungkam Kebebasan Berpendapat
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis menghormati hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
"YLBHI meminta Presiden dan Kapolri untuk menghormati UUD 1945 dan amandemen serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya, termasuk pendapat di muka umum," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI M. Isnur melalui keterangan tertulis, Senin 5 Oktober 2020.
Menurut YLBHI, telegram Kapolri nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 perintah antisipasi aksi unjuk rasa dan mogok kerja buruh pada 6-8 Oktober 2020 dalam rangka penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dapat menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial.
Kata Isnur, Polri tidak berhak untuk mencegah unjuk rasa. Menurut Pasal 13 UU Nomor 9 Tahun 1998, Polri justru bertanggung jawab memberi pengamanan terhadap peserta penyampaian pendapat di muka umum.
Selain, poin ketiga pada telegram itu yang berbunyi "cegah, redam dan alihkan aksi" guna mencegah penyebaran Covid-19 menurut Isnur itu adalah sikap diskriminatif.
"Padahal sebelum ini telah banyak keramaian yang bahkan tidak mentaati protokol kesehatan seperti perusahaan, pusat perbelanjaan bahkan bandara. Sebaliknya, dua aksi tolak Omnibus Law sebelumnya terbukti tidak menimbulkan klaster baru Covid-19," kata Isnur.
Kemudian, YLBHI menilai ada penyalahgunaan wewenang oleh Polri terutama pada poin nomor lima yang berbunyi "lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah pandemi Covid-19" dan poin keenam yang berisi "lakukan kontra-narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah".
Lebih lanjut, Isnur juga menyoroti perintah penegakkan hukum terhadap pelanggaran pidana dengan menggunakan pasal pada UU Kekarantinaan Kesehatan.
YLBHI kemudian membandingkan dengan penegakan hukum terhadap munculnya klaster di lingkungan perkantoran.
"Bahkan berbagai laporan menunjukkan adanya klaster perkantoran, tapi Polri tidak pernah menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan untuk pengusaha ataupun pejabat yang memerintahkan pekerja/pegawai tetap bekerja," kata dia.
Hingga saat ini, Mabes Polri belum memberikan komentar terkait kritik YLBHI.