Yerusalem Ibu Kota Palestina, Ini Penegasan Arab Saudi
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengatakan, pihaknya mendukung semua upaya untuk mencapai solusi komprehensif bagi konflik Palestina-Israel. Hal itu disampaikan dalam pertemuan Liga Arab Rabu 9 September 2020.
Pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Pangeran Faisal bin Farhan al Saud juga mengatakan Riyadh mendukung pembentukan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
"Kami terus menegaskan posisi kami untuk kepentingan rakyat Palestina, yang menderita akibat pendudukan Israel," tulis Menlu Arab Saudi dalam cuitan dari akun Twitter resmi @KSAMOFA, dikutip Jumat 11 September 2020
"Kerajaan menegaskan posisinya atas rakyat Palestina, dan mendukung semua upaya yang bertujuan untuk mencapai solusi yang adil dan komprehensif untuk masalah Palestina, memungkinkan rakyat Palestina mendirikan negara merdeka mereka di (perjanjian) perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sesuai dengan keputusan legitimasi internasional dan Arab Peace Initiative," tegas Arab Saudi dalam pernyataan tersebut.
Pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Arab Saudi tidak menyebutkan secara langsung kesepakatan normalisasi antara Israel dan Uni Emirat Arab, seperti dilansir dari TRT World.
Keprihatinan Turki
Sementara itu, Keputusan Serbia untuk memindahkan kedutaannya di Israel, dari Tel Aviv ke Yerusalem, melanggar hukum internasional dan sangat memprihatinkan, kata Kementerian Luar Negeri Turki, Sabtu 5 September 2020 lalu.
Pada Jumat sehari sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Serbia akan memindahkan kedutaannya ke Yerusalem pada Juli tahun depan.
Serbia menjadi negara Eropa pertama yang mengambil langkah tersebut, keputusan yang diperantarai oleh Amerika Serikat.
AS sendiri merupakan negara pertama yang memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem, yaitu pada 2018.
Yerusalem adalah kota utama yang diperebutkan dalam konflik Israel-Palestina.
"Kami sangat prihatin dengan keputusan Serbia untuk memindahkan kedutaannya di Israel ke Yerusalem. Aneksasi Yerusalem oleh Israel ditolak oleh komunitas internasional dan PBB," kata Kemenlu Turki.
Kemenlu Turki menambahkan bahwa "relokasi kedutaan besar negara mana pun di Israel ke Yerusalem jelas merupakan pelanggaran hukum internasional."
Pernyataan Turki itu mengutip beberapa resolusi PBB, yang menyatakan bahwa konflik Israel-Palestina tidak memiliki solusi lain selain pengakuan atas negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sesuai dengan perbatasan tahun 1967.
Yerusalem, yang diduduki oleh Israel selama Perang Enam Hari pada 1967, saat ini merupakan aspek yang tidak bisa ditawar-tawar bagi Palestina.
Palestina menerapkan sikap yang sama terhadap wilayah pendudukan di Tepi Barat dan Lembah Sungai Jordan, tempat Israel membangun permukiman.
Pemerintah Israel telah menolak mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Israel juga menganggap perluasan pemukiman yang dilakukannya adalah tindakan yang sah, meskipun ada keberatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pada Desember 2017, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Washington akan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Pemindahan itu berarti bahwa AS secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tidak terbagi.
Kedutaan baru AS di Yerusalem dibuka setengah tahun kemudian.
Israel berharap langkah AS itu akan mendorong negara-negara lainnya melakukan relokasi kedutaan secara massal ke Yerusalem, pemikiran yang dianggap tabu --terutama di kalangan negara-negara Uni Eropa.
Sejauh ini, hanya Guatemala yang mengikuti jejak AS.
Guatemala membuka kedutaan besar di Yerusalem pada 16 Mei 2018, dua hari setelah AS melakukan langkah serupa. Demikian dilansir Sputnik.
Advertisement