Yeny Wahid: Ruang Atheisme Terbuka Bila Sekularisme Diterapkan
Jakarta: Pemisahan agama dan urusan-urusan dunia di ruang publik tak akan bisa diterapkan di Indonesia. Karena, Indonesia adalah negara dengan penduduk yang kental dalam beragama.
“Tidak mungkin sekularisme diterapkan di sini. Kalau dilakukan, maka akan memberikan ruang kepada atheis,” kata Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, dalam siaran perfs yang diterima ngopibareng.id, Jumat (14/04/2017).
Menurut dia, praktik-praktik pemisahan agama dan urusan-urusan dunia di ruang publik secara murni itu tidak ada. Ia mencontohkan Negara Prancis yang terkenal keras dalam menerapkan sekularisme.
Ia menuturkan, di Perancis agama dan urusan dunia benar-benar dipisahkan seperti tidak bolehnya salat di kantor, anak-anak sekolah tidak boleh menggunakan simbol-simbol agama seperti jilbab dan lambang salib, dan menggunakan baju renang muslimah atau burkini juga menjadi masalah karena dianggap memamerkan agama di ruang publik.
“Tapi kenyatannya di sana Hari Raya Natal masih dirayakan. Agama sudah masuk komersialisasi,” kata Yeny, yang sebelumnya tampil pada acara diskusi publik bertema Merawat Pemikiran Guru-guru Bangsa, diselenggarakan oleh Universitas Paramadina dan Nurcholish Madjid Society di Jakarta. Turut hadir dalam acara diskusi tersebut istri Cak Nur Ommy Komariyah dan beberapa Dosen Universitas Paramadina.
Ia menjelaskan, hal tersebut dilakukan karena Negara-negara Barat memiliki trauma terhadap kekuatan gereja pada zaman dahulu yang menyebabkan perang saudara berkepanjangan dan menelan jutaan korban.
Adapun Indonesia, Yenny menilai, hubungan antara agama dan negara itu baik-baik saja di dalam sejarahnya. Baginya, saat ini Indonesia sudah memiliki formula yang baik dalam hubungan agama dan negara.
“Ada ruang untuk orang menampilkan identitasnya di ruang publik. Ini formula ajaib Pancasila yang harus dijaga. Orang (negara) lain masih mencarinya,” terangnya.
Ia menyatakan, agama itu sudah menjadi bagian dan menjadi kekuatan dari Indonesia. Maka dari itu, ia menilai, sekularisme murni tidak akan pernah bisa diterapkan di negara dengan jumlah pulau terbanyak di dunia ini.
“Sekularisme murni tidak akan bisa diterapkan di Indonesia,” tukasnya.
Guru-Guru Bangsa
Tak lupa Yeny Wahid menguraikan percikan pemikiran KH Abdurrahman Wahid. Menurutnya, pemikiran-pemikiran Gus Dur, Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Syafi’i Ma’arif (Buya Syafii) masih sangat relevan dengan kondisi Islam saat ini. Menurutnya, pemikiran ketiga tokoh itu tidak jauh berbeda meski mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
“Kalau kita melihat pemikiran beliau-beliau itu tidak terlalu jauh berbeda meski latar belakangnya beda antara NU dan Muhammadiyah,” katanya.
Yenny menjelaskan, ketiga guru bangsa tersebut memiliki persamaan atau titik temu terutama dalam hal mensintesiskan pemikiran Islam. Menurut dia, pemikiran-pemikiran Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafii adalah sintesisasi antara ilmu-ilmu keislaman seperti fikih, usul fikih, qawaidul fikih dan lainnya dengan filsafat Barat.
“Ada kultur Jawa yang mempengaruhi. Seperti konsep agama itu sebagai agemi aji atau pakaiannya jiwa. Agama tidak hanya dipahami secara kognitf saja, tetapi betul-betul dirasakan yang mendalam dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari,” ucap putri kedua Gus Dur itu.
Maka dari itu, pemikiran-pemikiran ketiga guru bangsa itu lebih mengedepankan Islam secara substansial dari pada Islam formal. Baginya, ketiga tokoh itu juga memiliki pemikiran-pemikiran yang luar biasa dalam hal keindonesiaan.
Sementara itu, Mohamad Sobary menuturkan, gelar guru bangsa itu bukan untuk orang yang memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi tetapi untuk mereka yang memiliki kecerdasan yang luas dan mampu mengamalkan ilmunya tersebut. “Guru bangsa itu adalah guru laku. Guru akhlak yang paling mulia,” urainya. (adi)
Advertisement