Yayasan Rekat, dari Perkumpulan Penyintas Kini Dampingi dan Bantu Pengidap TBC
Perjuangan sembuh dari tuberculosis (TBC) adalah jalan yang panjang dan melelahkan. Belum lagi tantangan untuk bertahan dari stigma dan diskriminasi masyarakat.
Berangkat dari kondisi yang sama, para pasien TBC resisten obat yang secara berkala menunggu pemeriksaan di gazebo RSUD dr Soetomo Surabaya pada tahun 2010, membentuk perkumpulan Rekat.
Wadah ini digunakan untuk saling bercerita satu sama lain, bertukar pengalaman saat bisa mengatasi efek samping obat.
Abu Bakar, ketua pertama Rekat adalah salah satu penyintas generasi pertama pengobatan tuberkulosis multidrug-resistant (TBC MDR). Sampai tahun 2018 anggotanya adalah para mantan pasien TBC MDR atau TBC resisten obat.
“Kami melakukan pendampingan untuk memberikan edukasi dan motivasi kepada pasien yang sedang dalam masa pengobatan,” kata Ani Herna Sari Direktur Yayasan Rekat Peduli Indonesia dalam pemaparannya di acara Wawasan Series: Merdeka dari TBC di Surabaya, Kamis 29 Agustus 2024.
Pada tahun 2020 perkumpulan Rekat berubah status menjadi Yayasan. Tujuannya agar dapat memperluas manfaat bagi para penderita TBC. Sekarang, anggota Rekat tak hanya dari penyintas, tapi juga keluarga penyintas, bidan, perawat, dan masyarakat yang peduli TBC.
Ani menjelaskan, ada beberapa hal yang dibutuhkan oleh orang dengan TBC. Dukungan untuk obat yang minim efek samping dan gratis. Layanan yang ramah, nutrisi yang seimbang, rumah layak huni dengan ventilasi cukup.
“Mereka juga membutuhkan peningkatan pemberdayaan saat dalam pengobatan agar bisa mengatasi efek samping obat ringan. Serta rumah singgah bagi pasien yang jauh dari faskes rujukan untuk keperluan kontrol bulanan dan juga fase baseline,” ujar Ani.
Beragam kegiatan yang dilakukan Rekat sejak tahun 2016 sampai sekarang di antaranya pendampingan pasien TBC resisten obat di Puskesmas dan rumah sakit, bantuan permakanan, modal kerja usaha, pendampingan online sata pandemic Covid-19.
Selain itu, Rekat juga memberikan bantuan alat pendukung kesembuhan pasien dan menyelenggarakan program pemberdayaan pasien dan mantan pasien, seperti membuat telur asin dan batik.
“Keuntungan dari penjualan telur asin, batik, buletin Gazebo kami gunakan untuk membiayai tambahan nutrisi bagi pasien. Misi kami bisa memberikan manfaat bagi pasien di lebih banyak kota, selain Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik,” kata Ani.
Perlu diketahui, melalui Wawasan Series “Merdeka dari TBC”, Suara Surabaya Media ingin ikut berkontribusi melawan penyakit TBC. Kampanye melalui gelaran Focus Group Discussion ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya tuberkulosis (TBC) dan mendorong kolaborasi berbagai pihak dalam upaya memberantas penyakit ini.
Diskusi publik di Whiz Luxe Hotel Spazio Surabaya pada Kamis, 29 Agustus 2024 ini dihadiri 150 undangan. Terdiri dari para pembuat kebijakan, pakar TBC, peneliti, akademisi, aktivis TBC, komunitas penyintas, perusahaan bisnis, dan media massa.
Pada kesempatan ini Suara Surabaya memberikan sejumlah apresiasi pada stakeholder hingga mengajak penandatanganan komitmen kerja sama.
Total ada empat penerima apresiasi karena sudah berkontribusi mengeliminasi TBC. Mulai dari Mukhibatul Khusnah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik, Sapto Hadi Prayetno Senior Manager of General Affairs PT. Smelting, Deny Ferdiansyah Kepala Cabang Human Initiative Jawa Timur, dan Ani Herna Sari Direktur Yayasan Rekat Peduli Indonesia.
Keempatnya masing-masing diapresiasi dengan kategori berturut-turut, kontribusi pemerintah daerah, perusahaan, filantropi, dan komunitas.