Yasinan di Makkah, Doa Gus Mus untuk Ulama Ahli Falak
"Salat subuh hari ini di Masjidil Haram di Mekah agak spesial. Tak biasanya sang imam membaca surah Yasin, sesuatu yang jarang terjadi. Selama beberapa hari di Madinah dan Mekah, saya tak pernah menjumpai imam yang membaca surah Yasin -- surah favorit-nya warga Nahdliyyin itu," tutur Ulil Abshar Abdalla, di akun facebooknya, Kamis 20 Februari 2020.
"Saya yang berdiri sebagai makmum di pelataran luar masjid, di depan Bab al-Malik Fahd, di tengah udara dingin dan angin yang berhembus lumayan kencang, tergoda untuk husnuzzann: jangan-jangan Allah menggerakkan sang imam untuk membaca surah Yasin sebagai hadiah bagi Kiai Ghazali Masroeri, kiai NU yang ahli falak (astronomi) dan wafat Rabu, 19 Februari 2020 lalu.
"Usai salat subuh, saya bertahan sebentar, melakukan salat ghaib dan tahlil (sendirian) untuk Kiai Ghazali Masroeri.
"Ini adalah tahlil kedua yang saya lakukan selama di tanah suci. Tahlil yang lain saya lakukan saat menyertai Gus Mus (tentu didampingi juga oleh Mbakadmin Ienas Tsuroiya) menziarahi makam Mbah Maimoen Zubair di pemakaman Ma'la.
"Suatu kebahagiaan yang besar bahwa saya akhirnya bisa "sowan" kembali kepada Mbah Moen," tutur Ulil.
KH Ghazalie Masroeri, Ulama Ahli Falak
Hampir tiap bulan Ramadhan dan Syawal tiba, masyarakat dihadapkan pada dua metode yang kerap digunakan oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
NU menyandarkan diri pada metode rukyatul hilal, sedangkan Muhammadiyah masih nyaman dengan metode hisab. Namun, perbedaan yang jelas terlihat dari dua metode yang digunakan ormas Islam tersebut ialah, NU menyandarkan keputusan akhir pada rukyatul hilal (observasi) dengan tetap tidak meninggalkan metode hisab.
Sedangkan Muhammadiyah menyandarkan keputusan akhir hanya dari metode hisab atau perhitungan. Bukti hisab yang dilakukan NU ialah menerbitkan almanak setiap tahunnya yang dihasilkan dari metode hisab.
Namun menurut KH Ahmad Ghazalie Masroeri yang menggawangi Lembaga Falakiyah NU sejak 1999 hingga akhir hayatnya pada 19 Februari 2020 menjelaskan, metode hisab dalam menentukan munculnya hilal masih bersifat prediktif. Sebab itu harus disempurnakan melalui metode rukyatul hilal, yaitu observasi atau penglihatan langsung.
“Kami di NU juga melakukan hisab, kami mempunyai data-data hasil hisab itu. Tapi hasil perhitungan ilmiah itu tetap harus diperkuat melalui pantauan langsung,” ujar Kiai Ghazalie Masroeri dikutip NU Online saat momen sidang itsbat di Kementerian Agama RI, 15 Mei 2018 lalu.
Bahkan dalam kesempatan itu, Kiai Ghazalie menegaskan bahwa dalam penentuan awal bulan hijriah, NU menggabungkan antara ahli astronomi, ahli hisab, dan ahli fiqih. Menurut beliau, ini menunjukkan bahwa persoalan penentuan bulan hijriah bukan hanya soal keilmiahaan saja, tetapi juga persoalan agama.
“Teknologi yang dikembangkan kami ialah Nahdlatul Ulama Mobile Observatory atau NUMO di seluruh Indonesia dengan menggunakan peralatan yang sangat canggih dan modern,” jelas Kiai Gahzalie Masroeri.
Dalam setiap sidang itsbat di kantor Kementerian Agama, atau dimana saja, Kiai Ghazalie selalu mendapatkan kesempatan menyampaikan argumentasinya terkait penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri untuk menghindari perbedaan.
Dia adalah simbol rukyatul hilal yang menjadi kriteria utama NU dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Advertisement