Yang Tercecer dari Debat Capres
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan InternasionalbUniversitas Jember.
Debat ke-2 Calon Presiden (Capres) telah usai. Tapi, kontestasi gagasannya belum selesai. Maklum, substansinya menyangkut eksistensi dan masa depan negara. Temanya mencakup enam aspek: pertahanan, keamanan, hubungan internasional, politik luar negeri, geopolitik, dan globalisasi. Beragamnya tema, membuat pemetaan gagasan mereka menjadi tidak mudah.
Namun, secara kasar, gagasan lintas tema para Capres, bisa dipetakan dengan dua persilangan dua axis. Pertama, axis pemilahan keamanan tradisional dengan keamanan non-tradisional. Keamanan tradisional berfokus pada keamanan negara, sedangkan keamanan non-tradisional referensinya adalah orang/individu.
Kedua, axis dua perangkatnya, yaitu hard power dan soft-power. Konsep hard power mengacu pada kekuatan militer dan ekonomi, dengan orientasi “melawan atau mengontrol” lawan yang dipersepsikan. Sementara itu, soft power merujuk pada elemen non-militer, digunakan untuk ‘menarik simpati’ (winning the hearts and minds) pihak lain.
Dari persilangan dua axis di atas, cakupan gagasan masing-masing Capres relatif bisa diukur. Dalam soal pertahanan dan keamanan (Hankam), gagasan Prabowo Subianto lebih menekankan pada pentingnya keamanan tradisional, yang berfokus pada keamanan negara dan urgensi hard power. Penegasannya tentang pentingnya militer yang kuat, guna menghindari nasib seperti Gaza, bak sebuah maklumat.
Ganjar Pranowo juga masih lebih mementingkan hard power, Tapi, secara implisit, ia sudah menyinggung keamanan non-tradisional, dengan melihat ancaman secara lebih variatif. Sasarannya bukan hanya pada keamanan negara, tetapi juga pada keamanan individu; seperti isu terorisme, pinjaman online (pinjol), dan narkoba.
Eksploratif Anies Baswedan
Sementara itu, Anies Baswedan terkesan lebih eksploratif. Dalam konteks keamanan, misalnya, ia secara eksplisit menyebut tantangan keamanan non-tradisional, seperti cyber attack, pinjol, dan narkoba. Dalam hal power, selain vitalnya hard power, Anies Baswedan juga menekankan pentingnya peran soft-power Indonesia, seperti film dan kuliner, dalam diplomasi di kancah dunia.
Tapi, ada yang terlewat dalam debat. Kontekstualisasi masalah luput dari pembahasan. Akibatnya, kesan parsialitas jawaban menjadi tak terhindarkan. Dapat dimaklumi, waktu yang terbatas mungkin menyulitkan Capres untuk mengupas. Walaupun demikian, dari segi substansi, signifikansinya tak bisa diabaikan.
Enam tema yang dibahas memang bisa dipilah, namun tak bisa dipisahkan. Pasalnya, selain substansinya berjalin-berkelindan, aspek yang satu merupakan konteks bagi aspek lainnya. Misal, politik luar negeri yang bagaimana untuk menjamin pertahanan negara keamanan bangsa di tengah arus deras globalisasi dan elastisitas geopolitik?
Kontekstualisasi hubungan antar tema di atas merupakan kebutuhan imperatif. Alasannya, telah terjadi pergeseran karakteristik hubungan internasional. Kini, aktor politik politik dunia bukan hanya negara tetapi juga diwarnai peran aktor non-negara.
Panggung politik dunia tidak hanya bersifat internasional (antar-negara), tetapi juga transnasional (lintas-negara). Pemicunya, antara lain, globalisasi dan revolusi informasi. Joseph S. Nye, Jr. (2008) mengingatkan: “Salah satu tantangan terbesar kita adalah memahami bagaimana revolusi informasi mempengaruhi kekuasaan, dan bagaimana dunia berubah dari politik antar-negara menjadi politik global”. Akibatnya, mau tidak mau, kita perlu memiliki kepekaan terhadap waktu dan ruang yang telah hilang. argumennya, ancaman tidak lagi sebatas penguasaan territorial, tetapi juga peran penting aspek non-fisikal, seperti hegemoni kekuatan ekonomi, ideologi, pola pikir, dan nilai budaya.
Geopolitik bisa dijadikan salah satu ilustrasi. Isu utamanya tidak lagi terfokus politik geospasial, seperti ketegangan di Laut China Selatan (LCS). Tapi, perspektif kritisnya telah juga mencakup relasi kuasa non-fisikal. Dalam kaitan ini, penting untuk menyadari kaitan erat antara kekuatan (power) dan pengetahuan (knowledge). Konsep Edward Said (1978) tentang imaginative geography merupakan kunci pembuka relasi kuasa dalam geospasial kontemporer. Misal, Free trade, liberalisasi ideologi, dan globalisasi kebudayaan, pada dasarnya mengasumsikan signifikansi imaginative geography. Pasalnya, semua gagasan tersebut, diakui atau tidak, berpretensi menancapkan dominasi atau hegemoni dalam landscape global.
Perkembangan terakhir, perspektif kritis geopolitik bahkan juga telah merambah media visual. Postulatnya, media visual, seperti internet, film, dan gambar; punya peran spasialitas yang strategis dalam politik global. Dalam hal ini, media visual bisa menjadi sarana untuk membentuk opini publik dunia. Targetnya, meraih legitimasi bagi misi politik yang dijalankan, termasuk melawan ancaman yang dipersepsikan.
Secara empirik, perspektif geopolitik kritis tersebut bisa ditemukan. Alkisah, Klaus Dodd menuturkan bahwa pasca peristiwa 9/11 (World Trade Centre attack), penasihat Presiden George W. Bush, Jr., Karl Rove, membujuk kalangan perfilman Hollywood untuk berkontribusi dalam misi War on Terror Amerika Serikat (AS). Sejak itu, sekian film lahir antara lain untuk fabrikasi simpati terhadap misi AS tersebut.
Casino Royale (2006), misalnya, merupakan film serial James Bond yang muncul setelah 9/11. Meskipun halus, pesannya jelas. War on Terror adalah masalah global yang seyogyanya didukung secara global. Selain itu, American Sniper (2014) menabur simpati terhadap invasi militer AS di Irak. Harapannya, menuai persepsi tentang pentingnya kehadiran AS di kawasan sekitarnya.
Singkatnya, konsep geopolitik telah berkembang. Fokusnya tak lagi terkunci pada obyek fisikal, karena dimensinya telah juga merambah ranah wacana (discourse). Tapi, asumsi dasarnya tak lekang, yaitu tetap eksisnya hirarki politik dunia sekaligus menggambarkan lihainya para perancangnya. Seorang ahli geopolitik, John Agnew (2008), menggariswabawahi pentingnya peran konseptor: “who gets to write the script and how it then plays out in different places!”.
Bagaimana dengan Indonesia? Amsal Bung Karno, yang disitir Ganjar Pranowo, memang ideal: “berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”.
Pertanyaannya: Bagaimana mencapainya? Pada titik inilah, mungkin, relevansi gagasan Anies Baswedan tentang politik luar negeri. Intinya, bagaimana Indonesia menjadi “pelaku utama dalam konstelasi global … bukan sebagai penonton tapi penentu”. Tapi, saya pribadi lebih suka memakai narasi: “Indonesia perlu menunjukkan kembali kepemimpinan intelektual (intellectual leadership), baik di level regional maupun global!”. Wallahu’alam …
Advertisement