Yang Susah Tuh Mundur dari Warung Kopi
Nontonlah teve, hari ini, pasti beritanya sama. Bukalah jejaring media sosial apa saja, gempitanya pasti juga sama. Bahwa: Menteri Sosial itu, mundur dari jabatannya.
Hitung-hitung untung atau buntung mundur dari jabatan seperti itu?
Buntung sih iya. Karena ini peristiwanya politik. Kalau untung sih tidak, sebab dia bukan Untung, melainkan Idrus Marham.
(Ah becanda lu bro, kita sudah serius elonya cengengesan). Hahahaha nges nges ngesss...
Serius amat sih ngamatin Menteri mundur. Biasa ajah kali. Menteri mundur mah biasa. Bahkan sangat biasa. Sebab itu biasa sajalah. Tak perlu ikut senewen. Karena, aslinya, senewen itu tanda-tanda kekurangan oksigen.
(Onok maneh, apa hubungannya dengan oksigen bro).
Gak usah dibahas ya, nanti jadi panjang. Kalau panjang nanti bisa keterlaluan. Panjang itu kalau mbahas soal kopi lho ndak apa-apa. Sebab, ada perjalanan panjang sebelum kopi bisa diseduh kemudian dinikmati citarasanya.
Jadi Menteri mah tak perlu berpanjang proses seperti kopi. Ikutlah partai. Loyallah dalam beberapa hal. Bikinlah beberapa prestasi. Kalau punya dana besar tak lah ngirit-ngirit. Dijamin/dimungkinkan akan gampang sukses.
Kopi mah rumit. Tingkat kerumitannya boleh jadi ngalah-ngalahi Menteri Sosial. Kalau tak percaya cobalah idekan keduanya bertukar tempat. Yang menteri jadi petani kopi, yang petani kopi jadi menteri.
Silakan ambil catatan. Catat, siapa yang tidak mau! Anda pasti tahu jawabannya.
Nah, rumit bukan? Padahal ini baru pembuka. Belum juga bicara kopi yang bagaimana.
Jadi, yang susah bukan mundur dari menteri, tetapi mundur dari kopi. Kok bisa? Bisa!
Kopi itu personal. Sangat personal malah. Seorang kopi lover akan kelimpungan manakala warung, atau kedai, atau coffee shop tempat dia biasa menyeruput kopi tutup. Katakanlah begitu. Atau barista yang biasa menyeduhkan kopinya lagi off. Lagi tidak bekerja.
Saat itu, kopi serasa tak enak. Kopi juga tak nyaman. Padahal semua sama: takaran, size gilingan yang dipilih, suhu air penyeduhan, lama menyeduh, alat menyeduh, suasana menyeduh, inner action menyeduh, dll. Sama, tak ada yang beda. Tapi kopi kok tetap tak enak?
Itulah ikatan emosional. Kopi bisa mengikat sampai sedemikian jauh. Boleh jadi dia akan tetap memesan kopi, namun memungkinkan gelas kopi tidak diseruput, hanya dilihati, hanya dipandangi, hanya dijadikan interaksi, hanya dijadikan alasan untuk bertahan di tempat dia duduk.
Itu yang cukup duit. Kalau yang cumpen (baca: tipis) duitnya, kopi mah tetap diminum saja. Dengan sejuta perasaan tentunya. Mungkin juga dengan misuh-misuh. Memaki. Mengumpat dalam hati: kopi kok tak enak. Pahit doang. Gak nendang blas. Gak bisa menyeduh nih orang. Kenapaaa mas ini tidak masuk ya. Kenapa mbak ini juga pakai libur segala. Aduh...
Dengan sejuta perasan tak puas itu apakah lantas di mundur dari kopi? Tak lagi minum kopi? Yakin tidak. Kenapa? Sulit mengatakannya. Yang jelas bukan sekadar alasan butuh kafein. Ada komunal majemuk yang ditawarkan dalam secangkir kopi.
Memang njomplang, mengada-ada, bahkan tak ada kaitannya, logika kopi dan mundurnya seorang menteri. Tapi menteri mundur serasa lebih gampang dipahami.
Presiden tinggal perintah ganti, maka gantilah si Menteri. Lalu dilantik. Roda Kementerian pun seketika juga jalan ketika ada menteri baru. Hanya butuh penyesuaian ini dan itu sebentar, lalu bisa lari kencang lagi. (Itu pun kalau dia mau dan mampu lari kencang).
Kopi? Mana bisa begitu. Sebenarnya tak melulu soal siapa penyeduh, tetapi juga kopinya, berikut warung kopinya. Sekali terkena percikan bunga kopi, serasa rumit dia meninggalkan warung kopi dimana dia memiliki aktualisasi diri. widikamidi
Advertisement