Yang Penting Adil Walau Tak Beragama? Begini Penjelasan Ulama
Masalah keadilan adalah kekrisisan yang dihadapi setiap zaman. Keadilan mendapat porsi penting dalam nilai ajaran Islam. Begitu pentingnya soal keadilan, maka ada ulama berpendapat "yang utama adil meski tidak beragama". Benarkah demikian?
Budhy Munawar Rachman dalam ruang Esoterika-Forum Spiritualitas memberikan catatan dari "Video Kultum Denny JA-23: Ibnu Taimiyah". Berikut ulasannya:
Kali ini digali seorang pemikir, Ibnu Taimiyah. Ia dikenang sebagai pemikir besar, pemiikir brilliant di zamannya. Ia hidup 800 tahun yang lalu lahir di Turki tahun 1263-1328. Kita kutip renungannya dalam buku “Ibnu Taimiyah Expounds on Islam”. Berikut bunyi kutipannya :
Tuhan Mendukung negara yang adil
Walau ia dipimpin oleh mereka yang tidak beragama
Dan Tuhan tidak mendukung negara yang dzolim
Walau ia dipimpin oleh orang tokoh agama
Makna Renungan
Apa makna dari renungan ini? Kita kisahkan dulu riwayat hidup Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah, ketika ia wafat, ia membuat suatu fenomena. Lebih dari 200 ribu laki-laki dan belasan ribu wanita mengantarkannya ke pemakaman. Di era itu, 800 tahun yang lalu begitu banyak jumlah manusia yang mengantarkannya dalam pemakamannya, yang dikatakan di sana hanya bisa ditandingi dengan wafatnya raja-raja yang agung. Ini satu pertanda bahwa Ibnu Taimiyah adalah pemikir yang dicintai di zamannya.
Tiga Hal Kontroversial
Walau Ibnu Taimiyah sangat kontroversial, 3 hal ini juga membuatnya sudah kontroversial.
Pertama, dari namanya, Ibnu Taimiyah. Di dunia Muslim saat itu sering kali seorang laki-laki menambahkan nama laki-laki yang lain, yang agung dalam namanya sendiri. Tapi Taimiyah itu nama perempuan, yang tak lazim pada saat itu.
Ibu Taimiyah juga dikenal tidak menikah sampai akhir hayatnya dan tak terlibat asmara dalam hidupnya, dan itu menjadi hal yang unik bagi zamannya. Dan hal unik lainnya adalah di samping seorang pemikir ia juga pernah ditahan, dan dipenjara sebanyak 6 kali dalam hidupnya.
Jadi, memang kita lihat begitu kontroversi hidupnya sehingga di penjara sampai enam kali. Sebagaimana juga para pemikir di zamannya, ia juga banyak menguasai ilmu pengetahuan. Ia mendalami teologi, filsafat, dan juga ilmu-ilmu alam. Tapi yang membuat Taimiyah berbeda dengan pemikir-pemikir di zamannya, ia pun seorang diplomat, politisi dan ia juga melobby para penguasa.
Zaman Tentara Mongolia
Di zaman itu, tentara Mongolia, menyerbu kaum Muslim, termasuk menyerbu tempat Ibnu Taimiyah hidup. Ia pun diutus untuk melobby sang raja, bernama Gazan khan. Ia penguasa Mongol, tapi saat itu ia sudah beragama Islam.
Ibnu Taimiyah datang menghadap, dan dengan lantang ia berani berkata, “Wahai penguasa, mengapa dirimu menyerbu kami, sesama negara Muslim.
Menyerbu Muslim, Mengapa?
Bukankah Anda sendiri seorang Muslim. Begitu banyaknya para ulama, cendekiawan pandai yang mengerti agama, tetapi Anda, mengapa Anda yang Muslim menyerbu kami yang Muslim? Padahal kakek Anda, buyut Anda yang ketika itu belum Muslim, telah berbuat lebih adil dari Anda, tidak menyerbu kami”. Pernyataan inilah awal dari lahirnya renungan Ibnu Taimiyah.
Apa hikmah renungan itu di masa kini? Kita lihat betapa Ibnu Taimiyah lebih mementingkan esensi dari formalitas, bukan jubah tetapi perilaku yang konkret. Lalu hiduplah sekarang ini seorang ilmuan bernama Husein Askari, ilmuan dari Iran.
10 Negara Paling Mewakili Esensi Islam
Sama seperti Ibnu Taimiyah, ia pun coba merumuskan esensi islami, esensi ajaran yang diagungkan dalam Al-Qur’an, dan ia lalu buatkan indeksnya, yang diberi nama “islamisiti indeks”—termasuk di sana yang dinilai, hal-hal yang terukur, keadilan ekonomi, pemerintahan yang bersih, perlindungan kepada hak asasi manusia, dan kepada keragaman.
Ia ukur negara di seluruh dunia yang menurutnya tingkat islamisiti indeksnya paling tinggi, yang esensi keislamannya paling tinggi. Ia pun kaget dengan hasilnya, ternyata yang ia lihat top 10 negara-negara yang paling mewakili esensi Islam justru negara-negara Barat yang mayoritasnya bukan Muslim, termasuk yang pertama di sana ada Selandia Baru, Denmark, Australia dan lain-lain. Itulah negara-negara yang ia anggap kuat islamisiti indeksnya.
Jubahnya Tidak Penting
Sementara negara-negara Muslim yang menyatakan sebagai negara Islam, seperti Arab Saudi hanya ada di urutan 44, dan juga agama Islam lainnya. Kita pun teringat ucapan ibnu Taimiyah bahwa bukan jubahnya yang penting, namun bagaimana cara negara itu memperlakukan warga negaranya; apakah di sana hak asasi manusia dilindungi, apakah di sana kebebasan dilindungi. Itulah nilai yang Al-Qur’an ajarkan. Itulah esensi yang Islam ajarkan. Ketika kita hidup di zaman ini, di zaman now, kita tahu yang penting bukan jubahnya, yang penting adalah perilakunya. Apakah perilakunya membawa kesan cinta, keadilan, dan kesatuan? Itulah yang penting!