Yang Miroso dari Bu Djumirah, Lontong Kikil Lamongan
Bagi Anda yang berpuasa Ramadhan hari ini, sudah berbuka puasakah? Semoga sudah berbuka dan dengan penuh kenikmatan karena berkah. Eemmm tapi... menunya cocok dengan imajinasi apa tidak? Sesuai dengan selera lidah apa tidak?
Cocok? Tidak cocok? Setengah cocok? Atau tak berani berapresiasi karena sungkan bin tidak enak sama yang menyediakan menu berbuka? Aihhh tenang... tenanggg. Belanda masih jauh hahaha.
Andai perut masih muat, andai selera dan imajinasi belum terpenuhi, boleh lah coba panganan legenda dari Bu Djumirah yang satu ini. Lontong Kikil dari Lamongan.
Jauhnya... Lamongan mana sih?
Menyusur lah jalanan Kota Lamongan menuju ke arah Babat. Tapi jangan sampai kebablasan ya, sebab kalau Babat bablas berarti akan muncul Kota Bojonegoro di depan mata.
Yang paling gampang, ancer-ancer warung Miroso milik Bu Djumirah ini adalah jembatan ambruk penghubung utama Lamongan dan Tuban itu. Di wilayah Langitan itu. Di dekat Ponpes Langitan itu.
Kalau dari arah Babat tinggal lurus saja menuju Lamongan kota. Berarti ada di sebelah kiri jalan. Hanya sekitar 200 meter dari jembatan ambruk itu.
Kalau dari arah Surabaya, berarti 200 meter sebelum jembatan ambruk. Berarti ada di kanan jalan. Berarti harus putar balik di pertigaan depan jembatan ambruk itu. Penanda lain selain jembatan ambruk itu, adalah bangunan sekolah SMP Negeri 1 Babat.
Warung Miroso Lontong Kikil milik Bu Djumirah ini kecil saja. Tidak semegah warung singgahan yang lain bagi yang hendak perjalanan menuju Bojonegoro atau Tuban. Sebab itu, kalau gas mobil atau motor digeber kenceng-kenceng pastilah alamat kebablasan tak sempat menengok warung ini.
Kendati kecil saja warungnya, namun banyak orang/pelanggan mengakui warung Miroso ini adalah legenda. Selain memang lawas, pelanggannya bertebaran dimana-mana.
Menurut Bu Jum, demikian panggilannya, warung ini dulunya suaminya yang babat alas. Lebih 50 tahun lalu, sebelum berjualan di rumah, dagangan itu dipikul kesana kemari. Menyusuri jalan-jalan dan emperan-emperan orang.
Tiba saatnya badan tak kuat lagi menyangga pikulan, maka jualan keliling berhenti dan berganti berjualan di rumah. Setelah itu praktis hanya menunggu pelanggan, dan tidak mencari pelanggan.
Harga per porsi Lontong Kikil Miroso Bu Djumirah cukup sesuai kantong; Rp15.000. Plus minum, misalnya, jeruk nipis hangat, hanya perlu menambah Rp3000 saja. Enteng kan...
Menurut Bu Djum, sejak suaminya meninggal, dirinya yang pegang kendali warung. Bukanya juga tidak ngoyo, jam 14.00 siang hingga jam 22.00. "Kadang tutupnya lebih dari jam itu, karena dagangan belum habis," kata Bu Djum.
Yang bikin beda Lontong Kikil Bu Djum dengan yang lain adalah sensasi cita rasanya. Tidak lengket, tidak kental, dll, seperti umumnya lontong kikil. Sensasi rasanya berada antara gule dan tahu campur lamongan.
Aneh bukan? Itulah sebabnya Lontong Kikil dari ujung Kota Lamongan ini menjadi buah bibir orang. Simak mangkoknya, mangkok besar. Jadi, tidak perlu sampai nambah dua kali. Tapi andai perut kuat, dua mangkok juga oke.
Ada toping kecambah kecil di atasnya. Berbaur dengan irisan daun bawang merah. Jadi, selain cita rasa berada di tengah antara gule dan tahu campur, nuansanya juga seperti sedang menghadapi sepiring masakan Rawon. (*)