Yang Mengikat Kiai Maimoen dan Ibu Mega
Banyak peristiwa penting terjadi minggu lalu. Tapi, hanya dua kejadian yang menyedot perhatian. Pertama, berpulangnya ulama besar KH Maimoen Zubair di Mekah pada Selasa, 6 Agustus 2019.
Kedua, pidato politik Ibu Megawati Sukarnoputri. Ketua umum partai politik terlama, yang juga darah biru Proklamator Republik Indonesia. Di acara Kongres V PDI Perjuangan di Bali pada Kamis, 8 Agustus 2019.
Peristiwa keduanya berdekatan. Sama-sama punya magnet kuat. Ternyata, ada hal yang mengikat mereka. Antara Ibu Megawati dan Mbah Maimoen.
Semua bermula pada menit ke 07:50. Sebelum Ibu Mega mulai membabar inti pidato politiknya. Secara khusus, dia mengirim doa belasungkawa untuk Mbah Maimoen.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang Jawa Tengah itu, nyatanya, sangat spesial di matanya. Presiden Indonesia ke lima itu menyebutnya sebagai seorang ulama sederhana. Namun, secara konsisten dan tulus, beliau mendarmakan sepanjang hidupnya untuk hal penting.
Mensyiarkan Islam di Indonesia sebagai agama yang rahmatan lil alamin. “Islam yang memberi rahmat bagi semesta alam. Islam yang mengalun indah, dalam harmoni keberagaman Indonesia,” ucap Ibu Mega tercekat.
Dia sempat menghentikan pidatonya. Sejenak. Sedetik kemudian, ke dua bola matanya menerawang ke ujung kanan atas.
Air mata tampak mengembang. “Saya dekat dengan, panggilanya Mbah Moen,” lanjut Ibu Mega lirih, sambil menahan tangis.
Isak mulai terdengar dari intonasi bicaranya. “Nama lengkapnya, KH Maimoen Zubair. Doa kami menghantar ke haribaan-Nya,” isak Ibu Mega terdengar.
Akhirnya, luapan itu tak terbendung lagi. Dia tak bisa menyembunyikan kesedihan hati nan mendalam.
Sepertinya, Ibu Mega tak mau larut lebih dalam. Matanya mengerjapkan berulang kali. Tentu saja, untuk meredakan air mata.
Dia segera meneruskan pidato. Tanpa Jeda. Lantas pindah topik politik dan urusan kongres.
Yang pasti, hubungan keduanya sangat dekat. Sering bertemu. Konon, untuk berdiskusi urusan kebangsaan.
Bahkan, sebelum ke Mekah, Mbah Maimoen menyempatkan diri bersilaturahmi kepada Ibu Mega. Di kediamannya di Jalan Teuku Umar Jakarta, pada Sabtu, 27 Juli 2019. Hari itu, beliau pamit untuk berhaji.
Di damping dua putranya, salah satunya Gus Taj Yasin, Wakil Gubernur Jawa Tengah. Sebelumnya, Gus Yasin memang diminta Bu Mega mendampingi Mas Ganjar Pranowo, untuk memenangkan Pilgub. Bagi PDI Perjuangan, Jawa Tengah adalah episentrum.
Tentu, selain pamit, ada banyak hal didiskusikan. Terutama menjaga Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua hal kebangsaan yang selalu Mbah Maimoen denggungkan ke publik.
Kalau mau lebih dalam, ada hal lain yang menyatukan keduanya. Menjaga keutuhan republik. Keduanya salah satu saksi dan pelaku sejarah perjalanan negara ini.
Mengalami sendiri atau mendapatkan cerita, bagaimana rakyat berjuang sangat keras untuk kemerdekaan. Dan yang mengikatnya adalah Pancasila. Simbol pemersatu dari keberagaman.
Persamaan lainnya adalah urusan politik. Terkait hal ini, Ibu Mega sudah sangat kenyang dengan asam garamnya. Dari dikhianati hingga disingkirkan. “Saya pernah mengalami ditinggal orang,” katanya dalam pidato politik itu.
Ibu Mega mengaku menjalankan perintah bapaknya, Bung Karno. Keyakinan, ketulusan, dan tulus menjaga amanah. Menjalankan ketiganya adalah kunci berpolitik.
Hal sama, juga diwariskan oleh Mbah Maimoen. Jangan lupa, ulama kharismatis ini, juga politisi ulung. Beliau menjabat Ketua Majelis Syariah Partai PPP sampai wafat.
Pernah juga menjadi anggota DPRD Rembang selama 7 tahun. Lantas, sempat mencicipi kursi MPR RI dari Fraksi Utusan Daerah. Bahkan selama tiga periode berturut-turut.
Mbah Maimoen tak pernah menyakiti orang lain. Selalu memilih menjadi jalan keluar. Menjadi perekat. Dan gemar berbagi kebaikan.
Ada contoh sederhana. Dalam Pilpres lalu, dia menerima kedatangan Presiden Joko Widodo dan Pak Prabowo Subianto. Memberikan doa terbaik buat keduanya.
Tak cukup itu. Dia meminta dua putranya ada dia dua kubu yang berlawanan. Gus Yasin di kubu Pak Jokowi dan Gus Wafi di kubu Pak Prabowo.
Caranya menyenangkan orang sangat hebat. Simak saja, komentar Menko Maritim Luhut Pandjaitan. Pak Luhut mengalami beragam hal yang membuatnya takjub.
Pertama, saat berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang. Dia disambut oleh gegap gempita marching band. Juga menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Hal yang belum pernah dia rasakan saat mengunjungi pondok pesantren. Ada semangat kebangsaan yang dipupuk serius. Dia juga merasakan kehangatan yang tulus. Digandeng tanggannya. Saat memasuki pondok pesantren.
Bahkan, Mbah Maimoen juga memberinya kejutan besar. Pernah, pada hari Jumat, selepas bertemu Pak Jokowi, beliau ditawari salat Jumat di masjid Istana. Namun, memilih geser ke kantor Pak Luhut.
Selain bersilaturahmi dengan Pak Luhut, beliau lantas salat Jumat di masjid di kantor Menkopolhukam. Tak cuma itu. Sekaligus menjadi imam dan khatib di sana. Sebuah kenikmatan bagi jamaah masjid.
Mbah Maimoen mencontohkan apa yang seharusnya dilakukan orang Jawa. Memangku. Menghormati orang lain dengan tulus.
Dalam huruf Jawa, bila ada huruf yang dilekati sandhangpangkon (panku), maka huruf akan mati. Huruf jadi tak berbunyi, hanya konsonan.
Rumus ini, juga berlaku dalam berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Saling menghargai kebaikan dan budi baik orang lain. Sebab tak ada rumus bagi orang Jawa, kebaikan dibalas dengan keburukan (kabecikan winales kadurakan).
Tentu saja, idiom ini seharusnya berlaku juga dalam kehidupan politik. Tidak ada air susu yang dibalas air tuba. Itu akan terjadi, bila kita melaksanakan etika politik dengan kesungguhan, perilaku yang bijak, dan hati tulus.
Oh ya, kembali ke persahabatan Mbah Maimoen dengan Ibu Mega. Keduanya mengajarkan kita, bahwa persatuan kaum nasionalis (abangan) dengan kaum santri adalah kunci kelangsungan republik.
Ajar Edi, kolumnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id
Advertisement