Yang Mengharukan di Masa Pandemi, Ziarah Virtual ke Makam Bayazid
Masa pandemo COVID-19 mengharuskan banyak orang tinggal di rumah. Hari-hari di bulan Ramadhan, aktivitas ibadah pun dilakukan di dalam rumah.
Lalu bagaimana bila kita hendak berziarah ke makam tokoh-tokoh terkenal atau ke makam leluhur kita? Adakah setiap ziarah bisa mengantarkan hati kita terharu pada tokoh yang dikagumi?
Ternyata itu bisa dilakukan lewat ziarah virtual, sebagaimana pengalaman berikut ini:
SALAH satu kegiatan saya selama #dirumahaja, menemani seorang peneliti tasawuf melayu asal Iran untuk membaca buku “Tarekat Naqsyabindiyah di Indonesia” karya Martin van Bruinessen via WA voice. Ketika sampai di Bab III (Asal Usul Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah) halaman 50, ada nama tokoh dan tempat yang membuat saya jadi rindu.
Dia adalah seorang sufi besar dan Mursyid dalam silsilah Naqsyabandiyah, Aba Yazid Bastami atau yang dikenal dengan Bayazid Bastami. Di buku Martin, dijelaskan Bayazid berasal dari Khuzistan Iran. Tampaknya, ada kekeliruan penyebutan nama tempat. Saya tidak tahu, apakah ini salah cetak dan sudah direvisi di edisi baru, atau bagaimana.
Khuzistan merupakan provinsi di Selatan Iran, sedangkan makam Bayazid berada di kota Bastam, bagian Timur Iran. Dahulu, menjadi bagian Khorasan Raya, namun sekarang masuk propinsi Semnan.
Kebetulan tiga bulan lalu, saya baru berkunjung ke kota Bastam. Tentu saja, tujuan utama saya adalah berziarah ke makam Bayazid Bastami. Nama tokoh sufi ini sudah saya dengar sejak masih di sekolah dasar. Abah memberikan nama ini untuk cucu lelaki pertamanya, yaitu Ahmad Bustami. Walaupun bukan seorang pengikut Naqsyabandiyah, Abah cukup akrab dengan tokoh-tokoh sufi terdahulu dan seringkali mendongengkan kisah mereka saat sedang santai di rumah.
Setelah beberapa tahun tinggal di Iran, saya baru tahu kalau makam sufi yang mendapat gelar Sultan Arifin ini, ternyata ada di salah satu kota yang terletak di Timur Iran. Sudah lama sekali saya ingin berkunjung ke kota Bastam ini, tapi selalu saja gagal. Sampai tiga bulan lalu, Alaleh mengajak ke kampung halamannya di kota Damghan yang masih satu propinsi dengan kota Bastam. Saya memenuhi tawarannya dengan syarat, minta diantar ke makam Bayazid.
Kota Bastam sungguh menyenangkan. Kecil, sunyi, dengan udara yang segar. Di sinilah dulu Bayazid lahir sampai meninggal. Ketika pertama kali memasuki kompleks makam Bayazid, wajah Abah segera terbayang. Ah…seandainya kami bisa berziarah bersama. Semasa hidupnya, Abah selalu merindukan berkunjung ke tempat-tempat yang menyuguhkan aroma spiritual. Tapi, mungkin Abah sudah bertemu langsung di alam keabadian sana. Entahlah.
“Boleh saya mengambil fotomu, Agha”, Tanya saya pada seorang lelaki yang memakai salwar dan kameez. Ia hanya mengangguk, lalu kembali tertunduk di pusara Bayazid Bastami.
Setelah selesai berdoa, barulah kami terlibat sedikit pembicaraan. Ia ternyata datang langsung dari Afghanistan untuk berziarah. Bangsa Iran dan Afghanistan memang satu rumpun dalam penggunaan bahasa Persia dan ratusan tahun pernah bersatu dalam wilayah Khorasan Raya. Lelaki itu justeru tak menduga kalau nama Bayazid, ternyata dikenal baik oleh Muslim Indonesia.
Berbeda dengan kebanyakan makam ulama dan tokoh terkemuka Iran yang biasanya berada di dalam ruanganan, makam Bayazid terletak di area terbuka tanpa atap. Keheranan saya langsung terjawab, ketika pemandu kompleks makam menjelaskan alasannya.
Awalnya, makam Bayazid juga berada di dalam bangunan, lalu ditemukanlah manuskrip yang dipercaya juga sebagai wasiat, bahwa Bayazid menginginkan makamnya disinari matahari langsung. Kemudian pemugaran pun dilakukan sampai terlihat seperti sekarang ini. Marmar yang melapisi makam Bayazid juga terlihat sangat sederhana. Tak banyak tulisan, hanya namanya yang terukir. Barangkali ini juga bagian dari wasiatnya.
Semasa hidupnya, Bayazid memang dikenal sebagai sufi malamat. Bahkan, Martin menyebutnya sebagai pelopor tradisi Malamati dalam tasawuf. Orang Malamati dengan sengaja menghindari kehidupan saleh dalam bentuk apa pun, dan dengan sengaja menjauhkan diri dari perilaku yang telah ditetapkan kelompok ortodoks pada umumnya, demi mengundang kecaman dari masyarakat. Satu-satunya tujuan mereka adalah cinta Tuhan.
Barangkali, ini menjadi sebab ucapan maupun perilaku Bayazid kerap dianggap kontraversi. Bahkan, pernyataan Bayazid “Ma A’zama Sya’ni?” menjadi pembuka pertemuan ‘langit’ antara dua sufi besar Rumi dan Shams Tabrizi.
Banyak cerita-cerita tentang Bayazid yang tidak mudah dipahami begitu saja. Rumi dalam Matsnawi menceritakan dengan panjang lebar sebagian kisah tersebut. Bagaimana cerita Rumi tentang Bayazid ini? Tunggu di buku saya selanjutnya ya…
Sementara, selamat menikmati foto-foto ini dulu, semoga suatu saat teman-teman juga bisa berkunjung langsung, amiiin.
Afifah Ahmad, dipetik dari akun facebooknya, Kamis, 14 Mei 2020.