Yahya Bin Mu’adz Ar-Razi, Penjelajah Jalan Menuju Tuhan
Oleh: Ady Amar
Yahya bin Mu’adz ar-Razi, lahir tahun 830 Masehi, di Rayy, Iran. Sebuah kota tua yang masuk bagian dari Provinsi Teheran.
Rayy, pernah menjadi ibukota dari Kesultanan Seljuk. Kota ini ditundukkan kaum muslimin di bawah pimpinan Amr bin Zaid al-Khalil ath-Thai, tepatnya pada tahun 20 Hijriah (640/641 Masehi), itu di masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab Radliyallahu Anhu.
Yahya bin Mu’adz, saat usia remaja meninggalkan Rayy berkelana ke Balkh, Afghanistan. Sampai saatnya dia balik ke negerinya, tapi tidak kembali ke Rayy, dia memilih menetap di Nishapur, Iran. Sampai dia meninggal di sana pada tahun 871 Masehi. Meninggal dalam usia yang relatif muda, 41 tahun.
Yahya bin Mu’adz ar-Razi mendapat julukan sebagai “lautan kebenaran”, “pembimbing ulama”, dan “penjelajah jalan menuju Tuhan”.
Tidak tahu persis sebab apa dia mendapat banyak julukan demikian. Tapi sejatinya, Yahya bin Mu’adz disebut sebagai Sufi pertama yang menyatakan secara langsung kecintaannya kepada Tuhan, dan itu disampaikannya dalam syairnya.
Tuhanku Maha Pengasih, ampunkan dosa-dosaku,
meski perbuatan dosa membuatku takut akan keadilan-Mu,
tetapi kebesaran kasih sayang-Mu
membuatku berharap dalam Engkau.
Tuhan, aku tak layak dapat Surga
atas perbuatan-perbuatan nista,
tapi aku tak tahan dengan api Neraka.
Kupasrahkan diri ini pada kemuliaan-Mu.
Jika pada Hari Kebangkitan, kuditanya:
“Apa yang kau bawa untuk-Ku?”
Aku pasti menjawab: “Apa yang bisa dikatakan
seseorang dari penjara, dengan rambut berjuntai
dan pakaian yang buruk, terbebani kecintaan duniawi
dan penuh rasa malu, yang dibawa ke hadapan-Mu?
Basuhlah aku dari dosa-dosa, dan
dalam pengampunan-Mu, jangan tampik aku
dari hadapan-Mu.”
(Dinukil dari Readings from the Mystics of Islam, Margaret Smith, Pir
Publication. Inc., 1994).
Ahli Hikmah Tanpa Kitab
Yahya bin Mu’adz ar-Razi, dikenal sebagai orang arif, ahli hikmah dan pemberi nasihat di zamannya. Tidak ditemukan kitab buah penanya, tapi ujaran-ujaran kebaikan darinya dikutip banyak penulis yang datang belakangan.
Fariduddin Aththar pun dalam Tadzkiratul-Auliya’, salah satu kitab yang ditulisnya selain
Mantiquth-Thair, menukil “Kisah Yahya bin Mu’adz dengan Saudaranya”, sebuah kisah
menarik penuh nasihat akan kemuliaan, larangan eksploitasi dan pengabdian.
Kisah ini bersandar pada Surat yang diterima Yahya bin Mu’adz dari saudaranya, yang
bermukim di Mekkah. Surat itu dia balas dengan sentuhan ruhani yang dalam.
Begini isi suratnya:
“Ada tiga hal yang kucita-citakan. Dua di antaranya telah terkabul. Tinggal satu lagi yang belum. Doakanlah kepada Allah, semoga Dia berkenan menyempurnakan keinginanku yang terakhir.
Keinginanku yang pertama adalah melewatkan hari-hari tuaku di suatu tempat yang paling suci di atas dunia, dan saat ini aku telah berada di tempat suci ini. Suatu tempat termulia dari segala tempat.
Keinginanku yang kedua adalah memiliki hamba untuk merawat diriku, dan menyediakan air untuk bersuci diri, dan kini Allah telah menganugerahkan seorang hamba perempuan yang baik budinya.
Keinginanku yang ketiga adalah bisa bertemu denganmu sebelum ajalku tiba. Doakanlah kepada Allah, semoga Dia mengabulkan keinginanku.”
Yahya bin Mu’adz menjawab surat saudaranya itu dengan nasihat sufistik, melihat sesuatu tidak pada dhahir semata tetapi juga ruhani.
“Berkenaan dengan isi suratmu, bahwa engkau menginginkan tempat terbaik di atas dunia. Hendaklah engkau menjadi yang terbaik di antara semua manusia, dan setelah itu tinggallah di sembarang tempat yang engkau kehendaki. Suatu tempat menjadi mulia karena orang-orang yang menempatinya, bukan sebaliknya.
Mengenai keinginanmu akan seorang hamba, yang pada saat ini telah engkau dapatkan. Jika engkau manusia yang benar dan berbakti, niscaya engkau tidak mengambil hamba Allah menjadi hambamu sendiri, karena itu menghalanginya untuk mengabdi kepada-Nya, dan membuatnya sibuk lantaran mengabdi kepadamu.
Engkau sendirilah yang seharusnya menjadi hamba. Engkau ingin menjadi seorang yang
dipertuan, padahal yang patut dipertuan itu hanyalah Allah. Menghambakan diri adalah
kewajiban manusia. Seorang hamba Allah haruslah menjadi seorang hamba. Jika seorang hamba menghasratkan kedudukan yang hanya pantas dimiliki Allah, maka dia tidak ubahnya Fir’aun.
Terakhir, tentang keinginanmu bertemu denganku, itu sesungguhnya jika engkau benar-
benar memikirkan Allah, niscaya engkau takkan teringat kepadaku. Karena itu, mengabdilah pada Allah dengan sebenar-benar pengabdian, sehingga sedikit pun tiada ingatan kepada saudaramu di dalam pikiranmu. Dalam pengabdian itu, kita harus rela untuk mengorbankan putra sendiri, apalagi seorang saudara. Jika engkau telah menemukan Dia, apalah faedah yang dapat engkau petik dari perjumpaan kita?”
Itulah jawaban Yahya bin Mu’adz, jawaban yang tidak kenes saat saudaranya menyatakan harapan ingin bertemu dengannya. Namun, bukanlah sambutan riang atas perasaan rindu itu, tapi nasihat agar tidak membuang-buang waktu demi sebuah pertemuan, sehingga akan kehilangan fokus mengabdi kepada-Nya.
Quotes pada Kebajikan
Kata-kata bijak menawan, seruan pada kebaikan/kebajikan dari Yahya bin Mu’adz banyak dikutip tokoh-tokoh Sufi, dan bahkan dikutip juga oleh kalangan ulama fuqaha.
Ujaran-ujaran dan syair-syair yang disampaikannya, meski bercorak sufistik, bisa diterima kalangan fuqaha. Tampaknya, Yahya bin Mu’adz bagai jembatan dari dua perspektif, tasawuf dan fiqih, yang sulit disatukan.
Kata-kata bijak, yang lalu menjadi kalimat ajakan pada kebaikan, itu biasa disebut sebagai quote. Inilah sebagian quote darinya, yang khas bercorak nasihat bijak dengan susunan kalimat mudah dipahami. Bisa jadi inilah kekuatan dari quotes-nya.
Adalah Fariduddin Aththar, Ibnul-Jauzi, Abu Nu’aim al-Ashbahani, Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Abdul-Malik al-Qasim, dan banyak lainnya, yang mengutip ujaran-ujaran kebaikan dari Yahya bin Mu’adz ar-Razi.
“Jadikanlah bagian atau hak seorang mukmin darimu, akan tiga hal: Jika engkau tidak
memberinya manfaat, jangan engkau memberinya madharat. Jika engkau tak mampu
membahagiakannya, jangan engkau beri kesedihan padanya. Jika engkau tak mampu
memujinya, jangan engkau cela dia.” (Al-I’lam Bihurmati Ahli ‘Ilmi wal-Islam, Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, h. 61).
“Malam itu panjang, maka janganlah engkau pendekkan dengan tidurmu. Dan siang itu
terang, maka jangan engkau keruhkan dengan dosa-dosamu.” (Ta’lim al-Muta’alim fi
Thariqoh at-Ta’alun, Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, h. 119).
“Perjalanan dunia bisa ditempuh dengan telapak kaki, sedangkan perjalanan akhirat ditempuh dengan hati.” (Shifatush-Shafwah, Ibnul-Jauzi, IV/93).
“Orang yang bertobat memiliki kebanggaan tak tertandingi oleh kebanggaan apa pun, yaitu kegembiraan Allah dengan tobatnya.” (Shifatush-Shafwah, Ibnul-Jauzi, IV/94).
“Menurutku, keterlenaan/ketertipuan yang terbesar adalah terus menerus berbuat dosa diiringi rasa harap mendapat ampunan Allah tanpa penyesalan. Mengharapkan untuk bisa dekat dengan Allah tanpa diiringi ketaatan, menanti panen surga dengan benih api neraka. Ingin tinggal bersama orang-orang yang taat tapi berbuat maksiat, menunggu-nunggu pahala tanpa berbuat amal, dan mengharap keridhaan Allah, tapi pada saat yang sama melalaikan-Nya.” (Mau’izhatul al-Mu’minin, Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, h. 114).
“Wahai manusia, engkau mencari dunia dengan sungguh-sungguh, dan engkau mencari akhirat dengan usaha (seolah) orang yang tidak membutuhkannya. Padahal, dunia sudah mencukupimu, walaupun engkau tidak mencarinya, sedangkan akhirat hanya didapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencarinya.” (Ad-Dunya Zhillun Zail, Abdul-Malik al-Qasim, h. 31).
Yahya bin Mu’adz ar-Razi meninggal dunia dalam usia terbilang muda. Meski tidak ditemukan karya berupa kitab darinya, namun namanya tetap dikenang sebagai ahli hikmah yang terus dibicarakan hingga kini. Dan dia bukanlah satu-satunya ahli hikmah yang tidak memiliki karya tulis, banyak lainnya, di antaranya al-Fudhail bin Iyadh, Dzun Nun bin Ibrahim al-Mishri, Abu Ishaq, Ibrahim bin Adham, Bisyir bin al-Harits al-Hafi, Sari bin Mughallas as-Saqati, Saqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Karkhi, dan masih banyak lainnya. Nama-nama mereka tetap abadi dan dikenang sepanjang masa, ditulis dengan tinta emas.**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.