Yahya A. Muhaimin, Noktah Manis dalam Peta Akademis
Oleh: Himawan Bayu Patriadi
Entah! Saat mau menulis obituari Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin, spontan teringat pada Franklin Delano Roosevelt (FDR), Presiden AS ke 32 yang menjabat tahun 1933-1945. Bukan karena Pak Yahya mendapatkan PhD-nya dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), USA.
Bukan disebabkan beliau pernah menjadi Atase Pendidikan RI di Washington D.C. Dan, bukan pula karena beliau pernah menjabat Menteri Pendidikan Nasional. Spontanitas ini justru diilhami oleh sosok keduanya sebagai manusia, yang dalam kapasitasnya masing-masing mempunyai kemiripan dalam episode hidupnya.
Ketika bertandang ke Washington D.C., saya berkesempatan mengunjungi The FDR Memorial. Salah satu site-nya adalah miniatur air terjun berjenjang, simbolisasi dari ujian berat yang dihadapinya ketika menjabat Presiden. Dalam kelumpuhan permanen kakinya —yang mengharusnya hidup di atas kursi roda sejak umur 39 tahun— FDR memandu AS dalam kondisi krisis akibat malaise tahun 1930-an, mengahadapi rivalitas global melawan Komunis Uni-Soviet, dan memimpin AS dalam Perang Dunia II. Tragisnya, FDR meninggal tahun 1945, saat AS yang dipimpinnya di ambang kemenangan perang.
Sementara itu, Pak Yahya sebagai akademisi juga mengalami ujian pelik. Disertasi doktornya di MIT sempat mengalami tuduhan plagiasi, bahkan juga pernah mendapatkan somasi. Walaupun plagiasi tak terbukti, dan somasi akhirnya juga tertangani; perasaan tak tega tetap menyelimuti. Alasannya sederhana. beliau adalah sosok yang lembut dan santun, bak ‘priyayi’ Jawa yang tidak terbiasa dengan situasi konflik.
Posisi Akademis
Generasi Pak Yahya hidup di tengah kejayaan studi kawasan (the heyday of area studies). Di era itu, modernisasi dan pembangunan merupakan dua tema utama yang menjadi fokus kajian. Oleh karena itu, dalam pandangan saya, dalam mencerna karyanya bukan hanya perlu membaca substansinya, tetapi juga penting untuk memahami konteks dan semangat jamannya.
Buku pertamanya, “Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945–1966”, menjadi begitu populer karena dua aspek tersebut. Sebagai mutasi dari skripsi terbaik UGM (1973), dari segi substansi —tak diragukan lagi— merupakan sebuah masterpiece.
Memang sebuah fakta, seperti umumnya skripsi, teorinya masih relatif sederhana. Baru setelah menyelesaikan PhD-nya, Pak Yahya pada edisi berikutnya (1982) mengembangkan kerangka teorinya secara lebih komprehensif. Namun, saya melihat, kekuatan utama dari buku tersebut justru bukan terletak teorinya, melainkan pada substansi isinya.
Argumennya powerful, analisanya resourceful, narasinya juga colourful. Pertama kali baca—saat mahasiswa —saya terkesan dengan analisanya yang kaya akan data. Salah satu faktor utamanya adalah peran pembimbingnya —Pak Soeroso Prawirohardjo— yang jebolan University of Pittsburgh, USA. Beliau mengarahkan Pak Yahya untuk mengadopsi historical-sociological approach. Analisisnya dimulai tanpa predisposisi. Argumennya diwarnai narasi historis yang padat didukung data empiris yang kuat. Data primernya termasuk wawancara dengan sumber first-hand perspective—seperti Jenderal A.H. Nasution.
Gaya penulisan semacam ini mengingatkan pada tradisi akademis Cornell University, khususnya Cornell Southeast Asia Program (SEAP). Jejaknya bisa dideteksi dari sekian referensi utamanya yang merujuk pada karya ‘Cornell mafia” beserta muridnya, seperti Herbert Feith, Daniel S. Lev, dan Harold Crouch.
Signifikansi buku tersebut juga tak lepas dari konteks politik dunia kala itu. Analisanya memperkaya penjelasan komparatif tentang runtuhnya demokrasi gelombang kedua. Secara historis, dominasi militer dalam politik di Indonesia merupakan rentetan pengambil-alihan politik oleh militer di beberapa negara, seperti Jenderal Sarit Tanarat di Thailand (1957), Jenderal Muhammad Ayub Khan di Pakistan (1958), dan Jenderal Ne Win di Burma (1962).
Dalam konteks pembangunan, tampilnya militer dalam panggung politik ini sempat memunculkan asumsi militer sebagai ‘agen perubahan’ (agent of change). Bukunya yang kedua, Masalah-Masalah Pembangunan Politik (1977), yang disunting bersama Colin McAndrews; juga merupakan derivasi semangat zaman era itu --khususnya berkaitan modernisasi politik— yang sering dikerangkai dalam tema besar ‘masalah-masalah negara berkembang’.
Jika dalam tutur kata dan perilakunya Pak Yahya sangat kental diwarnai budaya Jawa, dalam konteks akademis studi PhD-nya semakin memperdalam pendekatan budayanya. Ini terutama akibat pembimbingan disertasinya oleh Lucian W. Pye—seorang comparatist yang lebih berfokus pada pendekatan kultural.
Saya teringat kisah bagaimana supervisornya ini mewajibkannya untuk melahap buku-buku babon karya Max Weber. Keakrabannya —baik dalam dalam hubungan pribadi maupun pandangan akademisnya— dengan Lucian W. Pye sempat diceritakan pada saya saat bertemu untuk terakhir kalinya tiga tahun lalu.
Beliau berkata: “Nama saya sampai disebut Lucian Pye dalam bukunya Asian Power And Politics: The Cultural Dimensions Of Authority (1985). Memang, dalam dalam preface bukunya ini, Pye secara eksplisit mengakui: “Saya sangat beruntung memiliki sejumlah mahasiswa berprestasi yang penelitiannya tentang budaya politik Asia [yang] ternyata menjadi pengalaman belajar bagi saya ... [dan] untuk kasus Indonesia ...[salah satunya adalah] Yahya Muhaimin!”.
Ujian
Tak mengherankan, dengan latar belakang akademis di atas, pendekatan Pak Yahya sangat Weberian. Kentalnya perspektif ini setidaknya bisa dideteksi dalam dua karyanya sewaktu mengambil PhD-nya: “Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia” (Prisma, 1980) dan disertasinya (1982), “Indonesian Economic Policy, 1950–1980: the Politics of Client Businessmen”, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Bisnis dan Politik, Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950–1980 (LP3ES, 1991).
Jika sempat ada kontroversi bahwa buku Bisnis dan Politik tersebut merupakan plagiasi dari bukunya Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, terdapat beberapa kejanggalan sekaligus pertanyaan. Pertama, dari segi waktu, buku Pak Yahya merupakan mutasi dari disertasinya di MIT tahun 1982, sementara buku Robison diterbitkan pertama kali pada tahun 1986.
Kedua, kalaupun klaim plagiasi dilanjutkan dengan merujuk pada disertasi Robison di Universitas Sydney, Capitalism and the Bureaucratic State in Indonesia (1977), beserta artikelnya yang lain; secara substantif juga terdapat perbedaan —khususnya dalam pendekatan teoritisnya. Robison cenderung memakai pendekatan struktural-Marxian dengan kata kunci ‘kelas’.
Argumennya, Orde Baru hanya bisa dijelaskan “dalam konteks historis dan sosialnya yang spesifik dimana kelas merupakan faktor penting" (1986:117). Dan, negara menjadi penting karena perannya yang strategis “dalam proses pembentukan kelas, konflik antar kelas dan akumulasi kapital" (1990:35).
Sementara itu, Pak Yahya berangkat dari perspektif Weberian dengan memakai ‘klientilisme” dan ‘patromonialisme’ sebagai konsep utama. Argumennya, meskipun terjadi beberapa pergantian rejim politik dalam kurun waktu 1950-1980, pola patronase relatif tetap sama. Hanya aktornya saja yang berganti. Peran negara hanya berkembang sebatas terbatas “melahirkan hubungan-hubungan patron-klien antara penguasa politik dalam birokrasi dan para pengusaha serta kelompok-kelompok usaha tertentu” (1991:7-8).
Jika Robison mengritik habis konsep patrimonialisme untuk menjelaskan perilaku modal dan dinamika politik di Indonesia, Pak Yahya justru menegaskan bahwa patrimonialisme merupakan penjelas yang bagus. Dengan semua ini, bisa dikatakan bahwa Pak Yahya ‘mengoreksi’ —atau setidaknya memberikan penjelasan alternatif— terhadap perspektif teoritis yang diajukan Robison.
Dari segi non-subtantif, jika memang disertasi Pak Yahya itu merupakan plagiasi, logikanya akan diikuti dengan sanksi akademis. Sebagai alumni universitas mancanegara, saya paham bagaimana kode etiknya. Jangankan plagisasi, seseorang yang mencantumkan gelar PhD sebelum secara resmi diputuskan disertasi lulus oleh institusinya, bisa berakibat pembatalan gelar doktornya. Universitas sekaliber MIT, saya yakin, sangat menjaga marwah dan kredibilitasnya. Faktanya, sampai akhir hayatnya beliau tak menerima sanksi akademis apapun dari institusinya tersebut.
Ujian kedua, adalah somasi terhadap karyanya yang diterbitkan oleh LP3ES tersebut. Probosutejo yang merasa ‘difitnah’ dalam analisa, menuntut Pak Yahya melakukan permintaan maaf dan menarik buku tersebut dari peredaran. Solidaritas dan reaksi perlawanan spontan muncul dari kolega akademis, yang juga didukung oleh beberapa pengacara kondang. Alasannya, somasi adalah bentuk represi terhadap kebebasan akademis.
Argumennya, ketidaksetujuan pada suatu hasil riset seharusnya dibantah dengan hasil penelitian pula. Namun, di tengah dukungan kuat untuk melawan, seperti biasa, Pak Yahya lebih memilih jalan dialog. Hasilnya, somasi ditarik; disertai janji revisi dengan hasil wawancara (baru) dalam edisi penerbitan berikutnya.
Tentu saja, langkahnya tersebut mengecewakan para koleganya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa tindakan Pak Yahya tersebut menunjukan kelemahan dalam menghadapi tekanan. Tapi, di mata saya, tindakan Pak Yahya itu justru sebuah wujud konsistensinya dalam sosok Jawa, yang senantiasa dilambari budaya menghindari konflik.
Dalam pandangan mahasiswa penggemar wayang seperti saya —akibat terbawa nuansa malam Yogya yang senantiasa dihiasi siaran wayang kulit semalam suntuk— Pak Yahya punya padanan istimewa. Beliau sering diidentikkan dengan Yudhistira, tokoh pambarep (sulung) Pandawa yang berhati lembut, bermoral tinggi, bijak, dan ajathasatru (tidak memiliki musuh).
Namun, ditengah badai yang melanda; Pak Yahya berusaha tetap ceria. Bahkan, ke saya masih sempat melempar canda: “Saya akan menulis novel saja!”. Tapi, di usia senjanya, terdapat satu hal yang nampak mengganjal di hatinya. Ketika bertemu untuk terakhir kalinya—hampir tiga tahun yang lalu—beliau berkata: “Saya sebenarnya menyayangkan pengapusan mata kuliah Perbandingan Politik dari kurikulum HI-UGM!”. Namun, perubahan kurikulum oleh generasi penerusnya, tentu saja, sudah berdasarkan pemikiran kontekstual jamannya, termasuk mengerucutkan konsentrasi dan mempertajam spesialisasi mahasiswa dalam ilmu Hubungan Internasional.
Tapi, nampaknya, Pak Yahya masih melihat bahwa Perbandingan Politik masih relevan, khususnya dalam memperkaya penjelasan mengenai respon masyarakat lokal terhadap arus globalisasi melanda yang universal. Mungkin, obsesi inilah yang ingin beliau wujudkan dalam mengembangkan Universitas Peradaban —yang kebetulan dipimpinnya sendiri— dengan mengutamakan kajian tentang isu-isu lokal. Ilmu, dimanapun, selalu menghardik rasa jemu.
Selamat jalan Guru! Allahumaghfirlahu Warhamhu Wa'afihi Wa'fu'anhu ….
*) Himawan Bayu Patriadi, PhD, Dosen Hubungan Internasional dan Ketua C-RiSSH, Universitas Jember.