Yahya A. Muhaimin, dari Buku Sampai Filosofi Pintu
Oleh Himawan Bayu Patriadi
Siang itu, sebuah pesan WhatApps dari adik—Dodi Ambardi—tergopoh masuk HP saya: “Mas, Pak Yahya meninggal dunia!”. Saya terdiam, hanya doa yang tergumam. Sontak saya kabari teman seangkatan. Jawabnya singkat: “Iya, sudah sempat viral!”. Tersembul rasa sesal, rencana bezoek terpaksa gagal.
Memori tiga tahun yang lalu-pun menyeruak. Itulah pertemuan terakhir dengan Pak Yahya di kediamannya, Jalan Megatruh, Gang Arumsari, Swakarya, Yogyakarta. Kala itu, saya agak terkejut dengan kondisinya yang lemah. Berjalan-pun susah. Sampai-sampai saya memapahnya berjalan dari ruang tengah. Tapi, yang sedikit menghibur, ekspresi wajahnya masih tampak riang. “Saya senang kamu datang”, katanya; mengawali perbincangan. Selebihnya, beliau yang banyak cerita, mulai kisah pribadi sampai pandangannya terhadap dunia.
Tapi, kali ini, saat menulis memoar tentang Pak Yahya terasa berat. Bukan karena minimnya riwayat, tapi justru karena hubungan yang begitu akrab. Maklum, selain sebagai pembimbing skripsi, beliau adalah tempat nyantrik, dengan menarik saya sebagai ‘asisten’-nya dalam mengajar mata kuliah Teori Politik Luar Negeri.
Sosok
Lahir dengan nama “Yahya”. Kisah nama berikutnya—"A. Muhaimin”—baru saya ketahui saat sowan ke rumahnya di Bumiayu kala masih mahasiswa S1. Hikmah dari tlisipan (berlawanan arah perjalanan) dengan Pak Yahya—yang tengah dalam perjalanan dari Bumiayu ke Yogya—saya beserta teman diterima oleh sang Bapak, Haji Abdul Muhaimin. Dari sekelumit ceritannya, setelah nama Yahya tersembunyi kata “bin”, bermakna putra dari ‘Abdul Muhaimin’—seorang pedagang batik—dengan ibu Zubaidah, yang seorang guru.
“Yahya” dewasa memiliki pribadi memikat dengan beragam predikat. Agamis, intelek, lembut dalam bertutur kata, dermawan, peduli, dan rendah hati. Semua karakter ini tak lepas dari gemblengan sejak dini. Saat kecil, sehabis subuh selalu mengaji. Pagi hari, belajar di Madrasah Ibtidayah (MI) Ta`allamul Huda—yang dikelola yayasan keluarga. Sore hari masuk Sekolah Rakyat (SR). Ketika mahasiswa, pendidikan rangkap-pun diulanginya. Selain kuliah di jurusan Hubungan Internasional (HI), FISIPOL-UGM; Pak Yahya juga studi Perbandingan Agama di IAIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta. Sayangnya, studi ini tak selesai karena ujiannya bertabrakan dengan jadwal di UGM.
Ragam pendidikan dilengkapi dengan luasnya wawasan dan pengalaman. Saat SMA beliau meraih beasiswa bergengsi American Field Service (AFS) untuk setahun belajar di AS, yang kemudian juga menghantarkannya bertemu dengan Presiden John F. Kennedy di Gedung Putih. Ketika mahasiswa beliau juga aktif di organisasi ekstra, baik di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Gairah aktivis-nya berlanjut sampai usia baya. Selain sebagai akademisi, beliau sempat juga berkhidmat dalam berbagai peran—mulai dari anggota PP Muhammadiyah sampai jabatan Menteri.
Foto remajanya yang berlatar belakang foto dua tokoh besar—Presiden John F. Kennedy dan Jenderal A.H. Nasution—seakan mewakili imaginasinya yang tinggi. Satu sisi, menggambarkan obsesi pemikiran dan kiprah internasionalnya. Di sisi lain, mencerminkan intensinya dalam meneliti militer, yang kemudian melambungkannya menjadi salah satu ahlinya.
Hubungan yang dekat bermula dari surat. Kuliah semester dua—saat Senat Mahasiswa FISIPOL-UGM mau memperingati Isra’ Mi’raj—saya ditunjuk sebagai sekretaris panitia. Salah satu tugas, pendanaan harus tuntas. Cerita senior dan dosen muda —bahwa sekian dosen HI sedang menempuh program PhD di Amerika—menggugah imaginasi saya. Ujungnya, saya berinisiatif berkirim surat ke Pak Yahya, dengan dua penjelasan. Pertama, inisiatif ini jauh dari motif ‘sok-sok’-an, apalagi cari perhatian. Sebagai mahasiswa baru jurusan Hubungan Internasional, kata “internasional” adalah “mantra”. Idealisasinya, dosennya punya reputasi internasional. Jadi, berkirim surat ke Pak Yahya lebih merupakan implikasi kebanggaan. Mengapa hanya Pak Yahya? Karena memang hanya alamat beliau yang saya dapat. Itupun tak lengkap. Yang tertulis hanya: Yahya Muhaimin, Massachusetts Institute of Technology (MIT), Massachusetts, USA!
Sekitar sebulan, tak dinyana, Pak Mashuri Maschab memanggil saya. Awalnya merasa aneh saja. Mahasiswa HI kok dipanggil dosen jurusan ilmu Pemerintahan. Beliau bertanya datar: “Kamu kirim surat ke Pak Yahya, ya? Saya jawab: “benar”, sembari sedikit gemetar; cemas responnya yang akan keluar. Tapi, info yang terlontar justru bikin mata berbinar: “Ini ada titipan Pak Yahya untuk panitia, 150 dolar!” Dari segi ekonomi Pak Yahya memang berkecukupan, bahkan bisa dibilang ‘berada’. Konon, antara lain, karena usaha bisnisnya yang dijalankan istrinya—Bu Choifah. Kala itu, mobil sedan yang dipakainya—Honda Accord warna hijau muda—terkesan ‘wah’ di antara mobil dosen lainnya.
Tapi, kelebihan materi bukanlah penjara untuk peduli. Suatu kali ke rumahnya untuk konsultasi, Pak Yahya berpesan: “Jika ada temanmu yang kesulitan ekonomi, tolong ajak kesini!”. Syahdan, ada teman sejawat tengah kehabisan jatah bulanan, sehingga kesulitan untuk makan. Ketika saya ajak menghadap, sosok Jawa Pak Yahya justru lebih mengemuka. Demi menghindari ketersinggungan, beliau tidak memberi uang kontan. Beliau justru ‘minta tolong’ teman itu menterjemahkan artikel berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia, dengan ‘imbalan upah’ yang lebih dari cukup untuk bertahan hidup. Sebuah cara menolong ala Jawa. Yang pasti, dengan kemampuan bahasa Inggris teman tadi; terjemahannya jelas tak akan berarti jika dibandingkan dengan alumni AFS dan PhD jebolan MIT.
Selain kemanusiaan, pendidikan adalah juga sasaran kepeduliannya. Selain tercermin dari berbagai jabatan yang diemban—mulai Dekan sampai Menteri Pendidikan—upayanya mengembangkan pendidikan tak pernah berhenti. Ketika saya tanya: “Apakah tidak capek pulang-pergi Yogya-Bumiayu hampir setiap minggu?”. Beliau menjawab ringan: “Capek sih pasti. Tapi, bagaimana lagi, saya kan harus mengajar di yayasan saya!?”. Komitmennya ini tetap lestari, meski telah purna jadi Menteri. Berdirinya Universitas Peradaban di kota kelahiran—Bumiayu— dimana beliau menjabat rektor sampai akhir hayat, merupakan salah satu bukti.
Buku
Tahun 1982, setelah penutupan halal-bihalal Fakultas, seseorang bergegas balik ke tempat acara— ruang E di lantai dua FISIPOL—dengan wajah sedikit cemas. Saat menyeruak koridor tengah yang masih penuh kerumunan, beliau berkata lembut: “Maaf, permisi, buku saya ketinggalan”, sambil menunjuk ke bangku depan. Saya spontan ikut menengok di mana buku tersebut teronggok. “Ketemu Pak?” tanya saya setengah basa-basi. “Iya, alhamdulillah!”, jawabnya singkat. Dari ekspresi wajahnya yang nampak lega. Buku tersebut nampaknya penuh makna. Itulah perjumpaan fisik pertama dengan Pak Yahya, yang baru beberapa minggu pulang dari Amerika. Sosok anggun membalut pakulitan-nya yang putih, disertai ekspresi wajah yang bersih. Kombinasi pakaian warna cerah, dengan sepatu keren melengkapi penampilannya yang chic!
Kelekatannya pada buku, juga menyisakan kisah haru. Saat diskusi berdua mengenai materi kuliah Teori Politik Luar Negeri, beliau berkeluh kesah: “Bayu, gimana ya? banyak buku saya dipinjam mahasiswa tapi belum kembali!? Dengan logat jawatimuran yang lugas, saya menyarankan: “Ya ditagih saja, Pak!”. Namun, seperti biasa, sosok Jawa Pak Yahya yang kental dengan pertimbangan ‘rasa’ terungkap dalam responnya: “Iya, tapi saya merasa tidak enak pada mereka!?”. Banyaknya buku yang dipinjam, sebenarnya mencerminkan gairah keilmuan kala itu. Kedatangan beberapa dosen dari studi di mancanegara telah mentransformasi pola kuliah. Mahasiswa yang semula hanya ‘pasif’ mendengarkan dosen bicara, harus berubah ‘aktif’ karena ‘dipaksa’ membaca buku teks asli, dengan tugas bikin paper dan resensi. Hal ini sempat membuat saya—dan mungkin angkatan saya—mengalami academic shock untuk pertama kali.
Kisah sebuah buku juga mencerminkan komitmen Pak Yahya akan kejujuran. Saat mengoreksi proposal skripsi salah satu mahasiswa bimbingannya, beliau bertanya tentang buku yang dikutip: “Buku Snyder yang kamu kutip ini apa warna sampulnya? Dan, kamu dapatkan dimana?”. Dengan sedikit pucat mahasiswa menjawab: “Warna hijau Pak, saya dapatkan di perpustakaan Fakultas”. Hampir tanpa emosi, Pak Yahya menegasi: “Kamu tidak jujur! Buku ini tidak bersampul hijau dan tidak tersedia perpustakaan. Setahu saya, di Yogya, hanya saya yang punya. Jadi, silahkan membuat proposal baru dengan rujukan buku lain!” Sang mahasiswa tertunduk lesu, kemudian pamit dengan wajah sendu. Pendidikan moral kadang memang mahal. Buku karya Richard C. Snyder, H.W. Bruck, dan Burton Sapin (1963)—"Foreign Policy Decision-making: An Approach to the Study of International Politics”—yang empat saya pinjam sebagai salah satu referensi untuk mengajar Teori Politik Luar Negeri memang sampulnya (hard cover) berwarna kuning, bukan hijau seperti klaim sang mahasiswa.
Terdapat kisah buku lain yang menunjukkan karakter Pak Yahya, yang bagi saya, bukan main. Suatu pagi, saat memulai kuliah Perbandingan Politik di S1; beliau cerita tentang apa yang terjadi di perkuliahannya tentang Asia Tenggara di depan mahasiswa S2: “Kemarin sore saya senang karena mendapatkan masukan dari seorang mahasiswa. Analisanya tentang Filipina yang merujuk pada buku alternatif telah memperkaya saya dengan tambahan perspektif!”. Ungkapan yang jujur dan jauh dari kesan basa-basi ini penuh arti. Reputasi dengan pendidikan yang tinggi tak harus dibalut gengsi. Bahkan, bisa berjalan seiring dengan sifat rendah hati.
Detail dalam menulis seiring dengan ketelitiannya dalam analisis. Ketika diskusi berdua di rumahnya, Pak Yahya mengkritik pandangan seorang akademisi terkemuka dengan sebuah metafora: “Saya tak sepakat dengan pendapatnya, karena hanya bersandar pada isu besar tanpa melihat kunci penyebabnya. Lihatlah daun pintu yang besar itu (sambil menunjuk pintu ruang tamu), ia tak akan berfungsi tanpa engsel yang kecil!”. Perhatiannya terhadap masalah ‘kecil’ juga saya temukan ketika meminta saya menjadi asisten-nya. Walaupun, bagi saya, permintaaan beliau untuk membantunya sudah merupakan sesuatu yang luar biasa; beliau masih berkata: “Saya akan meminta penerbitan SK Rektor, supaya pengangkatanmu [sebagai asisten dosen] punya landasan yang kuat!”.
Namun, ketajaman kontemplasinya tak menyakiti obyek analisisnya. Hal ini tak lepas dari pendekatan budaya, yang kadang diselingi dengan humor cerdas-nya. Pada pertengahan 1980-an, dalam suatu seminar di gedung University Club (UC), Bulaksumur; beliau panel bersama dengan KGPH Mangkubumi (sebelum dinobatkan sebagai Hamengku Buwono X). Analisanya yang telak membuat peserta tergelak: “Transformasi budaya adalah niscaya. Dahulu, tradisi budaya Jawa membedakan status priyayi dengan saudagar. Kini, pembedaan itu tak nampak lagi karena tergerus modernisasi. Bahkan, Raja Jawa sekarang juga berniaga!”—sambil melirik KGPH Mangkubumi yang duduk di sebelahnya, yang kala itu menjabat Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) untuk wilayah D.I. Yogyakarta. Studi PhD-nya di Amerika, kemudian, semakin mengasah ketajaman Pak Yahya dalam pendekatan budaya. (bersambung)
· Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan Internasional dan Ketua C-RiSSH, Universitas Jember.Yahya A. Muhaimin (I)