S. Yadi, Pelukis Banyuwangi, Tidak Lagi Selalu Mencari
S. Yadi, pelukis senior dari Banyuwangi, meninggal Kamis pagi di Rumah Sakit Yasmien, Banyuwangi. Jenazahnya siang ini dimakamkan di makam keluarga di Sasak, Banyuwangi. Dia meninggal pada usia 68 tahun karena menderita sakit cukup lama. Bahkan kaki kanannya di atas lutut sempat diamputasi tahun 2016, yang membuat dia shock dan hampir putus asa.
Yadi, nama aslinya Supriyadi Kusnun, adalah pelukis otodidak yang belajar dari bawah, hingga akhirnya menjadi pelukis sukses. Henri Nurcahyo, penulis dari Surabaya, yang sedang mempersiapkan sebuah buku monografi atau profil tentang Yadi berjudul ‘Gaya Pribadi S.Yadi K’ mengatakan, “Sebenarnya buku itu sudah jadi, tinggal naik cetak saja. Nanti akan diterjemahkan ke bahasa Inggris,” kata Henry hari Kamis pagi. Dalam buku ini Agus Dermawan T dan Wayan Sariyoga Parta juga menyertakan tulisan berupa testimoni.
Dalam bukunya, Henry menceritakan bagaimana Yadi berjuang benar-benar dari bawah. Lulus SMEA di Banyuwangi, Yadi berangkat ke Jakarta. “Waktu itu Yadi berpikir, Banyuwangi kota kecil, sulit bagi pelukis untuk berkembang. Maka dia ke Jakarta, ikut pamannya yang jadi pejabat. Di Jakarta dia bekerja apa saja, ya jadi kuli bangunan, kernet bus, dan sebagainya, tetapi setiap malam dia tetap menggambar. Pamannya tahu bakat Yadi, kemudian melalui koleganya Yadi dicarikan kerja sebagai ilustrator sebuah majalah anak-anak. Di majalah itu dia bertemu dengan sketser kondang Ipe Ma’aruf, dua tahun lalu meninggal dunia, yang dengan senang hati menurunkan ilmunya pada Yadi. Lukisan-lukisan Yadi mulai muncul, dan dia mulai berani tampil misalnya ikut Jakarta Fair. Yadi selalu mengunjungi pameran-pameran serta diskusi seni rupa, dan bergaul dengan para seniman di Taman Ismmail Marzuki. Tetapi tetap saja Yadi merasa belum apa-apa karena sulit menemukan koletor atas karya-karyanya,” cerita Henri Nurcahyo.
“Beberapa tahun di Jakarta merasa gagal, sekitar akhir 70an Yadi kembali ke Banyuwangi. Di Banyuwangi dia terus melukis, tapi kini dengan karya yang sudah berbeda, karena mendapatkan pengalaman dan kemampuan baru selama dia di Jakarta. Dia terus melukis, tetapi tetap saja sulit menemukan kolektor. Suatu saat, temannya bernama Narko datang. Kepada Narko Yadi bercerita banyak tentang perjuangannya, dan Narko akhirnya mengajak Yadi untuk ke Bali. Tahun 1980, Yadi menyeberang ke Bali,” cerita Henri.
Enam bulan berada Ubud, akhirnya karya Yadi mulai nembus galeri. Jadilah dia pelukis yang melayani galeri. Tetapi jiwa kesenimanan Yadi tetap gelisah. Dia tetap menyerap ilmu dari pelukis-pelukis terkenal yang ditemuinya di Bali, antara lain Sudarso, Hendra Gunawan,Rudiyat Martadiraja, Raka Swasta, Awiki, Wang Fong dan pelukis-pelukis lain. Bersama mereka, Yadi kemudian terlibat dalam pendirian Sanggar Kamboja yang terkenal itu.
Suatu saat, lanjut Henri, saat melukis, Yadi menumpahkan air di atas kanvas. Tidak sengaja. “Air itu kemudian meleleh ke kanvas, padahal kanvas itu sudah ada gambarnya dengan media akrilik dan pastel. Oleh Yadi, lelehan air itu tidak dibersihkan tetapi justru diikuti dan diteruskan dengan kwasnya. Kanvas itu dipinggiirkan, dianggap rusak dan tidak dilanjutkan. Tetapi ketika suatu hari Narko datang dan melihat kanvas yang dianggap rusak itu, dia terkejut. “Lho, ini bagus sekali. Bagus sekali. Teruskan saja teknik ini, kata Narko. Maka sejak itu, Yadi menemukan teknik baru yang akhirnya membuat dia terkenal dan karya-karyanya jadi booming. Karya Yadi dengan elehan air itu juga menembus balai lelang Shoteby’s dan Christie’s,” kata Henry.
Karya-karya Yadi yang punya ciri khas itu akhirnya melanglang buana ke Eropa. “Tahun 2000, sebanyak 60 karya Yadi dipamerkan di Edwin Galery, ludes. Tahun 2002, dia pameran tunggal lagi di TIM. Jadi selama jadi pelukis, hanya dua kali dia pameran tunggal, tahun 2000 dan 2002. Yadi terus sukses, tapi ketika tahun 2016 kakinya diamputasi akibat diabetesnya, dia seperti kehilangan semangat. Apalagi ketika salah satu dari empat anaknya meningal dunia akibat kecelakaan, Yadi seperti pasrah. Semangatnya yang berkobar seperti hilang, sementara penyakit yang dideritanya juga makin bertumpuk,” cerita Henri Nurcahyo.
Hari ini, Kamis 12 September 2024 , Supriyadi Kusnun meninggal setelah 4 hari dirawat di RS Yasmien. Perjuangan Yadi telah berakhir, baik perjuangannya untuk menemukan aliran air pada karya-karyanya, maupun perjuangan untuk mengatasi penyakitnya. Dia meninggalkan istri bernama Khotimah, Yadi akan husnul khotimah. Bagi para pelukis Banyuwangi, Yadi adalah idola, mendampingi pelukis Banyuwangi lainnya yang telah tiada, Moses Misdy. Sebagaimana Moses, Yadi juga dianggap sebagai pioner dalam menaklukkkan Bali. Rumah Yadi yang berada di Lodtunduh, Ubud, dulu selalu terbuka untuk para pelukis Banyuwangi. Selamat jalan Yadi, apa yang kau cari telah kau dapatkan.