Wujudkan Toleransi di Sekolah, Siswa Jadi Agen Perubahan
Para siswa dapat menjadi agen toleransi dan perubahan untuk mewujudkan toleransi di sekolah. Riset global menunjukkan bahwa siswa memiliki pengaruh yang besar dalam menghentikan kekerasan, khususnya dalam konteks kekerasan antar siswa di sekolah.
Para siswa dapat memberikan pengaruh lebih pada iklim sekolah dan norma sosial. Dan salah satu bagian yang harus dikuatkan untuk pengembangan budaya toleransi adalah adanya nir-kekerasan.
Hal ini dikemukakan oleh Hernik Farisia dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya dalam acara Pembentukan Satgas Toleransi dan Pelatihan Penyusunan Program Kegiatan Pengembangan Toleransi di Sekolah. Acara tersebut digelar di salah satu Hotel di Sidoarjo, Rabu 31 Januari 2024.
Acara ini diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Sidoarjo, dan didukung oleh Forum Wartawan Sidoarjo (Forwas) Institute.
Sebanyak 50 SMP Negeri dan Swasta se-kabupaten Sidoarjo dilibatkan, di mana masing-masing sekolah diwakili oleh dua siswa-siswi dengan satu orang guru pendamping.
Dituturkan oleh Hernik, bahwa dengan mengikuti acara ini diharapkan peserta memiliki persamaan pemahaman tentang toleransi. Juga dapat mengidentifikasi hal-hal yang masuk indikator perundungan. “Serta memiliki persamaan pemahaman terkait upaya pencegahan intoleransi dan perundungan di sekolah,” ucap Hernik, Rabu 31 Januari 2024.
Menurut Hernik, siswa SMP masih tergolong kategori anak-anak karena masih berusia di bawah 18 tahun, sehingga diperlukan perlindungan anak dalam pengembangan budaya toleran di sekolah.
“Anak memiliki hak untuk dilindungi dan hak-haknya dilindungi negara. Setiap bentuk kekerasan yang dialami anak akan berdampak terhadap pertumbuhannya. Namun dalam saat yang sama setiap orang, termasuk anak-anak, juga memiliki potensi melakukan kekerasan,” imbuhnya.
Sementara itu, Henri Nurcahyo, ketua Komunitas BrangWetan dan sekaligus Project Manager Cinta Budaya Cinta Tanah Air (CBCTA) #3 menambahkan, “target acara ini adalah siswa dapat menyusun program pencegahan dan mengatasi masalah intoleransi dan perundungan di sekolah masing-masing dengan cara membentuk Satgas Toleransi.” papar Henri.
Program CBCTA ini sudah berlangsung sejak tahun 2020 dan telah menghasilkan 3 SMP Toleransi dan 1 SMA serta 1 MA. Kali ini, pada akhir program CBCTA #3 ini akan dideklarasikan 50 SMP Toleransi di Sidoarjo yang merupakan Sekolah Toleransi terbanyak di Indonesia.
Hal ini disambut baik oleh Disdikbud Kabupaten Sidoarjo, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Dinas Dikbud, Dr Tirto Adi, bahwa program dari BrangWetan ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Dengan demikian maka kabupaten Sidoarjo menjadi model Sekolah Toleransi.
Diharapkan model Sekolah Toleransi ini dapat direplikasi dan syukur dapat dijadikan model oleh Kemendikbud Ristek. Dalam sambutan pembukaan acara Tirto berharap, “para siswa yang terpilih menjadi peserta acara ini dapat menjadi motor penggerak pengembangan toleransi di sekolahnya masing-masing.” tutup Tirto.