Wisata Kota Lama Baru Diresmikan, Jalan Mliwis Luput dari Radar Pengamanan
Kawasan Wisata Kota Lama Surabaya akhir-akhir ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Jalan Rajawali dan sekitarnya menjadi tumpuan utama wisata ini sejak diresmikan oleh Walikota Surabaya Eri Cahyadi, 3 Juli 2024 lalu.
Namun di balik gemerlap riuhnya Wisata Kota Lama, terdapat satu kawasan di zona Eropa, yakni Jalan Mliwis, yang justru terancam karena polusi suara dan keamanan.
Ketua RT setempat, Ricky menjelaskan, saat malam hari tiba, puluhan anak muda anggota komunitas motor memenuhi jalan tersebut. Mereka biasa datang mulai pukul 23.00 WIB tengah malam hingga pukul 03.00 WIB dinihari.
Ia mewakili warga setempat meminta kepada petugas patroli, baik yang di bawah naungan Pemerintah Kota Surabaya maupun pihak kepolisian untuk dapat menyisir dan menjaga seluruh tempat di Kawasan Kota Lama, khususnya pada jam-jam rawan.
"Tidak cukup ada petugas patroli. Tapi perlu juga pos bagi petugas yang bertugas di tempat ini. Petugas jangan saja ngepos di Taman Sejarah dan Jalan Rajawali. Tapi juga di Jalan Mliwis karena jalan ini sudah menjadi pangkalan geng motor," ungkapnya, Selasa 16 Juli 2024.
Suasana yang terbangun di Jalan Mliwis, lanjut Ricky, sering terganggu pula oleh kendaraan bermotor modern yang merusak pemandangan klasik dan membahayakan para pejalan kaki.
Jalan Mliwis adalah jalan sempit yang diapit tembok bergaya rustic dan gedung-gedung antik dan cocok untuk masyarakat pejalan kaki yang ingin menikmati eksotika tanpa gangguan lalu lintas kendaraan bermotor.
"Yang membuat kami resah dan membuat warga takut adalah komunitas-komunitas itu seringkali 'ngetes' knalpot brong milik mereka dari ujung ke ujung di Jalan Mliwis," jelasnya.
Merespons fenomena tersebut, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya A. Hermas Thony mengatakan, Pemerintah Kota Surabaya sudah sepatutnya menaruh perhatian khusus terhadap seluruh titik di Kawasan Wisata Kota Lama, utamanya saat jam-jam kritis seperti saat tengah malam hingga dinihari.
Menurutnya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan para anggota komunitas motor tersebut agar nyali mereka tumbuh ketika melakukan hal-hal yang mereka suka, yang biasanya bertentangan dengan norma-norma di masyarakat.
"Seperti membunyikan kendaraan dengan keras dan menggaung di gang-gang sempit di malam hari, mereka puas dengan suara yang keluar dari kendaraannya, tapi ada pihak yang terganggu. Bisa dikendalikan dengan budaya tepo seliro," tuturnya.
Thony menyebut, solusi yang bisa diterapkan oleh Pemkot Surabaya dalam mengatasi kejadian tersebut adalah dengan memberikan edukasi. Bagaimana generasi muda dapat menikmati hasil pembangunan dengan etika saling menjaga.
"Untuk tindakan represifnya, menurut saya patroli saja tidak cukup, kalau bisa aktifkan penjagaan dan kamera pengawas, sekaligus bisa bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk menerapkan e-tilang bagi mereka yang melanggar peraturan," pungkasnya.
Advertisement