Tahun Baru Imlek, Wihara Dharma Bakti Petak Sembilan Glodok Tutup
Pandemi Covid-19 berdampak pada perayaan Tahun Baru China, Imlek tahun ini. Suasana Petak Sembilan di kawasan Glodok, Jakarta Barat, menjelang Imlek yang selalu ramai, kini tampak sepi. Larangan melakukan kegiatan yang mengundang kerumunan massa bertujuan untuk mencegah sebaran virus corona.
Di Jakarta sendiri memberlakukan pengetatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid tiga hingga 22 Februari mendatang. Pengetatan PSBB ini mengikuti pengaturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro dari pemerintah pusat untuk daerah Jawa-Bali.
Mentaati aturan tersebut, pengurus Yayasan Wihara Dharma Bakti Petak Sembilan telah memasang pengumuman, "Tahun Baru Imlek 2572 Kongzili, Wihara Dharma Bakti tidak mengadakan sembahyangan".
Wihara Dharma Bakti merupkan Wihara terbesar di kawasan Petak Sembilan Glodok. Tempat ini selalu dipadati komunitas Tionghoa yang akan mengucapakan syukur dan memohon limpahan rezeki menurut keyakinan mereka.
Tahun ini sesuai penanggalan China termasuk Shio Kerbau. Dalam tradisi China,
Shio Kerbau terdiri dari lima elemen yaitu kayu, air, api, tanah, dan logam dengan karakter yang berbeda.
Selain sebagai tempat sembahyangan, kawasan Petak Sembilan juga menjadi destinasi wisata kuliner khusus perayaan Imlek. "Kalau Sabtu atau Minggu jangan harap bisa bergerak, karena kondisinya ramai," kata Kurniawan, pemilik Toko Sukaria di Petak Sembilan.
Tapi, itu adalah gambaran Petak Sembilan sebelum pandemi Covid-19. Kini, pecinan di Petak Sembila terlihat lengang. Di toko milik Andri yang menjual peralatan ibadah, terlihat lilin-lilin berdiri membisu.
Tokonya cukup luas tapi minim orang belanja. Banyak barang-barang bernuansa merah digantung, ada pula yang disusun rapi di rak-rak. Andri berdiri di depan meja kasir. Ia hanya bisa melihat para pembeli di tokonya hanya bisa dihitung dengan jari. Padahal perayaan Imlek sudah di depan mata.
Toko Sukaria didirikan oleh ayah Andri pada 1946. Namun, operasional toko dikendalikan Andri pada 1992 hingga sekarang. Dari sejak berdiri sampai 2018, toko ini tak pernah sepi pembeli, apalagi menjelang perayaan Imlek. Cuan (uang) yang ia dapat bisa lebih dari Rp100 juta per hari.
Tapi, kondisi mulai menurun pada 2019. Puncaknya, pandemi menghantam pada tahun lalu. Andri hanya bisa mengelus dada akibat merosotnya omset. Ia sempat menghitung pendapatannya turun 50-70 persen.
"Ada 70 persen saya rasa. Omset saya separuhnya hilang. Kalau Sabtu dan Minggu itu kan bisa sampai Rp100 jutaan sebelum pandemi. Kalau sekarang hanya Rp40-50 juta," keluhnya.
Saat PSBB awal, tokonya hanya diperbolehkan membuka pintu selebar satu meter. Ia hanya bisa duduk di depan menunggu pelanggan. Mendapatkan lima pembeli saja sudah membuatnya bersyukur.
Selama pandemi pengunjung Petak Sembilan, menurut Andri, cenderung sepi terutama setelah diberlakukannya Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Orang-orang yang datang ke Petak Sembilan untuk wisata atau beribadah terbilang jarang.
"Pas PSBB itu udah kayak mau pingsan kita. Cuma boleh buka satu meter pintunya. Barang gak boleh dipajang. Kita duduk di depan ngelayanin. Omset bisa Rp1 jutaan aja saya udah bersyukur," jelas Andri dengan raut wajah sedih.
Kini, kesedihan dia bertambah lantaran perayaan Imlek tak bisa digelar di Wihara demi mencegah kerumunan penyebaran virus Corona. Tentu saja tokonya bakalan ikut sepi. Salah satu barang yang menyumbang pendapatan besar untuknya adalah lilin setinggi 1.000 kati. Sebab ketika Imlek, lilin ini wajib disediakan di Wihara.
Toko milik Andri menjual beberapa jenis lilin dengan ukuran yang berbeda. Ia menjelaskan ada yang berukuraan 20 kati, 100 kati, 500 kati dan 1.000 kati. Lilin 1.000 kati biasanya dibandrol dengan harga Rp17 juta-18 juta per pasang.
Kini, lilin-lilin besar itu cuma bisa menjadi saksi bisu betapa toko Andri dan Petak Sembilan terhempas aturan pandemi.
Akibat pandemi, perayaan Imlek dirayakan di rumah masing-masing. Lilin yang paling banyak dibeli pun hanya lilin 20 kati. "Paling yang kecil-kecil yang 20 kati. Itu untuk rumahan karena vihara udah ga pake. Jadi yang laku lilin kecil aja untuk sembahyang di rumah," jelas Andri.
Selain membakar lilin, warga keturunan Tionghoa juga punya tradisi pelepasan burung pipit atau burung gereja. Menurut Handoko, salah seorang pengurus Wihara Dharma Bakti, pelepasan burung pipit saat perayaan Imlek memiliki arti tersendiri.
“Melepas burung pipit memiliki arti tersendiri dalam kepercayaan kami. Sebagai bentuk memohon pengampunan kepada yang kuasa," katanya, saat ditemui Ngopibareng.id, Kamis 11 Februari 2021.
Ia menyebut pelepasan burung pipit biasanya dilakukan setelah sembahyang. Berdasarkan kisah yang ditulis dalam kitab Lie zi, tradisi membeli dan melepaskan binatang dikenal dengan sebutan Fang Sheng.
“Melepas hewan ke alam liar bisa memberikan pengaruh kepada peruntungan dan kehidupan. Harus dilakukan dengan sikap belas kasih untuk menjaga keseimbangan alam,” kata Handoko.
Burung pipit yang dilepaskan disediakan oleh pedagang yang berjualan di pinggir jalan di luar Wihara. Harga yang ditawarkan penjual burung pipit per ekor dijual mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 2.000.
Priono, Pedagang buru pipit (Jawa Peking) di depan Wihara Dharma Bakti, menyampaikan kecemasannya, karena burungnya belum ada yang laku. "Sebelum ada corona saya bisa menjual 5.000 sampai 10.000 burung. Sekarang sudah memasuki tahun baru Imlek, belum ada yang laku. Pada takut corona tidak ada yang ke Klenteng," kata Priono.
Pria 60 tahun ini menyebutkan burung pipit ia datangkan dari Mojoketo Jawa Timur. "Sekarang harganya Rp 1.500 per ekor, tahun lalu per ekornya cuma Rp 1.000," kata Priono.
Biasanya untuk tradisi sembahyangan, tiap orang bisa membeli satu kotak berisi 100-150 ekor. "Burung-burung itu dilepas selesai sembahyangan," tutur Priono.
Selama 11 tahun jualan burung di Kelenteng, baru kali ini dagangan Priono tidak laku gara-gara corona.
Advertisement