Welkam Long Port Moresby
Catatan dari negeri tetangga
Oleh : Ichwan Arifin
Setelah 6 jam lebih terbang dari Changi, Singapore, akhirnya "Air Nuigini" mendarat di Jackson International Airport, Port Moresby, Papua New Guinea (PNG). Jadwal semula, pesawat mendarat sekitar jam 5 pagi. Namun karena “delayed”, akhirnya baru tiba sekitar jam 11 siang waktu setempat.
Nama bandara diambil dari nama John F Jackson, penerbang pesawat tempur Australia yang ditembak jatuh pasukan Jepang di PNG saat Perang Dunia II km. Sedangkan Port Moresby dari nama Captain John Moresby, komandan kapal HMS Basilisk, yang berlayar ke PNG pada 1873.
Jangan membayangkan Jackson International Airport seperti Soekarno-Hatta, apalagi Changi. Gerbang Utama internasional PNG ini sangat kecil dan “sederhana”. Operator ATC nampaknya tidak terlalu sibuk karena “runaway” juga tidak dipadati pesawat lalu-lalang seperti terminal internasional di banyak negara.
Tidak banyak penumpang saat itu. Jadi antrian di imigrasi relatif lancar. Sebagian besar warga setempat. Ada sebagian warga asing, kebanyakan dari Philipina. Di dalam bandara, hanya terdapat 2 atau 3 gerai kopi atau restoran. Itu pun juga kecil-kecil dengan tempat duduk terbatas. Tidak ada gerai waralaba internasional. Tidak banyak pilihan untuk sarapan.
Harga segelas kopi kecil sekitar 15 atau 20 kina (60 sampai 80an ribu rupiah). Tak jauh beda dengan secangkir kopi di Starbucks, Coffee Bean dan gerai kopi sejenisnya. Namun, rasa kopinya jauh berbeda.
Keluar dari bandara disambut dengan pemandangan alami. Sinar matahari yang terik menyelimuti perbukitan di sekitar bandara. Jackson International Airport terletak di lembah, diapit beberapa bukit. Suhu udara cukup panas. Tak jauh beda dengan Jakarta atau Surabaya.
Inilah pertamakali saya datang ke PNG. Sebelum berangkat, beragam informasi tentang negara ini sudah didapat. Kebanyakan kurang bagus. Khususnya pada aspek keamanan. Banyak rekomendasi tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau sebaiknya dihindari.
Tingkat kriminalitas tinggi dalam beragam bentuk misalnya; pembunuhan, penjambretan dan sejenisnya. “Tribal fight” di tempat umum acapkali terjadi. Kerap memakan korban. Disisi lain, keberadaan aparat kepolisian (PNG Royal Constabulary) juga terbatas.
Berita kriminal selalu menghiasi halaman utama koran nasional “Post Courier”. Membuat suasana hati tidak nyaman. Namun setelah dijalani beberapa hari, kehidupan di sini terasa berjalan seperti biasa. Kriminalitas juga terjadi di banyak tempat di belahan bumi ini. Jadi, selama mengikuti panduan dan tidak “neko-neko”, insya allah aman-aman saja.
Jalan-jalan utama di Port Moresby sepi, tidak dipadati mobil. Lampu penerangan jalan hanya ada di sebagian titik tertentu. Jadi sebagian ruas jalan gelap atau temaram.
Angkutan umum ada bus dan taksi. Kondisinya bus mirip metromini jadul. Cat di badan bus banyak yang mengelupas. Mengandalkan pendingin udara dari sirkulasi kaca jendela karena tanpa AC. Taksi dicat warna-warni “ngejreng”. Entah pakai argometer atau tidak. Yang menarik, tidak terlihat sepeda motor berlalu lalang di jalan. Nampaknya dealer sepeda motor juga tidak ada.
Meski berstatus sebagai ibu kota negara, namun Port Moresby tidak sepadat ibu kota negara-negara lainnya. Sepandang mata memandang, masih banyak area kosong. Tak seperti Jakarta yang setiap jengkal tanahnya berisi bangunan dan penuh dengan lautan manusia.
Tidak banyak tempat yang bisa didatangi. “Shopping Mall” hanya ada satu di Port Moresby, namanya Vision City. Itu juga bukan seperti Grand Indonesia, Plaza Indonesia, Senayan City, Plaza Senayan di Jakarta atau Tunjungan Plaza, Galaxy Mall di Surabaya. Kondisinya lebih mirip pusat pertokoan. Tersedia beragam gerai fashion, elektronik, supermarket, “food court”. Ada juga bioskop, mungkin satu-satunya di Port Moresby.
Biaya hidup di kota ini cukup tinggi. Harga barang relatif mahal. Apalagi jika dibandingkan dengan di Indonesia. Mahal dalam arti perbandingan antara harga dengan kualitas. Harga pakaian misalnya, dengan harga sama, jika belanja di Indonesia sudah bisa beli baju merk ternama dengan kualitas yang lebih bagus. Selisih kurs juga berpengaruh. PGK atau Kina merupakan mata uang PNG. Satu Kina setara dengan Rp 4.200 -4.300.
Begitu pula harga makanan. Sekali makan di rumah makan yang sederhana, misalnya menu kare ayam dan teh tarik, harga sekitar 35 kina atau 147 ribu Rupiah. Tentu akan jauh lebih mahal, jika kita makan di restoran yang lebih “fancy” atau di hotel. Meski tidak banyak tapi ada beberapa hotel bintang lima seperti Hilton atau Stanley.
Ada beberapa “grocery store”, menjual bahan-bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga. Ada dua tempat yang menjual barang-barang dari Indonesia, SVS dan Papindo. Lumayan bisa beli bakso mentah, mie instan, beragam kopi, dan barang lain rasa Indonesia. Lokasinya juga tidak jauh dari pusat kota. Di PNG, alamat tempat atau kawasan menggunakan istilah “mile”. Diukur dari pusat kota (down town) sebagai mile nol. Area atau kawasan selanjutnya disebut mile satu, mile dua, mile tiga dan seterusnya. Semakin jauh dari pusat kota, semakin besar mile nya.
Dalam komunikasi sehari-hari, terdapat tiga bahasa yang banyak digunakan warga setempat; Inggris, Tok Pisin dan Motu. Di luar itu, ada lebih dari 700 bahasa lokal yang berbeda satu dengan lainnya. Bahasa Inggris digunakan untuk keperluan formal dan urusan pemerintahan. Sebagian besar warga juga menggunakannya dalam bahasa sehari-hari.
Tok Pisin menyerupai “broken English”. Dipakai sejak lama sebagai “lingua franca”. Nampaknya merupakan bentuk “local wisdom” masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan orang asing, sekaligus sebagai jembatan komunikasi antara beragam clan dan tribal yang kemudian membentuk PNG sebagai negara bangsa. Sedangkan Motu dipakai di kawasan tertentu saja.
Tok Pisin, dalam beberapa kata memiliki pengucapan dan arti yang sama, namun penulisan berbeda. Misalnya, “welcome” dalam Bahasa Inggris. Tok Pisin menulisnya “Welkam.”. Kedua kata itu punya arti sama, yaitu; selamat datang. Rumah dalam Bahasa Inggris “House”, penutur Tok Pisin menulisnya “Haus”. Namun banyak kata yang berbeda jauh seperti “lukimyu” artinya “see you later” atau “em tasol” dalam Bahasa Inggris, “that’s all”.
Ini awal kisah dari negeri tetangga, kerabat dekat atau “Wantok”. Negeri di ujung timur matahari terbit. Menempati separuh dari Pulau Papua, Welkam Long Port Moresby!
*) Penulis : Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Penulis opini, cerpen dan kisah perjalanan. Tinggal sementara di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG).