Welcoming Ramadhan ! Ustadz Shamsi Ali: Waspadai Keberagamaan yang Rusak
"Relijiositas pecah seperti inilah yang menumbuhkan personalitas yang juga terbelah (split personality). Sebuah kepribadian yang tidak punya posisi jelas. Di suatu waktu atau tempat sangat beragama." - Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.
Kedatangan bulan suci Ramadhan, disambut bahagian oleh kaum Muslimin di seluruh dunia. Bagaimana perasaan ustadz Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation? Berikut untuk ngopibareng.id, Imam Masjid di New York, Amerika Serikat menyajikan khusus tulisan “Welcoming Ramadhan!”.
Berikut bagian pertama dari empat tulisan:
Melakukan ibadah dalam Islam, kemungkinan ada beberapa dorongan atau motivasinya. Ada yang karena mengikut kepada kebiasaan, baik kebiasaan orang tua atau juga karena itulah kebiasaan masyarakat di mana dia hidup.
Boleh juga karena memang sebuah kesadaran jika hal itu merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Atau juga karena didorong oleh kesadaran bahwa amalan agama itu adalah sebuah kebutuhan dalam hidupnya.
Dari semua motivasi yang ada dalam melaksanakan perintah agama itu, ada satu hal yang paling mendasar dan sesungguhnya menjadi motivasi tertinggi. Ketika amalan ibadah itu telah dilihat sebagai sebuah kenikmatan. Bahwa ibadah-ibadah yang ada dalam agama ini bukan sekedar kewajiban, apalagi tradisi semata. Bahkan bukan juga sekedar sebuah kebutuhan.
Tapi yang terpenting karena sebuah kenikmatan yang harus disyukuri. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika ditanya oleh isteri tercinta perihal ibadah-ibadahnya. “Tidakkah seharusnya saya menjadi hamba yang bersyukur?”.
Oleh karena itu menyambut bulan Ramadhan ini harusnya dibangun kesadaran “syukur”. Bahwa Ramadhan akan tiba bukan sekedar karena kita yang membutuhkan. Tapi karena sebuah kenikmatan besar dari Pencipta langit dan bumi yang harus disyukuri.
Broken religiosity
Menyambut bulan Ramadhan ini ada banyak hal yang bisa menghambat terbangunnya ibadah yang bernilai positif. Salah satu yang terpenting adalah apa yang saya sebut sebagai “broken religiosity” atau keberagamaan yang pecah atau rusak.
Keberagamaan yang pecah itu adalah ketika agama dipecah menjadi keping-keping yang tiada bersentuhan. Agama dibagi-bagi ke dalam ruang-ruang (compartment) yang berbeda. Ada bahagian yang dianggap agama. Ada pula yang dianggap urusan diri sendiri.
Relijiositas pecah seperti inilah yang menumbuhkan personalitas yang juga terbelah (split personality). Sebuah kepribadian yang tidak punya posisi jelas. Di suatu waktu atau tempat sangat beragama. Tiba-tiba di waktu atau tempat lain menampakkan kepribadian yang kontra agama.
Di depan Multazam di masjidil haram dia teseduh-seduh bercucuran airmata karena merasa dekat dengan Tuhan. Atau menangis karena meminta sesuatu kepadaNya. Bahkan tidak mustahil memang menangis meminta ampunanNya.
Hal itu tidaklah salah. Yang menjadi masalah kemudian adalah cara beragama yang terpecah atau terbelah. Sebuah paham agama yang terbagi-bagi. Mekah atau masjidil haram adalah rumah Tuhan dan karenanya harus jujur. Tapi di negara atau kantor sendiri Tuhan tidak lagi punya otoritas.
Perilaku agama seperti inilah yang tidak memberikan dampak positif dalam kehidupan. Berkali-kali haji, korupsi semakin jadi.
Karena haji baginya adalah sekedar penghapus dosa masa lalu. Gagal memahami bahwa haji mabrur seharusnya menjadi energi perubahan ke arah yang lebih baik dalam hidupnya.
Karakter beragama seperti inilah yang diancam dalam Al-Quran dengan “kehinaan dunia” (khizyun fil-hayatid dunya) dan “azab pedih” (adzabun syadiid) di akhirat kelak.
Puasa yang sia-sia adalah puasa yang berkarakter seperti ini. Puasa yang tidak disadari bahwa semua aspek amalan ritual itu punya konsekswensi sosial. Sehingga Rasul mengingatkan: “boleh jadi ada orang yang berpuasa tapi yang didapatkan sekedar lapar dan dahaga semata”. (bersambung)