Webinar UINSA, Islam Pererat Penduduk China dan Indonesia
Islam dianggap mampu mempererat hubungan antara penduduk China dan Indonesia. Hal itu muncul dalam webinar internasional yang berlangsung untuk memperingati 70 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan China, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
Dalam kolaborasi antara Pusat Kajian Indonesia-Tiongkok FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia itu, juga ditampilkan hasil riset kolaborasi kedua belah pihak yang telah rampung November 2020 lalu.
Tiga tokoh dihadirkan untuk menanggapi hasil riset tersebut, dalam webinar yang berlangsung lewat Zoom. Mereka menyampaikan gagasannya tentang potensi Islam untuk memperat hubungan antara penduduk dua negara.
Yenny Wahid, direktur The WAHID Institute sebagai penanggap pertama mengaku optimis bahwa Islam dapat menjadi sarana terciptanya relasi antarmasyarakat Indonesia dan Tiongkok di masa mendatang.
Menurutnya banyak bidang kerja sama yang bisa dieksplor oleh kedua negara. Salah satunya adalah pengembangan industri halal. Di tengah meningkatnya tren global akan pariwisata halal, Indonesia dan China dapat bekerjasama membangun industri halal yang saling menguntungkan.
Ia juga menambahkan jika pluralisme dan toleransi beragama di Indonesia adalah pengetahuan yang patut dibagi kepada China. “Pengalaman menjalankan tradisi toleransi antarumat beragama adalah nilai unggul bangsa Indonesia,” katanya, dalam siaran pers yang diterima Ngopibareng.id.
Sedangkan Vice Chairman China Islamic Association, Ustaz Jin Rubinjika, mengatakan jika hubungan Indonesia dan China dapat dilacak melalui budaya Islam yang ada di kedua negara. Ia pun mencontohkan adanya masjid Chenghoo di Surabaya. Masjid itu menjadi bukti bahwa Islam diterima di bangsa manapun. Ia menambahkan jika Presiden Jokowi pernah mengunjungi Masjid Niujie di Beijing pada tahun 2017.
Ustaz Jin Rubinjika juga meminta agar masyarakat kedua bangsa bersatu dalam perbedaan. Menurutnya Dua negera memiliki sejarah yang mirip. Keduanya sama-sama menjadi negara tempat penyebaran Islam. Saat ini pun keduanya adalah negara berkembang. Maka, upaya yang harus ditempuh untuk mempererat relasi adalah dengan saling berkunjung, saling mengenal, dan saling belajar satu sama lain. “Agar masyarakat saling berbagi pengetahuan, khususnya di bidang keIslaman, seperti pendidikan Islam dan manajemen masjid,” katanya.
Selanjutnya, Profesor Xu Liping, akademisi senior dari Chinese Academy of Social Sciences menambahkan jika relasi antarmasyarakat Indonesia dan China berawal sejak zaman kerajaan. Bahkan menurut kepala Pusat Studi Asia Tenggara ini, para Sunan Wali Songo pun dikenal memiliki nama berbahasa Mandarin.
Mengutip istilah “tak kenal maka tak sayang”, ia memaparkan bahwa untuk mengenal bangsa Indonesia maka harus pula mengenal Islam. “Untuk membangun people to people connectivity yang mendalam, kedua bangsa untuk bekerjasama menghadapi persoalan bersama, misal penyelesaian pandemi Covid-19, pengangguran, ekstrimisme, dengan cara berdialog dan bertukar pengalaman sehingga tercipta pemahaman yang sama,” katanya.
Di akhir webinar, Siswo Pramono, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri RI, menyampaikan dukungan dan optimismenya terhadap relasi Indonesia dan China yang lebih erat di masa mendatang.
Baginya, kedua bangsa memiliki potensi yang luar biasa bila bekerjasama tidak hanya di level formal kenegaraan tetapi juga di level masyarakat. Menurutnya, Islam dapat menjadi jembatan masyarakat kedua negara negara. Keterlibatan aktif masyarakat dapat mendorong proses terciptanya hubungan yang harmonis kedua negara.
Ia juga menyebut jika masukan dari ketiga panelis akan menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri RI, dalam pengambilan kebijakan di masa-masa mendatang.
Sementara, webinar yang berlangsung Jumat 22 Januari 2021 itu dibuka oleh Profesor Masdar Hilmy selaku Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, dilanjut dengan sambutan oleh Djauhari Oratmangun selaku Duta Besar Republik Indonesia untuk China dan Mongolia, serta sambutan dari Xiao Qian selaku Duta Besar China untuk Republik Indonesia yang diwakili oleh Qiu Xin Li.