Wayang Toa
Wayang hidup kembali. Bukan oleh para dalang. Tapi dipicu Ustadz Khalid Basalamah. Bahkan, diskursus wayang telah melahirkan tingkah polah yang meresahkan.
Ini sama dengan meresahkannya kebisingan Toa untuk melengkingkan adzan, panggilan salat di masjid. Bukan azannya lho! Jangan salah paham.
Tapi suara dan durasi yang mengiringinya. Yang direspons banyak polah tingkah sebagian umat. Sehingga jadi viral dan jadi isu nasional.
Keresahan nasional tentang wayang dipicu ceramah Ustadz Khalid Basalamah. Polemik soal Toa masjid bersumber dari Surat Edaran Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dunia pewayangan resah karena Ustad Basalamah mengharamkan dan bilang perlu dimusnahkan. Sedang Gus Yaqut ingin menata Toa masjid agar tidak berlebihan penggunaannya.
Istilah tingkah polah ini bukan genuin saya. Ini saya kutip dari antropolog Islam Muhammad Khodafi. Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. Yang juga takmir masjid di kampungnya.
Ia bilang, jika saat ini, kelompok mayoritas sudah kebanyakan tingkah. Sedangkan kelompok minoritas kebanyakan polah. Karena itu, muncul tingkah polah.
Pernyataan Khodafi yang singkat penuh makna itu diungkap di akun media sosialnya. Tak spesifik menyebut terkait apa. Tapi bisa diduga terkait polemik wayang.
Menjadi tingkah polah karena Ustad Basalamah dibalas dengan pegelaran wayang yang diinisiasi Gus Miftah. Yang menggambarkan wayang seperti Basalamah dihajar habis di layar.
Kegaduhan yang diciptakan Ustad Basalamah akhirnya dibalas dengan kegaduhan baru. Jadilah, wayang yang dulu menjadi alat dakwah Sunan Kalijogo ini melahirkan tingkah polah di umat.
Rupanya memang apa saja yang menyangkut ke-Islam-an sedang gampang melahirkan tingkah polah. Khilafiyah alias perbedaan yang tak berkesudahan. Lingkup masalahnya saja yang berubah-ubah.
Dulu, khilafiyah soal cara beribadah menjadi tingkah polah antara NU dan Muhammadiyah. Tapi perbedaan soal khilafiyah itu makin lama makin hilang. Setelah dua ormas Islam pilar Indonesia ini makin matang.
Dulu soal qunut atau tidak qunut saja jadi perdebatan. Juga soal jumlah rakaat salat Taraweh. Demikian pula soal cara penentuan awal puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.
Kedua umat itu makin lama makin menghayati bahwa perbedaan adalah rahmat. Sehingga, kini khilafiyah di antara kedua umat Ormas Islam terbesar ini dianggapnya sebagai hal biasa.
Lantas muncul kelompok baru yang para ustadznya sangat aktif di media sosial. Mengajarkan agama yang sangat kaku dan tekstual. Yang lebih eksklusif sifatnya. Yang sering menganggap di luar mereka kafir dan sesat.
Kelompok ini beririsan dengan kelompok Islam politik. Yang bermimpi menciptakan kepemimpinan Islam secara global. Yang berlawanan dengan konsensus kebangsaan Indonesia yang majemuk.
Ini yang membuat ruang perbedaannya makin luas. Bagi NU dan Muhammadiyah persoalan Islam dalam kerangka politik kebangsaan sudah final. Sedangkan kelompok baru ini masih sering mempersoalkannya.
Sebetulnya, kegaduhan soal wayang bukan hanya masalah haram dan halal. Ini lebih ke soal ancaman terhadap konsensus kebangsaan yang telah dianggap final bagi mayoritas bangsa Indonesia.
Salah jika melihatnya sebagai persoalan agama semata. Ini soal benturan kebudayaan. Antara paham ke-Islam-an yang eksklusif dengan budaya Jawa. Paham yang mengharamkan wayang, produk budaya Jawa.
Tentu saja fatwa haram itu seperti mencerabut akar budaya. Sehingga timbul kegalauan. Apalagi ini seni tradisi yang menjadi hiburan rakyat bawah. Orang-orang yang tak bersuara.
Penataan toa-pun akhirnya merembet menjadi isu politik. Sebenarnya, ide penataan toa masjid ini sudah sangat lama. Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla pernah melontarkannya.
Cucu pendiri NU KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur malah sudah pernah menulis soal ini tahun 1980-an. Ketua Umum PBNU yang pernah menjadi Presiden RI ini juga menggelisahkan azan dengan sound sistem. Dia sebut azan kaset.
Departemen Agama melalui Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji pernah mengeluarkan SE yang sama. Pada tahun 1978. Yang isinya mengatur penggunaan pengeras suara di masjid.
Baru setelah Menteri Agama Yaqut mengeluarkan SE, riuh keruh mencuat. Bahkan, ada yang melaporkannya sebagai penistaan agama. Gus Yaqut yang juga Ketum Ansor menjadi sansak hidup di media sosial. Dengan segala pelintiran informasi yang liar.
Malah ada yang mendesak presiden Joko Widodo untuk memecat menteri agama. Respons terhadap SE Menteri Agama bukan pada substansi penataan toa masjid. Tapi lebih mengedepankan "dendam" politik. Padahal banyak yang setuju dengan penataan itu.
Rasanya kita memang masih senang dengan segala hal yang tak substantif. Kita masih sering mencampuradukkan Islam dengan ke-Islam-an. Lah apa bedanya? Islam adalah tata nilai yang diturunkan Tuhan melalui Nabi Muhammad.
Sedangkan ke-Islam-an adalah berbagai pemaknaan atas teks dan segala perilaku Nabi Muhammad. Karena pemaknaan, maka sangat mungkin antara satu dan lainnya berbeda.
Pemaknaan inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab. Bahkan firqah alias kelompok-kelompok di kalangan muslim. Pemaknaan selalu berkembang sesuai dengan ruang dan waktu.
Tanpa pengaturan pun, syiar Islam perlu menggunakan cara hikmah. Ini pendapat mayoritas ulama dan umat. Azan yang dianggap sebagai bagian dari syiar Islam juga harus demikian: Jalan bijak.
Salah satu wujud cara bijak adalah empati. Merasakan yang orang lain rasakan. Jika kita terkadang tak bisa tidur karena bising, maka jangan bikin kebisingan untuk orang lain.
Ini seperti teori marketing. Teori pemasaran yang memperhitungkan hati target orang yang kita sasar. Memasuki ruang psikologi customer.
Ini seperti cara para Walisongo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Mereka masuk ke relung kehidupan masyarakat dengan tidak berhadap-hadapan. Akulturasi, istilahnya dalam sosiologi.
Tidak akan pernah ada sukses yang dibangun dari ego. Apalagi soal ke-Islam-an. Apalagi soal wayang maupun pengeras suara di masjid. Yang semuanya sudah masuk dalam ranah publik.
Perlu cara maslahat, bahasa agamanya. Kebenaran tak harus disampaikan dengan cara sok-sokan. Apalagi memaksakan orang lain mengikuti keyakinan di tengah masyarakat yang beragam.
Saya tak pernah terpikir wayang dan toa menjadi begitu terkenal sekarang.
Advertisement