Wayang Kulit, Cowboy, dan Kekerasan
Wayang kulit sempat menjadi bahan kontroversi. Tapi, saya punya perspektif tersendiri. Bagi saya, wayang kulit bukan sekedar media transmisi kultural—terutama pesan-pesan moral. Dengan kompleksitas elemen yang terlibat, pagelaran wayang kulit juga merupakan sarana untuk refleksi kultural.
Entah bagaimana awalnya, sejak kecil saya telah menjadi penggemar wayang kulit. Pagelarannya selalu mengambil waktu malam hari. Dimulai sekitar jam 21.30 dan berakhir menjelang subuh. Teringat pada Bapak saya almarhum. Di hampir setiap pegelaran wayang kulit di sekitar kampung yang terjangkau dengan jalan kaki; beliau selalu mengantarkan saya nonton sekitar jam 11 malam. Setelah menitipkan saya pada panjak atau wiyogo (penabuh gamelan), beliau biasanya langsung pulang meninggalkan saya menikmati wayang.
Kedatangan jam 11 malam bukan tanpa alasan. Wejangan-nya, agar sempat tidur dulu; sehingga setelah bangun menjelang tengah malam bisa menikmati wayang sampai esok pagi. Cukup masuk akal. Namun, terdapat alasan yang lebih substantif. Dengan datang jam 11 malam saya langsung bisa menikmati episode ‘perang kembang’.
Dalam pakem (standar baku) wayang kulit terdapat dua episode perang. Yang pertama dinamakan ‘perang kembang’, biasanya digelar sebelum tengah malam. Perang ini sekedar refleksi dari posisi yang berseberangan atau, setidaknya, intensi dari dua pihak yang saling berhadapan. Tidak ada korban. Biasanya episode ini diakhiri dengan langkah masing-masing aktor untuk ‘saling menghindar’.
Yang kedua adalah ‘perang penentuan’. Episode perang ini terjadi menjelang akhir pertunjukan, merefleksikan pertarungan yang pekat dengan nilai (the war of values). Biasanya perang penentuan ini berakhir dengan jatuhnya korban, dengan pesan moral: ‘yang benar tenar, yang salah kalah’!
Dalam setiap pagelaran wayang kulit; saya membedakan dua arena: ‘panggung dalam’ dan ‘panggung luar’. ‘Panggung dalam’ merupakan visualisasi substansi wayang yang sarat dengan kisah yang ditransmisikan dari generasi sebelumnya (hereditary story). Sedangkan ‘panggung luar’ merupakan representasi sosiologis dari semua yang hadir dalam pertunjukan itu.
Kedua panggung memang terpilah, tapi tak terpisah. Kaitan antar keduanya terlihat pada konteks psiko-sosiologis setiap pagelaran wayang. Hampir di setiap adegan perang suasana yang semula senyap mendadak gegap. Rancaknya gamelan, riuhnya kepyek, dan cepatnya sabetan sang dalang, meringkus kantuk membuka pejam. Tak jarang, riuh tepuk tangan dan sorak sorai penonton mengiringi gempitanya situasi.
Kehadiran awal TV hitam putih, memberikan alternatif hiburan kampung. Jangan membayangkan setiap rumah punya TV. Jaman itu, satu-satunya TV hitam putih di kampung saya hanya dipunyai oleh satu keluarga Arab yang kaya, tapi ramah dan pemurah. Tak pelak, setiap habis maghrib penduduk kampung selalu datang bergerombol untuk menonton TV. Acara terfavorit adalah film cowboy, dengan bintangnya antara lain, John Wayne, James Coburn, atau Kirk Douglas. Alasan utamanya adalah karena film tersebut mengandung adegan perang.
Dua macam ‘panggung’ kembali hadir. Panggung luar tetap dinamis. Tepuk sorak sering membahana di saat terjadi adegan tembak-menembak antara si cowboy dan ‘gerombolan’ Indian. Meskipun kehebohan yang ajeg (terjadi berulang kali) ini pada akhirnya membuat si empunya TV terpaksa membatasi penonton, screenshot sosial saya tetap bisa menangkap makna dari panggung luar. Polanya tak ubahnya seperti apa yang terjadi dalam pagelaran wayang kulit. Sayangnya, dari kacamata evaluatif kontemporer, milieu penonton kampung saat itu selalu cenderung memihak si cowboy daripada sang Indian.
Dari dua ilustrasi hiburan kampung di atas, ada yang menarik untuk diulas. Adegan perang nampaknya bukan hanya bersifat kognitif, tapi juga afektif. Penonton bukan hanya hanyut secara emosi, tapi juga larut dalam pemihakan posisi. Seperti sebuah arena, hadir di situ kontestasi tokoh, peran, nilai, dan komitmen. Dari perspektif Weberian, ‘panggung luar’—yang direpresentasikan kelompok penonton—mencerminkan ‘sebuah struktur tindakan dengan makna yang dalam’ (a structure of actions with all innermost meanings).
Yang terkesan, terdapat benang merah yang umum tergelar laiknya sebuah kontinum. Episode ‘perang’—dengan segala atributnya—nampaknya akrab dengan kehidupan sosial kita, setidaknya di generasi saya. Jadi teringat tesis Frans Hüsken dan Huub de Jong (2002:4) yang menegaskan bahwa di Indonesia “rangkaian dan penggunaan kekerasan … merupakan sebuah praktek yang sudah biasa … di antara semua sektor dalam masyarakat” (The thread of and the use of violence … was a common practice … among all sections of society).
Jika konstatasi kedua penulis di atas benar, maka akan membuka kotak pandora pertanyaan: Apakah ‘kekerasan’ memang merupakan elemen budaya Indonesia? Apakah sifat bangsa yang dulu dikenal ramah telah berubah menjadi pemarah? Jika memang berubah, sejak kapan dan faktor apa yang mengubah? Apakah gejala ini juga merupakan bagian dari penjelasan mengapa sumpah-serapah dan kekerasan selalu membayangi setiap peristiwa sosial-politik yang terjadi?
Apakah fenomena ini pula yang menyebabkan kita ‘sulit’ beradaptasi atau mengadopsi nilai-nilai global (global values), seperti demokrasi dan humanity? Sekian pertanyaan yang muncul bergerak bak pusaran air. Jawabannya, setidaknya sampai guratan pena ini berakhir, adalah kembali pada ungkapan kata di awal: Entah!
*) Himawan Bayu Patriadi, PhD. adalah dosen Hubungan Internasional dan Ketua C-RiSSH, Universitas Jember.