Waspadalah! Fenomena Migrasi Suara di Menit Terakhir
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor mengatakan, terkadang bisa terjadi fenomena yang tidak bisa ditangkap lembaga survei. Pertanyaannya apakah ini didorong hasil survei atau ada faktor lain?
“Menurut saya peran survei ini tidak terlalu menentukan. Ada faktor lain yang menjadi latar belakang kenapa terjadi migrasi suara," ujar Firman, Minggu 24 Maret 2019.
Menurut Firman, migrasi suara ini seringkali terjadi di menit-menit terakhir. Sehingga tidak terbaca oleh lembaga survei. Demikian diungkapkan dalam diskusi di Jalan Cikini Jakarta.
"Faktor pertama adalah karena ketidakpuasan. Bisa saja awalnya mereka merupakan soft voters atau pemilih yang tidak loyal salah satu pasangan calon. Namun, karena tidak puas dengan paslon yang diusung, mereka berubah pilihan pada detik terakhir."
Faktor pertama adalah karena ketidakpuasan. Bisa saja awalnya mereka merupakan soft voters atau pemilih yang tidak loyal salah satu pasangan calon. Namun, karena tidak puas dengan paslon yang diusung, mereka berubah pilihan pada detik terakhir. Firman mengatakan fenomena ini juga sering terjadi di kelompok swing voters.
"Yang jelas ini terjadi secara akumulatif dan biasanya terjadi di area swing voters. Mereka fungsinya wait and see. Dia sudah mulai merasakan beberapa hal yang tidak seindah yang disampaikan sehingga dia kemudian mulai berhitung secara rasional," kata Firman.
Faktor kedua adalah karakter kandidat. Hal yang selama ini tidak disadari bisa saja memengaruhi dukungan pada detik terakhir.
Faktor ketiga adalah karena mesin politik yang benar-benar bekerja dan keempat adalah program-program yang bagus. Namun, ada faktor X yang disebut Firman sebagai blessing in disguise. Ini merupakan situasi yang terjadi mendadak dan tidak diprediksi sebelumnya.
Situasi ini membawa kerugian bagi salah satu paslon yang melakukan blunder. Namun bisa menjadi berkah bagi lawan politiknya.
Firman mengatakan semua faktor itu bisa menyebabkan hasil hitung yang jauh berbeda dengan prediksi lembaga survei.
Menurut Firman, masing-masing tim sukses pasangan calon harus mewaspadai fenomena ini. Selalu ada pada peluang bagi dua pasangan calon untuk memenangkan kontestasi ini. Oleh karena itu, masing-masing timses harus konsisten mengampanyekan program agar dukungan untuk paslon tetap terjaga.
"Jadi seperti yang saya sampaikan bahwa ada fenomena ketika kemigrasian ini sama sekali tidak ditangkap oleh timses maupun lembaga survei dan benerapa kasus terjadi di pilkada. Ini hal biasa dan langkah terbaik adalah mewaspadai kemungkinan itu," kata dia.
Ia mengingatkan, beberapa hasil survei pernah berbeda jauh dari hasil penghitungan di lapangan dalam beberapa kesempatan pemilu. Contohnya seperti yang terjadi dalam Pilkada DKI 2017, serta Pilkada Jawa Tengah dan Jawa Barat tahun 2018.
Pada Pilkada DKI 2017, pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat diprediksi menang tetapi akhirnya kalah.
Sedangkan, pada Pilkada Jawa Tengah, lembaga survei memprediksi suara Sudirman Said-Ida Fauziah tidak melebihi 20 persen. Namun kenyataannya sampai 40 persen.
Sementara itu pada Pilkada Jawa Barat, lembaga survei menempatkan pasangan Sudrajat-Syaikhu pada urutan ketiga. Namun pada akhirnya suara yang didapat Sudrajat-Syaikhu melebihi prediksi lembaga survei itu. (adi/nt)