Waspadai Vietnam, Turis Tiongkok Target Seksi
Jakarta: Industri pariwisata Indonesia memiliki musuh baru di Asia Tenggara. Setelah melibas Thailand yang tren kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada semester pertama 2017 hanya 4,41 persen, Indonesia kini bersaing ketat dengan Vietnam.
Tren kunjungan wisman ke Indonesia dan Vietnam pada paruh pertama 2017 menunjukkan pertumbuhan tertinggi di Asia Tenggara.
Laman TTR Weekly melaporkan, Vietnam dikunjungi 6.206.336 wisman sejak Januari hingga Juni. Jumlah itu meningkat 30,2 persen dibandingkan periode yang sama 2016 lalu. Tiongkok menjadi penyumbang turis terbesar bagi Vietnam sepanjang semester pertama 2017.
Jumlahnya mencapai 1.887.495 wisman. Angka itu naik 56,7 persen dibandingkan semester pertama 2017. Posisi kedua diduduki turis asal Korea Selatan sebanyak 1.066.257 alias melesat 43,9 persen dibandingkan periode yang sama 2016.
Khusus kunjungan sepanjang Juni, turis Tiongkok juga menjadi pendongkrak utama pariwisata Vietnam. Sebanyak 315.312 wisman asal Tiongkok berkunjung ke Vietnam. Jumlah itu naik 4,9 persen dibandingkan Mei 2017.
Posisi kedua dihuni turis asal Korsel sebanyak 177.061. Namun, tren kunjungan wisman Korsel turun 5,5 persen dibandingkan Mei 2017.
Sementara itu, Indonesia dikunjungi 6,48 juta wisman sepanjang semester pertama 2017. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah itu melesat 22,42 persen dibandingkan periode yang sama 2016. Saat itu, kunjungan wisman mencapai 5,20 juta.
Khusus Juni 2017, kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 1,13 juta. Angka itu melesat 31,61 persen dibandingkan Juni 2016 yang berjumlah 857,65 ribu.
Sama seperti Vietnam, Indonesia juga digempur turis asal Tiongkok. Sepanjang Juni lalu, sebanyak 160.200 turis asal Tiongkok pelesiran ke Indonesia.
Itu berarti turis asal Negeri Panda, julukan Tiongkok berkontribusi sebesar 14,19 persen. Di posisi kedua adalah turis asal Singapura yang berjumlah 131.908 orang atau mencapai 11,66 persen.
Sedangkan urutan ketiga adalah wisatawan asal Australia sejumlah 108.028 orang atau berkontribusi 9,57 persen. Meski lebih unggul dibandingkan Indonesia perihal tren kunjungan wisman, Vietnam memiliki kendala serius. Sebab, mayoritas turis enggan menjadi repeater alias ogah kembali ke Vietnam.
Laman Vietnamnet, Selasa (1/8) melaporkan, sebanyak 70 persen turis enggan pelesiran ke Vietnam lagi. Banyak hal yang membuat travelista enggan menjadi repeater. Mulai pencurian, kemacetan, kebersihan makanan, dan polusi di Vietnam.
Selain itu, turis juga kecewa terhadap pedagang lokal karena ditipu dengan barang berkualitas rendah. Berbagai kasus itu menjadi fokus utama dalam Forum Sektor Swasta Vietnam yang dihelat 31 Juli lalu.
Mereka berkaca pada kejadian 2016. Saat itu, Vietnam dibanjiri sekitar sepuluh juta wisman. Namun, hanya sedikit yang mau kembali lagi ke Vietnam.
“Beberapa kasus yang buruk menodai citra Vietnam. Sebab, saat ini informasi menyebar dengan cepat melalui internet. Warga lokal harus lebih memperhatikan keamanan turis. Selain itu, kebijakan juga harus lebih baik,” ujar Kepala Administrasi Pariwisata Nasional Vietnam Nguyen Van Tuan.
Nah, berkaca dari kasus Vietnam, Indonesia harus lebih bekerja keras menata pariwisata agar travelista mau menjadi repeater.
Apalagi, Indonesia memiliki modal besar untuk menggenjot pariwisata. Yakni, wisata halal alias family friendly tourism.
Berdasarkan riset Mastercards-CrescentRating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2017, Indonesia menduduki posisi ketiga di bawah Malaysia, Uni Emirat Arab. Sedangkan pada 2016, Indonesia berada di urutan keempat di bawah Malaysia, Uni Emirat Arab, dan Turki.
Menpar Arief Yahya sudah menulis CEO Message, "Waspadai Vietnam" untuk memberi warning internal Kemenpar. Vietnam dan Indonesia adalah 2 negara yang masuk top 20 the fastest growing tourist visitor, dan dilaporkan telegraph.co.uk.
"Saat ini persaingan bukan yang besar mengalahkan yang kecil, tetapi yang cepat mengalahkan yang lambat. Vietnam dan Jepang dua contoh negara yang cukup cepat, melakukan deregulasi dan memberi kemudahan wisman datang ke sana," kata Arief Yahya. (azh)
Advertisement