Waspadai Masjid Dijadikan Tempat Penyebaran Radikalisme
Jakarta: Suhardi Alius, Kepala Badan Nasional Pencegahan Terorosme (BNPT) mengingatkan, saat ini masjid kerap kali dijadikan tempat penyebaran paham radikalisme yang salah. Maka jika mendengar lagi khutbah-khutbah yang menyebarkan kebencian, masyarakat harus berani bersikap dengan cara meninggalkan tempat.
“Semua agama itu baik. Namun, kerapkali dipelesetkan untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Nah, kini untuk mereduksi radikalisme dibutuhkan peran aktif keluarga. Karena, infiltrasi paham radikalisme sudah sampai kemana-mana. Guru dan dosen yang terpapar, akan mengintimidasi melalui nilai-nilai yang diberikan kepada siswa atau mahasiswa,” tuturnya pada ngopibareng.id, Kamis (27/07/2017).
Dijelaskannya, di Poso hampir dijadikan pintu masuk ISIS (Islamic States of Iraq-Syiria). Namun, berkat kesigapan TNI/Polri, akhirnya ISIS berhasil ditangkal dan terjadilah kejadian di Marawi, Filipina.
Dicontohkan akan diri Ali Imron, mantan teroris bom Bali, merupakan “lulusan” dari Afghanistan yang lihai membuat bom. Ia merupakan generasi ke-4 DI/TII. Dalam 2 jam mampu mendoktrin orang supaya mau melakukan bom bunuh diri.
“Tim task force dari kemkominfo menyatakan akan menutup situs-situs dan aplikasi yang berbau radikalisme dan intoleransi. Tidak ada urusan kalau sudah membahayakan Negara,” tegas Suhardi Alius.
Konten-konten radikalisme itu, menurut Suhardi, berisi kursus merakit dan meledakkan bom, uji nyali dengan cara menusuk polisi, berbaiat kepada pimpinannya tanpa harus tatap muka alias via online.
Belum lama ini, Suhardi Alius tampil bersama Yenny Wahid dan Prof. Sumanto Al Qurtuby. Kepada masyarakat, Suhardi menunjukkan eksistensi para teroris dengan memutar rekaman video. Yakni, pelaku pengeboman Hotel Marriott pada 2009 yang berusia 17 tahun.
Rekaman ini ditemukan di rumah pelaku yang tewas bersama bom yang diledakannya. Dalam video ini pelaku muda usia ini mengatakan, apa yang akan dilakukannya ini bukan bunuh diri. “Tapi merupakan maharnya yang harus dibayar untuk bertemu dengan 72 bidadari. Apa yang dilakukannya ini merupakan fardhu ain, sehingga berdosa apabila ditinggalkan,” tutur Suhardi, menjelaskan.
Pada akhirnya, Suhardi Alius mengingatkan, terorisme merupakan ancaman secara global, namun akar masalah dan cara mengatasinya berbeda di setiap negara.
Salah membaca Timur Tengah
Prof. Sumanto Al Qurtuby memberikan pemaparan. “Kelompok-kelompok radikalisme yang ada di Indonesia ‘salah membaca’ peta perkembangan di Timur Tengah. Mereka menganggap, segala konflik yang terjadi adalah karena kesalahan Amerika/Barat/Yahudi/non-Islam. Padahal konflik itu telah terjadi sejak dulu. Bahkan, sebelum negara Amerika berdiri. Konflik yang terjadi di TimTeng itu umumnya karena perang antar suku dengan berbagai kepentingan,” tuturnya.
Menurutnya, mitos bahwa konflik di TimTeng itu melulu karena Sunni vs Syiah. Padahal pada kenyataannya orang-orang Sunni dan Syiah hidup berdampingan dengan rukun. Bahkan orang Sunni menikah dengan orang Syiah, dan sebaliknya.
“Menikahi orang Syiah itu menguntungkan, sebab biaya maharnya rendah. Di negara Qatar bahkan tak pernah terjadi konflik Sunni-Syiah. Jadi, segala kekerasan yang terjadi itu disebabkan oleh kelompok-kelompok ekstremis minoritas yang keberadaannya pun tak disukai oleh warga Arab,” tutur Sumanto, yang kini mengajar di sebuah universitas di Makkah, Arab Saudi.
Di tanah Arab itu sendiri, menurut Sumanto, ada banyak sekali suku. Sehingga, mereka pun berusaha mengedepankan kepentingan kelompoknya. Bahkan terjadi pula konflik Muslim – non-Muslim yang dibenturkan untuk kepentingan politik.
“Jadi, jangan mudah dibawa kesana kemari, karena di TimTeng itu ada banyak kelompok dan kepentingan. Negara Israel itu tidak melulu isinya Yahudi. Perdamaian di Palestina itu diinisiasi oleh Muslim dan Katolik,” kata Sumanto. (adi)
Advertisement