Waspadai Gejala Happy Hypoxia Covid-19, Ini Cara Penanganannya
Happy hypoxia adalah kasus pasien Covid-19 yang kekurangan oksigen tanpa menunjukkan tanda-tanda. Beberapa pasien tampaknya baik saja tapi memiliki kadar oksigen yang rendah. Ini tanpa disadari bisa menimbulkan kematian. Melansir berbagai sumber berikut penjelasannya.
Apa itu Happy Hypoxia?
Orang sehat biasanya memiliki saturasi oksigen di kisaran 95 persen. Namun, ada pasien Covid-19 bergejala terlihat normal yang kadar oksigennya turun sampai 70 sampai 80 persen, ini tidak ditemukan pada kondisi penyakit influenza biasa. Kadar oksigennya biasanya di bawah 95.
Ini adalah fenomena happy hypoxia. Istilah Happy hypoxia ramai diperbincangkan sebagai gejala baru akibat Covid-19. Melansir Medical News Today Penelitian tentang happy hypoxia mulai dipublikasikan pada awal Juli 2020.
Happy hypoxia juga disebut dengan silent hypoxemia. Pada kasus happy hypoxia, pasien tidak mengalami gejala sesak napas, bahkan bisa beraktivitas secara normal.
Meski demikian, orang yang mengalami happy hypoxia menyebabkan penurunan fungsi organ akibat kurangnya oksigen dalam darah. Akibatnya pasien Covid-19 bisa linglung, kesadarannya menurun, koma, bahkan menimbulkan kematian.
Penyebab Happy Hypoxia
Yang perlu digaris bawahi happy hypoxia biasanya terjadi pada pasien Covid-19 yang memiliki gejala. Penyebab happy hypoxia belum diketahui secara pasti. Ada dugaan penyebabnya karena peradangan di jaringan paru-paru karena infeksi virus SARS-CoV-2. Ada pula yang menduga penyebab lainnya adalah masalah gangguan sistem saraf yang mengatur kadar oksigen dalam darah.
Selain itu, sejumlah peneliti meyakini hal ini terjadi dimulai dari jaringan otak yang sudah dirusak oleh virus. Sehingga respon tubuh atas sistem yang abnormal dianggap wajar. Terakhir, peneliti lainnya menyebut terdapat invasi virus pada kemoreseptor membuat tubuh tidak bisa membaca status oksigen jaringan.
Gejala happy hypoxia secara umum antara lain tubuh terasa lemas, kulit pucat, batuk-batuk, sesak napas, sakit kepala, detak jantung menjadi cepat atau melambat, kuku dan bibir berwarna kebiruan.
Cara Deteksi Happy Hypoxia.
Langkah yang tepat untuk mendeteksi happy hypoxia adalah memasangkan probe pulse oximetry atau alat pengukur kadar oksigen di jari tangan pasien Covid-19. Alat ini bisa dibeli secara online dengan banderol Rp 100 – 150 ribu.
Penggunaan alat pengukur oksigen ini harus dibiasakan sebagai upaya monitoring kadar saturasi oksigen. Sebab, jika dibiarkan tidak terdeteksi, bisa menyebabkan kematian. Monitoing ini pun harus dilakukan secara berulang-ulang. Pasalnya kondisi kadar oksigen bisa berubah-ubah. Misal saat ini normal, tiba-tiba besok turun. Pemeriksaan oksimetri satu kali sehari cukup, tapi harus dilakukan setiap hari.
Selain menggunakan oksimeter, cara lainnya yang bisa dilakukan adalah duduk tegap, dan mengambil napas dalam-dalam sebanyak 2-3 kali. Pada orang biasa yang tidak mengalamai hypoxia, napasnya tidak masalah.Namun, jika ada risiko ke sana akan timbul batuk seperti tersedak-sedak. Itu ada tanda-tandanya mengarah ke hypoxia.
Agar tidak berisiko kematian, pasien ODP, OTG, PDP, atau konfirmasi positif disarankan harus selalu melakukan pemeriksaan. Sementara, bagi mereka yang melakukan karantina mandiri diingatkan agar selalu bugar. Terlebih memastikan tidak ada tanda-tanda kekurangan oksigen.
Waspadai Gejala Awal Covid-19
Cara selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah mewaspadai gejala awal Covid-19. Di antara nya pernah demam, batuk, sesak, nyeri otot disertai riwayat demam, tidak ada nafsu makan, diare, sakit perut, dan kelelahan.
Gejala ini biasanya berlangsung secara perlahan pada hari ke 1 hingga ke 7 menuju infeksiusnya. Setelah lebih dari 7 hari banyak orang tidak sadar bahwa kekurangan oksigen. Akibatnya banyak pasien mengalami gagal napas.
Jika pasien Covid-19 mengalami makin lemah, batuk makin menetap, ini perlu diwaspadai. Pasien disarankan mendapatkan pemeriksaan dan perawatan di dokter.
Happy Hypoxia Butuh Oksigen Tambahan
Langkah pertama yang harus dilakukan saat mengalami happy hypoxia adalah dengan mengembalikan kadar oksigen dalam darah. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan masker atau selang oksigen. Namun, jika pasien sudah tidak sadarkan diri, pasien bisa diberi bantuan penafasan melalui alat ventilator.
Cara lainnya dengan memposisikan pasien tengkurap. Tengkurap dinilai bisa menyelamatkan pengidap corona, karena dalam posisi tersebut jalur paru-paru akan terbuka. Sehingga oksigen dapat leluasa masuk ke dalam organ tersebut. Tengkurap ini bisa dilakukan selama 16 jam yang dibagi dalam dua kali waktu.
Terakhir melakukan terapi hiperbarik. Terapi ini sering digunakan untuk penyakit dekompresi pada penyelaman, ulkus diabetikum, keracunan CO, dan gangguan hipoksia lain.
Terapi ini mampu meningkatkan tekanan parsial oksigen dalam udara yang dihirup, sehingga semakin tinggi oksigen yang larut dalam plasma oksigen terhantarkan hingga ke sel. Ini menjadi kelebihan terapi hiperbarik dibanding ventilator.(CNN/BBC/Alo/Kmp/Lip)
Advertisement