Waspada! Sikap Menipu Diri Sendiri
Ikhlas adalah sikap, perbuatan atau tindakan. Dengan mengacu kepada akar kata-nya (khaf-lam-shad), Ikhlas bermakna 'bersih', 'jernih', tidak bercampur dengan sesuatu yang lain'. Dalam bahasa Indonesia, biasa disamakan artinya dengan 'tulus' atau 'tanpa pamrih'.
"Jadi Ikhlas itu adalah sikap atau perbuatan yang dilakukan tanpa pamrih, tanpa berharap memperoleh balasan atau imbalan; entah dlm bentuk materi, atau penghargaan, dan sebagainya." Demikian pesan Ustadz Helmi Ali Yafie.
Menurut Sekjen Darul Da'wah wal-Iryad:
Biasanya perbuatan atau tindakan ikhlas itu, spontan, tidak direncakan sebelumnya. Tak ada (ruang) analisis atau pertimbangan untung rugi yang dipikir bolak-balik. Mungkin karena ikhlas itu lebih banyak bertumpu pada hati. Kalau dalam bahasa agama, ikhlas di maknai sebagai perbuatan yang dilakukan se-mata-mat karena Allah; semata-mata hanya mengharap ridlo Allah SWT.
Jadi tidak atau bahkan tidak boleh dikatakan, hanya dilakukan atau dilakoni saja. Ada ungkapan dlm bahasa Bugis yang menggambarkan ikhlas itu dengan bagus, yakni 'tampeddingngi naleppa lila'. Kira-kira artinya tidak boleh sama sekali tersentuh lidah (mudah-mudahan tidak salah mengartikannya), atau tidak (boleh) terkatakan.
Dengan makna seperti itu, ikhlas menjadi unik. Begitu dikatakan (saya ikhlas) maka maknanya menjadi hilang. Bahkan sesungguhnya, karena memang lebih banyak bertumpu pada hati, begitu dikatakan maka orang mungkin sudah terjebak dalam apa yang disebut penyakit hati, yang mengakibatkan munculnya sikap yang aneh-neh.
Bisa terjebak 'ujub (bangga dengan segala macam atribut dan asseoris yang melekat pada diri sendiri; lalu pamer dan takjub dengan diri sendiri; pakaian atau asseoris mungkin memang bagus (mewah) tetapi kelihatan aneh, karena waktu atau tempat tdk sesuai) dan riya (selalu mengagulkan atau memuji diri sendiri; 'sayalah yang berjasa', atau 'kalau bukan saya, maka (kamu, dia, situasi) tidak akan begitu'); pokoknya orang lain itu tidak ada, yang ada hanyalah dirinya; padahal mana ada pekerjaan yang bisa dilakukan sendirian.
Ujub dan riya menurut Sa'id Hawwa (dalam Tazkiyatun Nafs), mengeksplorasi pikiran Imam al- Ghazali (dalam Ihya Ulumudin), adalah salah dua dari sejumlah penyakit hati; di antaranya tidak (pandai) bersyukur, munafiq (tidak konsiten), meyimpang, meng-ada-ada, sombong, pelit, dst.
Apa yang disebut penyakit hati itu, ketika dibicarakan, memang bisa di pilah-pilah, diurai sendiri-sendiri; tetapi sesungguhnya dempet, melekat satu sama lain.
Di balik ujub, ada riya, ada sombong, ada dengki, pelit, serakah dan seterusnya; di balik riya ada ujub, dengki, serakah, dst; di ujungnya adalah menipu, bahkan diri sendiri. Kalau ada yang satu, yang lain juga hampir pasti ada.
Kalau mengacu ke Al-Qur'an, surah al-Baqarah ayat 10-20, (lekat pada kelompok orang yang disebut munafiq, yang mempunyai daya rusak sangat besar di muka bumi) penyakit hati itu mempunyai kecendrungan bertambah terus menerus.
Penyakit hati itu seperti merambat, semakin lama semakin meluas dan membesar, memenuhi hati, pikiran dan pada akhirnya jiwa. Orang seperti itu, yang di dalam hatinya ada penyakit yang terus menerus bertambah, pada akhirnya, tidak bisa lagi mendengarkan.
Punya telinga, tetapi tidak bisa mendengarkan, punya mata, tetapi pandangannya gelap; segala aturan, etika bisa ditabrak begitu saja; jika kepentingannya terganggu. Maka sikap dan tindakannya pun menjadi semakin aneh, mungkin (sebenarnya) tidak normal. Daya rusaknya pun semakin besar.
"Entah dimana nanti tempatnya orang seperti itu. Maka tampaknya perlu selalu memeriksa diri agar bisa terhindar atau bebas dari penyakit hati ini; sebelum merusak diri sendiri dan orang lain (masyarakat)," kata Ustadz Helmi Ali.
"Tiba-tiba saya ingat dosen saya dulu, Prof. Thariq Syihab Allah yarhamh (ahli perbandingan agama), di Fakultas Ushuludin, IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN). Salah satu dosen favorit, selain keilmuannya (dia seperti encyclopedia berjalan), karena sikap dan penampilannya yang keren (tinggi besar, necis, dengan dasi kupu-kup yang selalu bertengger di leher); dengan gaya ngomongnya yang khas, Betawi banget.
"Suatu ketika (kalau tdk salah bulan puasa), dia menjadi kesal di klas. Mungkin karena merasa sudah menjelaskan, bolak-balik, detail, masih ada saja tidak paham-paham, tentang tema yang dikuliyahkan.
"Maka ketika seorang mahasiswa bertanya kembali apa yang sudah dijelaskan, beliau spontan berkata, sambil berkacak pinggang : 'hei Jabrik .. itu yg nempel di kepale .. telinge ape tanduk !' Maka klas pun meledak, riuh, penuh derai ketawa dari Mahasiswa yang tidak seberapa jumlahnya. Dia sendiri, akhirnya ter-kekeh-kekeh.
"Prof. Tharik Syihab, tidak secara spesifik bicara tentang ikhlas dan penyakit hati. Beliau tampaknya kesal, sehingga tidak bisa membedakan antara tanduk dan telinga, ketika telinga dianggapnya tdk lagi berfungsi dg baik. Entahlah," demikian pesan-pesan kebaikan Helmi Ali, yang juga dikenal sebagai aktivis sosial.
Advertisement