Waspada! Dalil Agama Jadi Alat Legitimasi Egosentrisme Golongan
Belajar Islam harus utuh, sehingga Islam bisa diimplementasikan sebagai agama cinta dan ramah. Karena agama fungsinya bukan hanya sebagai hakim yang memutuskan halal-haram dan salah-benar saja.
Kata Sukriyanto AR, Ketua Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Jumat 5 Juli 2019.
Putra AR Fakhruddin ini menyayangkan maraknya oknum-oknum mubaligh yang memakai dalil agama sebagai alat legitimasi atau pembenar dari sikap egosentrisme golongan dan menganggap golongan lain salah.
Sikap demikian sering memicu sensifitas antar golongan. Berangkat dari fenomena tersebut, menurut Sukriyanto Muhammadiyah perlu memiliki dan menyemai da’i atau mubaligh yang memiliki wawasan keagamaan yang utuh dan integratif.
“Muhammadiyah perlu menyiapkan da’i atau mubalighnya yang memiliki basis wawasan keagamaan yang utuh, serta didukung wawasan pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan lainnya,” tutur Sukriyanto.
Bekal da’i dalam menghadapi mad’u (obyek dakwah) dimasa sekarang ini bukan hanya keilmuan di bidang agama saja, melainkan juga harus terintegrasi dengan keilmuan lainnya. Sehingga, dakwah yang dilakukan tidak monoton dan sempit. Selain itu juga perlu dilakukan segmentasi mad’u, hal ini penting dilakukan ditengah heterogennya kalangan umat Islam itu sendiri.
Pentingnya da’i memiliki wawasan keilmuan keagamaan yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain juga akan berdampak terhadap materi dakwah yang disampaikan, sehingga mad’u yang menerima materi dakwah memiliki pandangan kegamaan yang luas, tidak ‘cupet’. Dengan demikian dampak dari aktivitas dakwah selain menguatkan spiritual, juga berdampak pada peningkatan pengetahuan umat di bidang-bidang ilmu lain.
Sedangkan terkait metode dakwah, selain dari sumber utama Al Qur’an dan Assunah. Juga bisa didapatkan dari kebiasaan (budaya) atau kearifan lokal yang tidak menyelisihi aturan agama Islam. Pemilihan metode dakwah juga memiliki arti penting ketika melakukan aktivitas dakwah, karena ikut berpengaruh terhadap keberhasilan tersampainya materi dakwah.
“Ketika umat memiliki pandangan yang luas, maka sikap tasamuh akan muncul pada mereka,” ucap Sukriyanto.
Menurutnya, kebenaran tidak boleh dipaksakan dari satu pihak, terlebih kebenaran pada urusan-urusan yang sifantnya furu’ (cabang) bukan ushul (pokok). Seperti halnya memaksa untuk menerima kebenaran mutlak atas perbedaan pada sisi khilafiyah fiqih.
Sukriyanto menegaskan, berislam secara kaffah berarti juga harus sadar dan memahami bahwa Islam lahir memiliki kaitan dengan pergolakan dan relasi sosial masayarakat di sekitarnya.
Maka diperlukan pengetahuan yang holistik-integratif untuk memahami nash atau teks wahyu sebagai guiden umat dalam beragama dan bertindak di lingkungan sosialnya. Sehingga Islam hadir bukan hanya sebagai alat justifikasi, tapi juga sebagai rahmatan lil alamiin. (*)
“Muhammadiyah perlu menyiapkan da’i atau mubalighnya yang memiliki basis wawasan keagamaan yang utuh, serta didukung wawasan pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan lainnya,” tutur Sukriyanto.