Waspada! Ada Upaya Membangkitkan Komunisme
Sekelompok orang yang mengatasnamakan “sejarawan, pegiat seni, pendidik, akademisi, budayawan dan aktivis”, mengeluarkan deklarasi “menuntut negara menulis ulang sejarah”. Deklarasi tersebut merupakan reaksi terhadap rekomendasi PPHAM (Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu). Pada intinya mereka meminta negara mengungkapkan kebenaran dan meminta maaf serta melakukan “penulisan ulang sejarah tentang peristiwa Gerakan 30 September/PKI (G-30S/PKI)”. Dengan kata lain mereka mengingkari bahwa PKI yang melakukan pemberontakan dan sebaliknya menimpalkan kesalahan kepada pihak lain.
Deklarasi tersebut kami anggap sebagai kelanjutan dari kegiatan seperti yang dilakukan oleh Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP '65), Bedjo Untung. Sebagai pihak yang pernah mengalami kekejaman dan kebrutalan PKI dan antek- anteknya pada 1962 - 1965, kami sebagai eksponen NU telah mengantisipasi bahwa suatu saat eks-PKI dan simpatisannya akan mencari celah untuk mempersoalkan kasus 1965 kembali.
Ketika masih aktif sebagai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, kami menerbitkan buku kecil berjudul “Menghadapi Manuver Neo-Komunis”. pada 2015. Buku tersebut disusun oleh KH Abdul Mun’im DZ dan saya menulis kata pengantar. Pengarah KH A Chalid Mawardi dan KH Mashuri Malik. Konsultan Dr Ihsan Malik (UI ), Dr Hermawan Sulistyo , Peneliti Drs H Enceng Shobirin, Dr Al-Zastrow Ngatawi, Drs Adnan Anwar, Drs H. Lilis N Husna, Drs H Yahya Ma’shum, Drs Amir Ma’ruf dan A Khoirul Anam MH ; manajemen Drs H Anis Ilahi Wahdati, Ir H Bambang Yasmadi dan H Agus Salim Thoyyib MM.
Dalam kata pengantar buku tersebut dikemukakan bahwa ideologi Marxisme - Leninisme yang ateis bertentangan dengan Pancasila yang religius. Secara politik PKI melancarkan agitasi-propaganda yang mengacaukan sistem politik nasional, sementara Pancasila mengajarkan harmoni. Secara historis PKI telah berulangkali melakukan pemberontakan berdarah. Pertama pada tahun 1945 PKI melakukan pemberontakan berdarah di sepanjang pantura; Kedua pada 1948 PKI melakukan pemberontakan Madiun; Ketiga pada 1965 sekali lagi PKI melakukan pemberontakan yang didahului agitasi disertai perampasan hak milik sejak awal 1960an (keluarga saya pernah mengalaminya seperti saya tulis di situs (facebook) ini pada 7 Agustus 2023).
Kekejaman PKI
Pada sekitar September 1963, di ruang tamu rumah Bapak saya, H Nursalid (almarhum) di Desa Golan Tepus, Mejobo, Kudus, Bapak menerima tahu seorang jaksa, aktivis PKI (saya lupa namanya), seornag Bintar ABRI (BODM/KORAMIL) hendak merampas simpanan sekitar 3 ton gula merah (gula jawa) produksi sendiri.
Bapak dituduh menimbun gula sehingga dianggap setan desa. Bapak membela diri, tuduhan tidak benar. Bapak ngotot bukan menimbun, tetapi menyimpan. Berbeda dengan menimbun, membeli gula kemudian disimpan untuk mencari untung.
Lalu Bapak diam-diam menyuruh saya lari ke bapak keamanan desa (Kamitua, kebetulan masih famili), untuk melapor apa yang terjdi dan seorang paman saya, Lik Ahsun. Kamitua dan Lik Ahsun memukul kentongan "tanda bahaya". Dalam waktu sekejab, para tetangga berdatangan membawa sabit, golok, tombak. Pak jaksa dan rombongan segera ngacir lari takut amukan warga desa.
Suatu pengalaman yang tidak terlupakan. Namun, setelah G30S/PKI meletus, Bapak menolong anak seorang pengurus PKI (Pak Mukmin) yang ditangkap aparat karena dianggap terlibat G30S/PKI. Bapak saya meskipun orang kampung yang ghanya lulusan pesantren, ternyata bisa membedakan antara politik dengan persahabatan. Saya meneteskan air mata dan mengagumi Bapak saya, seorang pemberani dan melawan tanpa rasa gentar ketika dianggap "Setan Desa".
Sikap NU terhadap PKI
Pada halaman 123 (“Menghadapi Manuver Neo-Komunis”) tentang “Sikap NU” terhadap isu bangkitnya PKI sangat jelas dan lugas sebagai berikut:
1. Bahwa PKI akan terus berusaha mengaburkan sejarah pemberontakan PKI pada 1965, melalui gerakan yang bersifat nasional dan internasional, termasuk mendesak pemerintah untuk menulis ulang sejarah peristiwa 1965, (sekarang sudah terbukti, ya sudah terbukti).
2. Pada hal 124, sikap NU dalam menyikapi peristiwa yang terkait dengan G30S/PKI sangat jelas NU tidak akan minta maaf pada PKI. Dengan demikian NU mencegah agar pemerintah juga tidak minta maaf pada PKI. NU mendasarkan sikap tegas tersebut karena NU membela negara dan sekaligus agama.
3. Tertulis pada hal 124 juga, NU menolak tuntutan hak PKI untuk hidup kembali atas dasar ideologis. Pertama, PKI bertentangan dengan Pancasila; Kedua, mengajarkan pertentangan kelas; Ketiga, PKI melakukan politik agitasi/propaganda; Keempat, secara historis selalu melakukan kerusuhan, penculikan, teror dan juga pembantaian serta pemberontakan.
4. Bagi NU, setelah hukuman sesuai Mahmilub, pembuangan dan pengasingan serta setelah selesai mereka menjalani hukumannya dan bebas, maka bagi NU, persoalan 1965 telah selesai. Tidak boleh dibongkar lagi atas nama apapun, karena itu akan mengganggu kerukunan nasional, termasuk akan mengganggu ketenteraman warga eks-PKI.
5, Rekonsiliasi politik yang didahului dengan pengadilan dan pembongkaran kuburan harus ditolak, sebab cara yang ditawarkan lembaga internasional itu bermaksud menyalahkan pemerintah dan NU serta Ormas Islam lainnya. Usulan internasionsl tersebut akan mengakibatkan terjadinya pertikaian yang luas. Sebaliknya NU sepakat untuk melanjutkan rekonsiliasi alami yang telah dirintis sejak tahun 1966, yang terbukti telah berhasil melakukan pemulihan mental, menciptakan kerukunan dan membangun persatuan yang memuaskan semua pihak tanpa gejolak.
6. Perlu diingat oleh mereka yang mengaku sebagai pewaris PKI bahwa dendam dalam keadaan apapun tidaklah bisa dijadikan dasar pembangunan Indonesia ke depan, karena akan mengundang terjadinya permusuhan yang berlarut larut.
7. Dengan demikian NU mengingatkan pada semua kelompok non-PKI dan simpatisan PKI agar tidak menggunakan isu PKI sebagai komoditas politik, sebab cara seperti itu kontraproduktif, tidak hanya bagi orang yang memainkan isu tersebut, tetapi juga bisa menjadi malapetaka bagi pewaris PKI sendiri dan ketidaknyamanan bagi mereka yang anti-PKI. Di samping itu penggunaan isu PKI akan memancing bangkitnya “Kelompok Islam Radikal” serta merugikan kepentingan bangsa karena akan terus diseret guna memikirkan masa lalu yang telah usai, padahal tantangan dan peluang ke depan sangat besar.
DR KH As'ad Said Ali
Mantan Wakil Kepala BIN, Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.