Ekstremisme Versus Wasathiyyah, Ketegangan Islam di Nusantara
Islam Wasathiyyah, Islam yang memberikan wajah damai, teduh, penuh dialog. Tentu saja, dengan begitu, dakwah Islam Wasathiyyah akan berwajah teduh, mengajak kebaikan. Bukan berwajah garang.
Dr Zaprulkhan menulis artikel berjudul “Quraish Shihab, Wasathiyyah : Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama”. Berikut Bagian Pertama (3) tulisan:
Ghuluw (Ekstremisme) Versus Wasathiyyah/Moderasi
Kata ekstremisme terambil dari kata ekstrem yang berasal dari bahasa Inggris extreme yang oleh beberapa Kamus Bahasa Inggris diartikan dengan the greatest degree dan very great. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikanya antara lain dengan: Paling ujung (paling tinggi, paling keras, dan sebagainya); Sangat keras dan teguh; fanatik: keesktreman adalah hal yang keterlaluan. Kata tersebut diartikan juga dengan melampaui batas kewajaran.
Dalam bahasa Arab, kata ekstrem biasa dipersamakan dengan tatharruf yang terambil dari kata tharaf yang antara lain berarti pinggir/ujung sesuatu. Kata ini pada mulanya digunakan dalam konteks hal-hal yang bersifat material, tetapi kemudian berkembang sehingga mencakup juga yang bersifat immaterial seperti keberagamaan, pemikiran, atau tingkah laku.
Al-Qur’an dan Sunnah menggunakan kata ghuluw untuk menggambarkan pelampauan batas dalam agama. Bukan tatharruf. Kata ghuluw dalam berbagai bentuknya mengandung makna “ketinggian yang tidak biasa”, karena itu harga sesuatu yang lebih tinggi dari yang biasa (mahal) dilukiskan dengan kata ghaly. Ini karena harga sesuatu yang melampaui batas yang wajar itulah yang dinilai mahal. Sesuatu yang mestinya berharga lima, tapi Anda membelinya dengan harga enam, walau bukan sembilan apalagi sepuluh. Dinilai apa yang Anda beli itu adalah mahal.
Dalam perspektif Quraish Shihab, meskipun ekstremitas dapat muncul dalam berbagai bentuk, namun ia terdeteksi dengan jelas dalam tiga bentuk:
Ucapan yang kasar seperti makian yang berlebihan, kebohongan, dan penyebaran isu negatif atau bahkan pujian yang berlebihan.
Kelakuan/tindakan, baik dalam bentuk ibadah yang dilebihkan dari apa yang diajarkan agama maupun bukan ibadah.
Hati dan perasaan, baik dalam bentuk kepercayaan, maupun emosi dan cinta.
Menurut Quraish Shihab, ekstremisme adalah lawan dari wasatiyyah. Melaksanakan wasatiyyah mengantar kita terhindar dari ektremisme, demikian juga sebaliknya; melakukan yang ekstrem menjauhkan pelakunya dari wasatiyyah.
Ektremitas merebak bila syarat terwujudnya wasatiyyah diabaikan. Ia lahir dari kebodohan terhadap ajaran agama dan ketidakhati-hatian membaca situasi yang disertai fanatisme membuta, atau emosi/semangat berlebihan sehingga yang bersangkutan—individu atau kelompok—bersikap dan bertindak melampaui batas.
Yang ekstrem biasanya menolak berdiskusi; kalaupun bersedia, kesediaannya hanya agar pendapatnya didengarkan sedangkan dia sendiri menutup diri dari mempertimbangkan bahkan mendengar pandangan pihak lain. Sedangkan penganut wasathiyyah selalu terbuka bukan saja untuk berdiskusi, melainkan juga terbuka mengoreksi pendapatnya dan menerima pendapat selainnya.
Yang ekstrem menyatakan dengan ucapan atau sikapnya bahwa hanya dia yang pasti benar dan yang lain pasti salah, dan bahwa pandangannya bersifat final lagi sesuai dengan setiap waktu dan tempat. Sedangkan penganut wasathiyyah bersemboyan: Pendapat kami benar tapi mungkin salah, dan Pendapat Anda salah tapi mungkin benar.
Yang ekstrem menganggap segala persoalan telah selesai; atau kalau belum, maka harus merujuk ke sumber yang digunakannya. Sedang penganut wasathiyyah berpendapat bahwa banyak persoalan yang masih harus dicari solusinya dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta kaidah-kaidah yang disepakati dan dengan metode ulama masa lalu yang masih relevan.
Yang ekstrem menolak kehadiran apa pun dan siapa pun yang berbeda dengannya. Penolakannya itu dapat berlanjut dengan upaya menyingkirkan yang berbeda dan pada gilirannya ia mengafirkan dan menampilkan kekerasan. Penganut wasathiyyah tidak mengafirkan siapapun yang mengucapkan dua kalimat syahadat walau bergelimang dosa. Penganut wasathiyyah mengakui keragaman dengan menghormati pendapat pihak lain serta siap hidup berdampingan secara damai dengan siapa pun.
Yang ekstrem boleh jadi banyak ibadahnya, tekun membaca Al-Qur’an serta rajin shalat malam dan puasa sunnah, tetapi dia sering berburuk sangka dan tidak menampilkan akhlak Islam yang penuh toleransi. Penganut wasathiyyah bisa jadi tidak banyak ibadahnya, tetapi luhur akhlaknya dan selalu tampil dengan ramah dan santun.
Bisa jadi yang banyak ibadahnya itu tulus dalam sikapnya, tetapi karena pengetahuannya terbatas, ditambah semangatnya yang menggebu untuk menjadikan orang lain bergama sesuai dengan caranya, maka ia mengecam orang lain yang melakukan kegiatan keagamaan apa adanya, padahal yang dilakukan orang lain itu masih dalam batas yang diperkenankan agama. Bisa juga dosa yang masih dalam tahap dosa kecil menjadikan seorang ekstrem mengecam begitu keras bahkan mengancamnya dengan neraka.
Advertisement